Chapter 30 : Still waiting...

19 4 0
                                    

Daniel melihatku menyelidik, senyum-senyum dilihatnya begitu kumasuki pintu apartemen ini. Dia menunggu di depan pintu.

"Udah ilang sedihnya?" tanyanya, lalu merangkulku.

"Udah.."

"Bang Jevin yang nenangin?"

Aku mengangguk tanpa ragu tersenyum.

"Kakak beneran udah baikan? Tadi Mama nelfon, besok diminta ke kantor Mama."

"Ohh yaya, Kakak harus jelasin ke Mama,."

Kurebahkan tubuhku pada sofa ruang tamu, menarik seluruh tubuhku satu tarikan. Meregangkan ototku yang tadi menegang hebat. Dering line berbunyi dari atas meja, kulihat sebentar. Video call, tertera dilayar ponsel Daniel.

"Dek!" Daniel mendengar langsung menyambar ponselnya.

Dia tersenyum unjuk gigi padaku. Dasar, itu pacarnya yang LDRan. Ngomong LDR, Sera apa kabar bersama suaminya? Aku hanya sempat mengirimkan e-mail padanya setelah sampai di rumah tiga bulan lalu, belum sempat berkunjung melihatnya. Oyaa, bareng Aldi aja nanti ya kalau ada waktu. Tak sampai lima menit, Daniel kembali dari kamar dan melempar asal ponselnya. Dia cemberut?

"Kenapa Dek?"

"Laras, nelfon cuma ngasih tahu kalau mau tidur."

Pppffftt..

"Ohh, namanya Laras."

"Kak perempuan emang gitu ya? Suka ngasih tahu hal yang nggak penting?"

"Nggak juga sih, tergantung."

Seingatku hal nggak penting bisa jadi pelengkap hubungan.

"Kenapa Dek?" tanyaku megedek.

"Laras itu agak berubah semenjak aku balik ke sini,. dia lebih sibuk dari sebelumnya, yaa wajar dia lagi skripsian.."

"Udah berapa lama pacaran?"

"Empat tahun Kak.?"

"Hah?! Empat?"

Benar-benar, mereka lebih lama pacaran. Adikku ini mengangguk lesu.

"Kita awalnya kayak Kakak sama Bang Jevv, sahabatan. Terus aku coba kasih perhatian lebih dan responsnya baik."

"Oyaa? Kalian sahabatan cuma bentar doang, makanya bisa begitu."

Aku bahkan tidak bisa membedakan jika Jevin melakukan perhatian lebih seperti yang dilakukan Daniel. Bagiku terasa sama, entah dia memberikan perhatian apa tidak, bagiku sama.

"Iyaa sih. Kakak sama Bang Jevin emang nggak bisa pacaran?"

Aku menggeleng mengangkat bahuku.

"Kalian sahabatan udah lama banget Kak. Aku jadi penasaran, kalian ini sama-sama suka apa gimana Kak?"

Aku tertegun mendengar Daniel, apa dia akan membelaku jika kuberitahu hanya aku yang menyukai Jevin? Cinta sepihak tahunan ini?

"Kakak aja yang suka."

Daniel sontak kaget, lalu kerutan tajam terlihat dikeningnya.

"Lah? Serius? aku kirain sama-sama suka, cuma nunggu apa gitu.. wah!"

"Jangan bilang apa-apa ke Jevin. Kakak mohon."

"Sampai kapan Kakak bakalan suka sama Bang Jevin? Terus Bang Jevin gimana?"

"Yaaa.. nggak tahu. Dia begitu-begitu aja Dek, Kakak nggak bisa bedain. Kakak juga nggak bisa berharap banyak sama perasaan Kakak."

Daniel menepuk punggung tanganku, menyemangatiku sesaat.

-oOo-

Pagi ini aku mendatangi kantor sekretaris direktur. Sesuai permintaan Mama, ini pasti tentang telfon Daniel semalam. Aku bahkan binggung akan menjelaskan bagaimana. Jika Mama tahu kondisi perasaanku ini, dan posisiku disisi Jevin. Dia pasti akan bersikeras membuat undangan makan malam itu lagi. Di ruangan Mama, sebelum ruangan kerja, Papa tidak terlihat Mama di mejanya. Mungkin di ruangan Papa. Kubuka pintu kayu ulin yang sangat mulus ini, menampilkan Mama dan Papa tengah duduk menikmati secangkir minuman yang terlihat beruap.

Kuambil antisipasi duduk menghadap Papa dan Mama. Mama langsung bertanya alasanku menolak makan malam itu. Kukatakan yang dibilang Daniel semalam benar. Mama menaruh pelan cangkir dari tangannya.

"Harusnya kamu bilang ke Mama. Biar Mama nggak salah paham sayang.. terus, siapa pacar kamu? Dari Beijing?"

"Bukan Maa.."

"Si Jevin?"

Aku tertunduk malu menanggapi nama itu.

"Bukannya kalian udah lama sahabatan. Setahu Mama sih yaa.. atau kamu belum cerita. Kalian nggak pernah pacaran."

Mama benar.

"Terus kamu ngeharapin apa Ell? Mending kamu keluar dari zona nyaman kamu sama dia, nanti Mama carikan yang baik."

Nggak ada yang kuharapkan.

"Tunggu perasaan Ell jelas lagi Maa.."

"Sayang, kalau perempuan sama laki-laki itu nggak bisa berteman. Kalau memang berteman, yaa sudah.. Tidak akan ada hubungan selain itu."

Kata-kata Mama menyentakku, kutarik datar bibirku menatap Mama lesu.

"Kasian anak Papa, masa cantik gini nggak punya pacar.."

"Ell bukannya nggak punya Paa.. Ell cuma- cuma nunggu yang terbaik aja."

Mama berdiri lalu duduk di sampingku, dirangkulnya tubuhku.

"Yaa sudah, Mama sama Papa nggak maksain kok. Kalau sudah selesai atau ada kemajuan, kabari Mama dan Papa.."

Aku mengangguk. Mama dan Papa mengerti posisiku, disisi Jevin. Mereka mau menunggu sepertiku, "Makasih Maa.. Paa.."

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang