Chapter 25 : I want to know, and what should I know?

25 4 0
                                    

Begitu empuk kasurku yang sudah kutinggalkan selama tiga tahun ini. Tidak ada yang berubah dari rumah, sama saja. Semua tetap pada tempatnya, tersusun rapih seperti saat kutinggalkan ke Beijing tiga tahun lalu. Bedanya, Bibi Inah terlihat memutih rambutnya, begitu juga dengan Pak Seto. Mereka yang menyambutku dirumah tadi. Aldi pulang begitu selesai mengantarkan koperku ke dalam rumah. Dia mengatakan akan menemuiku nanti, dia ingin bertemu lebih lama denganku. Bisakah nanti kuluangkan waktu untuknya? Berdeda dari Jevin, aku dan Aldi mengantarkan dia tadi, dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum lembut padaku, lalu menghilang di balik pagar rumahnya.

Kunyalakan lampu kamarku, dan menutup tirai panjang yang menghiasi jendela besar di kamarku. Kuraih handuk dan segera membersihkan diri, aku harus mengabari Mama dan Papa kalau aku sudah dirumah. Tapi bisa saja Bibi Inah sudah mengabari setelah aku masuk ke kamar. Tanpa sengaja mataku tertuju pada sebuah foto berbingkai tergantung indah di dekat almariku. Aku tersenyum membuat sebuah ingatan indah muncul tiba-tiba di benakku begitu saja. Kenangan masa orientasi di kampus dulu, bersama Jevin. Foto jadul itu masih mampu membawa kenangan indah itu sampai sekarang.

Masih sering memakai kaca mata dan memakai gelang manik-manik. Aku belum tahu caranya memoles bedak dan lipstik saat itu, terlihat dari foto. Bibirku pucat dan pipi kuning langsatku sangat terlihat. Jevin lebih putih dariku, dia tinggi sekali. Saat itu aku tidak tahu memakai heels, aku sangat rendah darinya. Karena ingin menarik dimatanya, semenjak masuk semester tiga aku belajar mengenakan weedges atau sepatu yang ber-heels 2-3 cm. Agar terlihat tinggi jika sedang hangout bersamanya. Tapi untuk sekarang, tak ada gunanya aku melakukan itu lagi. Kakiku sudah terbiasa mengenakan heels, dan weedges. Wajahku sudah sering kupoles dengan bedak, dan bibirku juga sudah sering kupoles dengan lipstik yang senada dengan pakaian yang kukenakan. Semuanya itu, tidak menarik lagi bagi Jevin. Karena dia sudah sering melihatku, mengenakan itu semua.

Masih dapatkah aku menarik perhatiannya? Sudah sangat lama sekali perasaan ini. Mungkin dia saja yang tidak menyadarinya dan mencari wanita yang bisa menjadi miliknya, iya bukan? Aku tidak pernah menyinggung perasaan ini, bagaimana aku bisa menarik untuknya? Haruskah aku berhenti menyukai dia? Aku tidak bisa menahan perasaan ini, menangis adalah caraku melawan perasaanku. Kenapa jika dipikirkan perasaan ini serasa sangat sulit untuk diungkapkan? Sampai kapan aku menyimpan ini, melihat Jevin dengan tatapannya semenjak di bandara tadi sore, terlihat tidak ada ketertarikan lebih terhadapku. Bukan! Tatapannya selalu sama bertahun-tahun ini. Apa yang kamu harapkan Ellisa?! Jevin itu tidak pernah menatapmu lebih sebagai wanita. Camkan itu!

Aku tersungkur menangis melihat foto berbingkai itu. Menampakkan fotoku dan Jevin berdiri berdua setelah orientasi selesai tujuh tahun lalu dan foto wisuda tiga tahun lalu. Menyedihkan jika kuharapkan lebih keberadaan Jevin bersamaku. Jika mengungkapkan perasaanku adalah jawabannya, mungkin aku tidak perlu menyimpan perasaan ini lagi-kan? Tapi kalau kuungkapkan, aku takut. Takut kalau-kalau Jevin tidak menyukai pernyataan itu dan malah menjauhiku. Bertahun-tahun ini aku menjadi sahabatnya, menjadi tempat dia bercerita, masakan iya aku akan menghancurkan persahabatan itu?

Aku takut. Haruskah kututupi lebih lama lagi? Jika semakin memuncak dan semakin menggila perasaan ini pada Jevin dan aku masih ingin menutupinya, biarlah sakit hati yang akan menjawab semuanya nanti. Bisa saja Jevin memiliki kekasih selama setahun ini tak ada kabarkan? Aku selalu berpikir begini kalau mengingat Jevin yang kadang tidak mengabariku, hingga setahun terakhir tak mengabariku sama sekali.

Tapi. Tapi- tapi pelukannya dibandara tadi sore, membuatku percaya bahwa dia tidak memiliki kekasih, karena pelukan eratnya sama dan terasa sama saat pelukannya menyambutku di ambang pintu saat pendadaran sarjanaku dulu. Pelukan hangat itu tidak berubah.

Jika ini hanya perasaanku, aku harus mengetahuinya. Aku harus tahu kenapa pelukan itu masih saja terasa sama. Perlukah aku mencaritahu pada Jevin? Jika kupeluk dia sekali lagi, jika sama aku akan- akan- mengatakan aku menyukai dia. Se-simple itukah? Kucoba?

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang