Malam terasa sama, begitupun pagi, siang dan sore. Tak ada yg berbeda. Aku selalu berpikir bahwa mungkin, suatu hari nanti, hari dimana aku akan bertemu dengan seseorang yg akan menjelaskan arti dari semua ini. Aku harap dia adalah orang dewasa yg tahu akan segalanya. Tapi entah kenapa, bayangan seorang anak kecil selalu terlintas dipikiranku. Aku memang tak bisa menutupi keinginanku untuk bermain bersama teman-temanku. Tapi lebih daripada itu, aku ingin tahu tentang kota ini. Dan apa yg telah aku lakukan sehingga aku berada di sini.
****
Omelas, Agustus ke-30 Tahun 1957
Seorang anak kecil berusia 7 tahun melangkah menyusuri hutan pinus yg membentang di depannya. Kaki-kaki kecil itu melangkah tak sabaran, matanya berbinar takkala melihat papan dengan tulisan 'WELCOME TO OMELAS'
"Paman, kita telah sampai," ujarnya
Sang Paman yg memang selalu menemani anak kecil itupun memberikan pandangan yg sulit diartikan oleh lawan bicaranya. Sedikit informasi, dia tak bisa bicara.
Anak itu, Aiden Chavez. Anak dari Raja dan Ratu Chavez. Orang yg selama ini telah mengendalikan Kota Omelas sehingga bisa sedamai ini. Banyak yg mengatakan bahwa Omelas adalah kota impian, kota imajinasi yg nyata. Bagaimana tidak, kau tak akan menemukan kesuraman di kota ini. Yang ada hanyalah tawa, senyuman dan kehidupan yg damai tanpa peperangan ataupun perselisihan antar masyarakat. Bahkan di Omelas, takkan ada satu pun orang yg berkata 'Mari hidup bersama dalam suka maupun duka,' Percayalah, takkan ada yg mengatakan hal menjijikkan seperti itu di Omelas. Suka maupun duka? Heol, takkan ada duka jika kau tinggal di Omelas.
Aiden berlari tak sabaran menuju kastil yg sangat tinggi didepannya. Berlari sekencang mungkin sampai akhirnya, sesuatu menghentikan langkahnya.
Paman itu, paman yg selalu berada disisinya sejak dia sejak kecil. Tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Ia tak memiliki ekspresi, semacam poker face. Namun kali ini, Aiden menatap aneh kearah orang tersebut.
"Ada apa?"
Paman itu mengangkat tangannya, mulai menciptakan gesture-gesture melalui kedua tangan tersebut.
Aiden memiringkan sedikit kepalanya, pertanda bingung.
"Hmm, paman. Aku tak bisa mengingat bahasa isyarat sebanyak itu,"
Paman itu menghela napasnya. Tapi, eksistensi sang Ratu membuatnya harus membungkuk. Mencoba menutupi wajah tegangnya.
"Masuklah ke kamarmu, Aiden. Ibu mungkin akan menyusul,"
Aiden tersenyum ke arah ibunya. Memandangi wajah datar yg tak pernah ia lihat senyumnya, kecuali jika berada di tengah masyarakat.
Aiden menggeleng sembari menunduk didepan ibunya, "Aku tak ingin masuk kamar, ibu. Perasaanku mengatakan bahwa aku harus bermain bersama temanku di ruang bermain."
Ini, pertama kalinya Aiden membantah perkataan dari sang ibu.
"Aiden," Sang Ratu berjongkok didepan laki-laki kecil itu, mengusap pelan surai emas itu.
"Aku, memaksamu. Aiden,"
Ratu memberikan death glare kepada anak semata wayangnya. Dan Aiden tahu, sampai kapanpun ia takkan bisa membantah ibunya.
Dengan langkah yg berat Aiden melangkah menuju kamarnya yg berada dilantai atas. Menghela napasnya saat ia sudah benar-benar berada didepan pintu kamar. Tangannya perlahan memegang knop pintu, menariknya dan terbuka. Kamar yg selama ini menjadi tempatnya untuk beristirahat. Terpampang jelas didepan matanya. Sekali lagi, ini menatap lekat-lekat kamar itu. Seolah akan ada sesuatu yg terjadi pada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kid's Adventure
Short StoryBercerita dengan sudut pandang anak kecil beserta segala tingkah polosnya sepertinya belum cukup. Bagaimana jika ditambah dengan berbagai latar waktu, dari saling lempar tombak sampai adu kekuatan nuklir? Selamat datang di Event ketiga Montase Aksar...