Pt 19

2.2K 170 14
                                    

Hyekyo membuka matanya perlahan. Yang ia lihat pertama adalah langit-langit putih yang ia kenali sebagai kamar rumah sakit. Kepalanya pening.

Ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Ia menangis di lorong ruang tunggu operasi sampai akhirnya ia pingsan. Hal terakhir yang dia ingat adalah suster dan dokternya membawanya ke kamar rumah sakit.

"Bagaimana ini?" gumam Hyekyo, kembali teringat dengan Joongki yang sudah meninggalkannya.

Hyekyo mengalihkan pandangannya ke meja di sampingnya dan menemukan surat terakhir dari Joongki yang diletakkan rapi di atas meja.

"Apa yang harus kukatakan pada ibu?" gumam Hyekyo.

Air matanya kembali turun dan isakannya terdengar. Bahunya berguncang-guncang menahan tangis. Ia memeluk lututnya, membenamkan kepalanya diantara lipatan lututnya, menangis lagi sampai akhirnya jatuh tertidur.

***

Dering ponsel di nakas meja di sebelahnya membuat kesadaran Hyekyo perlahan kembali. Ia menoleh dan menggigit bibir saat melihat ibunya meneleponnya.

Hyekyo menarik napas sebelum akhirnya mengangkat telepon dari ibunya.

"Eom-ma.."

"Aku sudah dengar dari dokter rumah sakit," kata ibunya dari seberang sana.

"Ak..ku minta maaf," gumam Hyekyo.

"Tidak. Bukan salahmu. Ini sama sekali bukan salahmu. Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri."

"Apa yang harus kulakukan sekarang? Ak-aku tidak bisa hidup tanpa Joongki."

"Pergilah ke Kanada. Pulihkan dirimu di sana. Kau.. Tidak perlu datang ke pemakaman Joongki. Itu tidak akan membuatmu merasa lebih baik."

"Tidak, aku harus datang di pemakamannya. Itu kali terakhir aku bisa melihatnya."

"Tidak. Kami sudah berdiskusi tentang ini. Ayahmu juga setuju kalau kau harus keluar negeri untuk sementara ini. Kau mudah depresi, jangan lupakan itu. Kami sudah membelikan tiket untukmu, besok pagi jam lima pagi."

"Kenapa cepat sekali? Tidak bisakah aku pergi setelah Joongki dimakamkan?" tanya Hyekyo.

"Tidak ada alasan untuk menunda kepergianmu, Sayang. Kau bisa tinggal di sana untuk dua atau tiga tahun. Asisten Kim sudah pergi ke rumahmu untuk mengepak bajumu. Sebentar lagi ia akan tiba."

Telepon dimatikan. Hyekyo membeku.

Ia tidak bisa melihat pemakaman suaminya.

Namun mungkin ini memang yang terbaik. Dia harus memulihkan kondisi mentalnya sebelum berbuat yang aneh-aneh karena kepergian Joongki. Ini lebih baik.

Ia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi jika ia ikut hadir di pemakaman Joongki, bukankah begitu?

Hyekyo bahkan tidak ingat jam berapa asistennya itu datang, membawa koper putih di tangannya dan dengan halus memintanya bangkit dari ranjang rumah sakit dan pergi ke bandara.

Bahkan tanpa Hyekyo sempat sadari, ia sudah tiba di bandara. Tiket pesawat ada di tangannya.

Ia tidak tahu mana yang benar. Tetap bertahan di sini, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Joongki yang dikuburkan, ataukah pergi dengan tidak bertanggung jawab seperti ini.

"Nyonya Song menyuruh saya memastikan Anda masuk ke dalam pesawat sampai pesawatnya lepas landas. Silahkan masuk. Itu pesawat Anda," kata asisten Kim.

"Sampaikan selamat tinggalku padanya. Katakan padanya kalau aku menunggu kapan aku diperbolehkan pulang kembali kesini," balas Hyekyo.

Asisten Kim mengangguk, maka Hyekyo berjalan pelan-pelan meninggalkannya. Ia menyerahkan tiket pesawat nya, lalu berjalan masuk ke dalam pesawat. Yang ia tahu adalah, bahwa hidupnya sudah berubah.

***

Di dalam pesawat, Hyekyo memutuskan hendak tidur saja sampai tiba di Kanada nanti. Baru saja hendak memejamkan matanya, kakinya terinjak oleh salah satu penumpang sehingga ia terbangun.

"Maaf," kata penumpang itu dengan cepat. Hyekyo dalam hati setengah berharap itu Joongki, namun ternyata bukan. Yang menginjaknya tadi adalah seorang wanita.

Dari sudut matanya, Hyekyo dapat melihat jika ada pramugara yang berjalan mendekatinya. Namun ia diam saja, karena mengira pramugara tersebut menghampiri kursi di depannya, karena orang di kursi tersebut sedari tadi batuk tanpa henti.

Namun ternyata pramugara itu berhenti di samping tempat duduknya.

"Permisi," katanya dengan suara rendahnya.

Mata Hyekyo membelalak. Ini.. Suara ini..

Suara ini sangat familiar. Hyekyo tidak mungkin salah lagi. Ia menolehkan kepalanya perlahan untuk melihat orang itu.

Ia benar. Tidak salah lagi.

Ia nyata ada di sini. Ia kembali.

(not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang