Chapter 23 : This study is finish..

23 4 1
                                    

Beberapa bulan berlalu, musim berganti dan kini musim panas tiba. Aku sudah tidak sabar dengan hasil pendadaran dari tesisku. Dua kali kurasakan kegugupan luar biasa yang sudah diuji oleh dosen penguji bergelarkan proffesor yang ada dihadapanku kini. Mereka mengujiku sejak dua jam lalu, kini mereka sedang mendiskusikan sesuatu dan aku hanya menunggu disini. Duduk didepan mereka, dengan laptop menyala didepanku, serta setumpuk kertas dan tesisku yang ada diatas meja terbuka tak karuan.

Tiga tahun lalu, Jevin berdiri di depan pintu ruang sidang menungguku keluar dengan hasil memuaskan. Namun untuk tahun ini, digelar masterku dia tidak ada berdiri di depan pintu menungguku seperti yang selalu kuangan-angankan. Begitu menerima hasil pendadaranku hari ini, dosen-dosen tadi menyalamiku satu persatu dan memberikan pujian dan menyanjungku sesekali. Aku membalas mereka dengan senyuman dan memberi hormat pada mereka.

Ruangan sidang ini kembali lengang seperti pertama kali aku memasuki ruangan ini empat jam lalu, aku terdiam di tempat dudukku. Kelegaan ada di hatiku, dan sudah selesai tugasku untuk menempuh pendidikan. Kuelus sesaat tesis yang ada di genggamanku, di dalam pengerjaan tesis ini hanya Jevin yang kupikirkan. Aku harusnya bangga ini sudah selesai, kenapa terasa hampa namun bahagia mengetahui aku sudah selesai dengan tugasku?

Apa ini karena tak ada kabar dari Jevin berbulan-bulan semenjak dia memberitahuku dia di Indonesia. Memberitahunya aku sudah pendadaran hari ini saja tidak bisa, tapi kuharap dengan postingan fotoku di instagram semenit lalu dapat diketahui olehnya. Hanya Daniel yang sempat kukabari pagi tadi dari whatsapp, dia malah tidak mengangkat telfonku. Mama dan Papa sangat sibuk disana, memberitahu mereka akan menjadi kabar mengejutkan. Nanti saja jika sudah waktunya. Mereka harus kemari mendatangi wisudaku, atau hanya akan kulewati sendiri untuk kali ini.

-oOo-

Hari ini hari yang kunantikan. Namun sayangnya Mama dan Papa tidak bisa datang menghadiri wisudaku. Karena diwaktu yang sama, Daniel juga wisuda. Mama dan Papa memilih untuk menghadiri wisuda Daniel. Memang sudah seharusnya, ini kesempatan Daniel menikmati wisudanya bersama Mama dan Papa. Malam tadi dia mengabariku dan mengirimkan foto wisudanya padaku, pagi ini aku tak mau kalah. Kukirimkan foto wisudaku padanya, kebaya yang kubawa tiga tahun lalu masih muat dan menempel dengan pas ditubuh rampingku kini.

Sera mengirimkan ucapan selamat padaku melalui sebuah animasi lucu. Begitupun Aldi mengirimkan email dan menandaiku di instagram storynya. Hanya Jevin, dia belum mengirimkan apapun padaku. Pesan maupun apapun itu, setelah kuposting gambarku pendadaran bulan lalu dia juga tak mengabariku. Kemana dia, mau bertanya pada siapa aku tentang dia, malu jika kutanyakan pada teman seangkatan.

Begitu selesai menerima penghargaan wisuda, keesokan paginya aku segera memesan tiket untuk pulang ke Indonesia. Walaupun Mama dan Papa masih ingin liburan di Amerika bersama Daniel, aku tidak keberatan dirumah sendiri. Tiket kini ada ditanganku, sesaat menunggu pesawat boarding ponselku berdering. Aldi menelfon.

"Hallo.. Aldi.."

"Ellisa. Jika sudah sampai di bandara, kabari aku. Nanti aku yang jemput." katanya dibalik telfon.

Dia tahu aku balik? Ahhh.. dari story instagram.

"Oke. Nanti aku kabari. Sampai nanti."

Kututup telfon begitu dia mengatakan Oke.

Kini aku harus menunggu selama beberapa jam kedepan, duduk di kursi dengan sabuk pengaman sudah melingkar di pinggangku. Kembali kupakai aerphone di telingaku, mendengarkan musik untuk membuang rasa penatku beberapa jam kedepan. Kubuka mataku, melihat sekeliling. Lampu kabin kembali menyala, begitu terkejutnya kudapati seorang pria ada di sampingku. Kupikir bangku ini kosong sepuluh menit lalu, kenapa sudah ada seorang lelaki disini.

Dari ekor mataku dia melihatku, tak kulihat dia. Kembali kupakai aerphone yang kuturunkan dari telingaku tadi. Tak lama dia menepuk permukaan tanganku. Argh! Kutarik datar bibirku, kulempar kasar pandanganku padanya.

"Ell- Ellisa?" bibirnya berucap. Kalau diingat-ingat..

"Aku Fadli.." lanjutnya.

Oh. Sahabat Jevin. Eh? Dengan cepat kuturunkan aerphone dari telingaku, dan segera melihat kiri dan kananku, pikiranku tiba-tiba menganggap keberadaan Jevin detik itu juga, kenapa kurasakan bahwa Jevin ada bersamanya? Konyol!

"Ohh Fadli.. Hey.. maaf nggak kenal kamu tadi." kataku merasa bersalah.

Dia menggeleng. "Enggak papa. Oyaa.. kamu dari Beijing ngapain Ell?"

Wajar dia bertanya, dia tidak tahu tentangku, "Aku kuliah. Udah selesai, kemarin wisudanya."

"Selamat kalau gitu. Nggak nyangka ketemu kamu disini."

"Terus, kamu ngapain di Beijing?"

"Aku? Sudah hampir setahun disana, ada bisnis. Biasalah.."

Aku baru ingat, kalau dia pembinis. Apa yaa lupaa.. oh. Kedai kopi.

"Nanti nyampe di Indo jangan lupa ke kedai."

"Hehe. Iyaa.."

"Sama Jevin jugaa, tuh anak pengen ikut tahun lalu ke Beijing. Cuman dia buru-buru balik ke Thailand."

Mereka masih komunikasi ternyata. Eh.. setahun lalu? Jevin nggak ada kabar mulai setahun lalu bukan sih..

"Kabar Jevin gimana?" tanyaku ragu.

Dia menyeringai ke arahku. "Bukannya kamu harusnya lebih tahu?"

Apa maksudnya? "Aku nggak ada kontek-kan sama Jevin.." jujurku.

"Oh ya? Aku sering banget malah kontek-kan sama dia. Sebelum berangkat tadi kami telfonan."

Huh? "Jadi, dia ada dimana sekarang?" tanyaku cekat.

"Yaa di Indonesia Ell, mau kemana lagi dia?"

"Sejak kapan dia di Indo?"

"Tahun lalu sebelum aku ke Beijing, dia ada di Indo dua minggu. Habis itu dia balik lagi ke Thailand. Dia sekarang udah sebulan di Indo."

Dua minggu? Sebentar banget,udah selesai kuliah dia?

"Dia ngapain dua minggu aja, setahun lalu?"

"Ell.. kamu benar-benar nggak tahu sama sekali tentang Jevin?"

Ah! Apaan sih, aku jadi penasaran. Bukan kabar buruk jika aku tidak tahu apa-apa tentangnya setahunan ini-kan. Aku menggeleng.

"Dia datang ke Indonesia cuma dua minggu itu, datangi kak Sofin yang sudah melahirkan, mau ketemu keponakannya."

Fuih! Kirain. Aku hampir berfikir buruk tentangnya, "Ohh.. aku nggak tahu sama sekali."

"Kenapa? Kalian udah putus? Ya.. LDR sejauh itu mana bisa."

Hah!?

"Pacaran aja kagak, gimana putus. Apalagi LDRan.." kataku judes.

Fadli tertawa cekikikan. Ih.. kenapa dia? Aneh. Aku ikut tertawa melihatnya.

"Serius? Kirain kalian pacaran. Dari kalian ke Kedai aku berapa tahun lalu.. dia belum nembak kamu juga?"

Ngomong apa sih? Kugelengkan kepalaku heran.

"Bualnya Jevin kebanyakan."

"Maksudnya?"

Fadli membungkam mulutnya. Terlihat ingin melanjutkan pembicaraan, dia malah menepuk permukaan tanganku seperti tadi. Dia memberi isyarat bahwa aku harus diam saja, tapi dia menyeringai membuatku penasaran. Dasar Fadli. Penerbangan kali ini membuat rasa penasaran bersarang dipikiran dan hatiku. Rasanya berdebar-debar dari tadi dan sedikit sesak, ini pengaruh penerbangan atau akunya yang nggak sabar ketemu Jevin? Aku binggung membedakannya..

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang