Untuk Ibu

103 12 8
                                    

Aku sedang menempelkan telapak tangan dan hidungku ke kaca, menatap sebuah baju yang di pajang toko ini. Napasku membuat kacanya menjadi berembun sedikit sehingga aku menahan napas. Terbayang olehku bagaimana cantiknya ibu saat memakai baju itu. Aku ingin baju itu, untuk ulang tahun ibu empat hari lagi.

"Hei! Pergilah! Kau mengotori kaca!"

Aku terlompat terkejut. Saat menoleh, ternyata sudah ada wanita penjaga toko di ambang pintu. "Maafkan aku," pintaku menyesal. Aku mengelap sedikit kaca itu dengan lengan baju, ternyata aku memang membuatnya kotor. Saat menolehh lagi, kulihat wanita itu menyilangkan tangannya di depan dada. "Berapa harga baju itu, Nona?" tanyaku.

"Kenapa kau ingin tahu?"

Kurasa hanya ada satu alasan mengapa seseorang bertanya harga baju. "Aku ingin membelinya," jawabku sambil memperbaiki letak topi. Ternyata topiku hampir jatuh karena menempelkan wajah di kaca tadi.

Wanita itu tampak menahan tawanya sebelum meletakkan kedua tangan di pinggang, sepertinya wanita ini suka bergaya dengan tangannya. "Loper koran miskin sepertimu mana mungkin bisa membelinya."

"Aku bertanya padamu, Nona. Berapa harganya?" Aku memainkan jari, tidak mengerti mengapa sedari tadi belum juga mendapat jawaban yang kuinginkan. Aku selalu tidak mengerti mengapa orang-orang kaya suka meremehkanku hanya karena aku termasuk golongan buruh. Tidak adil.

"Huh. Lima puluh dolar."

Mataku membesar saat mendengar nomial uang yang disebutkan. Lima puluh dolar? Banyak sekali! "Jika aku menjual koran dengan harga sepuluh sen, berapa banyak yang harus kujual agar uangku sampai lima puluh dolar?"

"Mana aku tahu?! Cari tahu saja sendiri! Pergilah! Kau kotor!" usir wanita itu kasar. Padahal aku yakin aku bertanya dengan sopan.

"Baik. Tapi sebelum itu, apa kau mau membeli koran? Berita hari ini tentang pabrik kapas baru," tawarku pada nona itu. Mungkin saja dia bosan dan butuh sesuatu untuk dibaca.

"Sudah kubilang pergi!"

Aku meringis kesakitan saat badanku terjatuh akibat didorong oleh nona itu. Bahkan topiku sampai terjatuh. Apa kami para buruh sebegitu kotor? "Kumohon sisakan satu baju itu untukku!"

Nona itu melotot padaku membuat matanya seperti hendak keluar. Seharusnya dia tidak begitu, wajah cantiknya jadi hilang. Aku berdiri dan mengambil topiku, mengusap baju bagian belakang yang pasti kotor terkena tanah. Aku pun berjalan meninggalkan toko baju tadi.

Saat berjalan, aku bisa melihat asap pabrik memenuhi langit. Warnanya hitam keabu-abuan, lebih gelap dari pada awan mendung. Ibu bilang seorang pahwalan bernama James Watt menemukan mesin uap, sejak saat itu langit mulai dipenuhi asap.

Aku melihat ke sekitar, rumah-rumah yang ada di sini jauh lebih bagus dari pada rumah di sekitar tempatku tinggal. Orang-orangnya juga berpakaian bagus sekali, mewah dan bersih. Terkadang diam-diam aku suka membandingkan baju lusuhku dengan punya mereka.

Kadang-kadang aku akan melihat nona-nona aggun yang berjalan membawa payung kecil. Wajah mereka lembut dan cantik, tetapi wajah cantik itu akan hilang jika bertatap mata denganku. Ingatkan aku untuk bertanya pada ibu, apa golongan buruh sangat menjijikkan bagi golongan pengusaha?

"Tuan, apa Anda ingin membeli koran? Berita hari ini adalah tentang pabrik kapas yang baru dibuka." Aku segera menawarkan koran pada seorang pria yang berjalan membawa tas koper kotak.

"Terima kasih, tetapi aku sudah membelinya tadi pagi."

Aku mengangguk dan pria itu pergi. Memang tidak semua golongan pengusaha jahat, beberapa ada yang masih baik dan menghargai kami seperti tuan yang tadi. Tidak heran mengapa pria itu menolak koranku. Hari sudah sore, pastilah orang-orang sudah tahu berita hari ini.

Kid's AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang