Chapter 33 : Random Day..

24 4 0
                                    

Entah hari sial apa lagi hari ini. Saluran air di apartemenku bermasalah sewaktu mandi tadi pagi, Daniel belum kembali membawa mobilku pulang karena semalam dia mendatangi pacarnya yang sakit di rumah sakit kota seberang. Lalu, kini tengah turun hujan, kuakui ini hari sial. Sangat disayangkan sendal swallow ungu ini harus berurusan dengan jalanan basah, kumasukkan heels kedalam kantung plastik yang kini menggantung cantik di pergelanganku. Tas jinjingku agak berat dengan beberapa dokumen ber-map yang kupaksa masukkan.

Setiba di kantor, kini aku berdiri mematung tanpa bisa melewati pintu otomatis itu. Id card bermanikku ketinggalan di apartemen! Kuraih ponselku menelfon kontak Jevin yang kuyakini sudah ada di lantai lima ruangan A2. Lima menit setelah kututup telfon Jevin, lift terbuka dan Jevin keluar setengah berlari menuju pintu setinggi pinggangku ini dan ia menempelkan id cardnya berukuran 5cm itu. Aku cukup bernafas lega, sudah berhasil masuk. Jevin menghentikan langkahnya, dia melihat kearah kakiku. Ahh.. swallow. Sebelum Jevin menekan tombol lift, segera aku berlalu menuju toilet di sudut ruangan. Memakai heels.

Kembali kemudian dan Jevin menekan tombol lift. Hari ini aku akan menghabiskan waktu di depan layar komputerku, membuat laporan seputar kegiatan seminggu lalu dengan tim empat dari periklanan. Cukup melelahkan mengetik dan membaca berulang kali tulisan yang sulit terbaca olehku di kertas HVS berlembar-lembar di genggamanku. Sesekali kulihat Jevin, dia juga sedang menulis laporan sepertiku.

Makan siang hari ini harus kulakukan dengan cepat. Jevin mengikutiku dari belakang, Shit! Lagi!!! Pak Lukas menabrakku lagi hari ini seperti sebulan lalu ia menabrakku dihari pertama kerja. Benar-benar, rok sepanku yang berwarna vanilla ini kembali bernoda cokelat karena tumpahan cappucinonya. Kali ini cappucino dingin, dia hanya mengucapkan maaf berlalu pergi. Bisa apa aku, Jevin menuntunku ke toilet di lantai lima ini. Dia menunggu di luar, kini aku tengah membersihkan rok sepan kesayanganku ini dan bruk! What the! Aku tergelincir karena cipratan air dari keran tadi, pinggangku... sakit! Sakitnya menjalar keseluruh tubuhku.

Aku keluar toilet dengan pincang, sambil memegangi pinggangku. Jevin melihatku dengan wajah cemasnya.

"Ell! Kerumah sakit yuk, jangan dibiarkan nanti memar." pintanya.

Kuhela nafas panjang. Hari ini benar-benar.. haruskah aku kerumah sakit dengan perut keroncongan?

"Aku lapar Jevv.." kataku.

Jevin merangkulku, membantuku berjalan menuju lift. Terasa tangan Jevin menyentuh permukaan tanganku membantu menekan pelan punggungku yang sangat sakit. Di lantai dasar, segera kami menuju kantin kantor. Jevin tidak membiarkan kami makan di kantor hari ini, dia membungkus makanan itu dan meminjam mobil perusahaan untuk membawaku kerumah sakit. Wajah cemasnya itu membuatku tak enak merepotkan dia seperti ini.

Dirumah sakit, dokter memberikanku salep untuk nyeri pada punggungku, lalu menempelkan plaster khusus untuk otot pada punggungku, rasa dingin menyeruak masuk kedalam daging-dagingku. Jevin membuka kotak makan siang itu dan memintaku menghabisakannya di kasur ruang UGD ini yang tertutup tirai biru. Dia menikmati makan siang ini bersamaku, sejam berlalu kami akhirnya balik ke kantor, dan aku kembali ke mejaku.

Sore tiba, tumpukan dokumen di mejaku sudah berkurang. Kutarik datar tubuhku di bangku tinggi beroda ini. Hembusan nafasku membuat Jevin terkejut. Dia mendorong bangkunya menabrak bangkuku, aku jadi terkejut dan hendak jatuh terbalik, Jevin dengan cepat menahan bangku ini.

"Capek banget yaa.. gimana pinggangnya?" Jevin bertanya penuh perhatian.

Dia mengelus rambut ikalku yang kuikat asal setelah makan siang tadi, aku mengangguk.

"Tunggu aku yaa, bentar selesai." katanya lalu kembali bergeser ke mejanya.

Sesaat, Jevin menepuk permukaan tanganku. Dia sudah selesai dengan perkerjaannya. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan, ruangan ini kosong. Bukannya diluar sana masih turun hujan dari tadi pagi. Mereka bawa mobil dan itu solusinya.

"Yuk pulang.." Jevin membantuku berdiri dari bangku.

"Bawa mobil?"

Jevin menggeleng. Ahhh.. jalan kaki lagi?. Begitu sampai di pintu utama kantor, Jevin membentangkan payungnya. Dia bawa payung? Berarti dia juga jalan kaki sepertiku tadi pagi?

"Mobil kamu mana Jevv?"

"Di bengkel Ell, udah dua hari di servis."

"Mobil mu mana?"

"Di bawa Daniel ke RS, jengukin pacarnya.."

Kami berjalan menyamakan langkah, payung ini cukup besar untuk menaungi kami berdua, Jevin memegang pegangan payung dengan hati-hati. Butuh waktu satu jam berjalan kaki menuju apartemenku, Jevin tinggal dimana selama ini?

"Jevv, kamu udah dapat tempat tinggal?"

"Beluman, masih tinggal di guest house. Kan minggu depan gajian mungkin bisa mulai nyewa apartemen."

"Aku nggak keberatan kok kalau kamu mau tinggal di apartemen aku bareng Daniel."

"Iyaa, nanti kupikirkan lagi."

Di depan pintu utama yang berputar di apartemen bertingkat sepuluh ini, baru kusadari bahu kanan Jevin basah. Dia akan pulang dengan basah begitu? Tidak ada salahnya kalau kuajak dia masuk. Kutekan tombol lift, dan pintu terbuka. Kutarik seketika pergelangannya yang masih sibuk menutup payung. Dia terkejut begitu menyadari aku menariknya.

"Singgah yaa.. kamu kan belum pernah ke apartemen aku." alasanku.

"Iyaa deh.. sekalian ngeringkan bajuku.."

Ting! Pintu lift terbuka, menampakkan lobi apartemen. Kutekan tombol pin pada pintu, dan terbuka kemudian. Daniel menyambutku penuh senyuman, dan wajah terkejutnya terlihat setelah melihat Jevin di ambang pintu. Dia kemudian berlari memeluk Jevin, mereka seperti sahabat lama yang baru bertemu.

"Wahh.. udah lama banget nggak ketemu Bang Jevv.."

"Iyaa kamu juga Nell. Makin tinggi aja. Sama kayak Abang tinggimu.."

Mereka tertawa sesaat.

"Dek.. pinjamin Bang Jevin bajumu." kataku berlalu masuk ke kamar.

Dengan cepat kuganti pakaianku mengenakan dengan pakaian berbahan tebal. Aku kedinginan, walaupun tidak ada basah sama sekali pada tubuhku karena Jevin lebih membuat payung itu melindungiku dari hujan tadi. Jevin sudah berganti pakaian, dan pakaian kantornya tadi kuambil dari genggamannya dan memasukkan ke dalam pengering pakaian. Daniel mengajak Jevin ngobrol dan aku hanya perlu membuatkan kedua pria tinggi itu cokelat hangat.

Kuraih ponselku dan memesan makanan dari layanan pesan antar dari sebuah rumah makan di dekat apartemen. Menunggu satu jam, tepat pukul delapan malam bell apartemen berdering. Kubiarkan Daniel dan Jevin masih berkutat dengan game di layar televisi. Menerima pesanan tiga porsi itu, cukup membuatku lega. Aku tidak pernah bisa memasak makan malam, entah kenapa.. aku harusnya belajar. Jevin selalu mengejekku jika aku menyajikan makan malam tanpa memasaknya sendiri. Katanya aku belum bisa berkeluarga, iyaa gitu.. mau gimana.

Kusajikan makanan ini di piring dan mangkuk. Menyusunnya di atas meja makan. Dan menganggu kedua pria dewasa itu dengan aroma khas masakan padang.

"Dek.. ajak Bang Jevin makan." kataku setengah berteriak mengalahkan suara dari game yang mereka mainkan.

Tak lama mereka datang dan duduk di bangku.

"Bang Jevv, duduk disini.." Daniel mengisyaratkan untuk Jevin duduk di dekatku.

Apaan lagi adikku ini. Jevin memimpin doa makan malam, dan kami mulai menikmati masakan padang ini.

"Bang Jevv, kapan pacaran sama Kak Ell?"

Aku tersedak! Daniel?! seketika kulihat Jevin dia sama tersedaknya sepertiku. Dia tersenyum? Apaa itu?? dia menggeleng.

"Enggak ada pacar-pacaran Nell, Kakak kamu ini sahabat Abang."

"Yaahhh, kirain bakalan macari Kak Ell.."

"Yaa nggak Nell.."

Aku malu! Memalukan Daniel membicarakan omong kosong ini. Jangan sampai Daniel mengatakan yang tidak-tidak. Sudahlah, kata-kata Jevin tadi secara otomatis sudah menolakku. Menyedihkan.. berat sekali kukunyah makanan ini.

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang