End of World

50 11 6
                                    


Aku terbangun di sebuah tempat yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Mataku melihat ke setiap sudut tempat ini. Aku ingin menangis, tidak kulihat sedikitpun kehidupan di sekitar sini. Gedung-gedung dan rumah-rumah terlihat hancur, langit juga terlihat berwarna coklat pekat.

Berlama-lama di tempat ini membuatku sesak, aku kesulitan bernapas. Tubuhku melemah pandanganku mulai tidak jelas, perlahan kesadaranku mulai hilang. Aku tidak mau mati sekarang!

"Hei, Nak!" Aku mendengar suara seorang perempuan memanggilku. Sekuat tenaga aku memaksakan diri membuka mata. Samar-samar kulihat seseorang dengan wajah ditutupi sebuah topeng yang belum pernah kuliah sebelumnya.

"Apa yang kau lakukan di tempat ini? Kau bisa mati jika tidak menggunakan masker!" Tapi sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, pandanganku gelap dan entah apa yang terjadi berikutnya.

****

Aku terbangun di sebuah tempat tidur berbentuk kapsul yang sangat nyaman dengan cahaya berwarna biru di setiap sisinya. Ah, andai saja aku memiliki tempat tidur senyaman ini di rumah.

Ngomong-ngomong soal rumah, bagaimana keadaan kedua orang tuaku. Seingatku sebelum terbangun di tempat ini, aku dan kedua orangtua serta tiga orang kakaku berencana mengunjungi sebuah arena bermain yang sedang populer di kota kami. Sejak pagi hari aku sangat tidak sabaran untuk segera mengunjungi tempat itu.

"Sabar, Kharissa! Tunggu Ayah pulang dulu." Kak Dhafin dengan sabar menjawab pertanyaan yang sudah ke sekian kalinya kutanyakan.

"Ayah pulang jam berapa, kak?" tanyaku sambil menarik lengan baju kakak tertuaku itu.

"Jam 4 sore." Jawab kak Avi tidak acuh.

"Ih, aku nanya kak Dhafin, bukan kak Avi!" Kak Avi hanya membalas ocehanku dengan menggumam pelan sambil matanya terus menatap ponsel kesayangannya.

"Masih ada dua jam lagi, mending Ica tidur dulu deh. Biar nanti pas main di sana Ica gak ngantuk." Kak Sarah menyuruhku tidur sambil membelai lembut rambutku.

Aku langsung merebahkan kepalaku di pangkuan Kak Dhafin, satu-satunya anak laki-laki di keluarga ini. Dan dia adalah kakak kesayanganku!

Sebagai bungsu dari empat bersaudara aku wajar saja kalau aku sedikit manja, ditambah lagi perbedaan usia aku dan ketiga kakakku cukup jauh, aku dan kak Sarah—kakak termuda—berbeda sepuluh tahun.

Setelah merasa mendapatkan posisi yang nyaman, aku tertidur di pangkuan kak Dhafin. Dan di sinilah aku sekarang berada di suatu tempat yang sama sekali tidak kukenali. Apakah ini mimpi? Tapi mengapa terasa nyata!

Suara desing pintu ruangan tempatku berbaring menyadarkanku dari lamunan tentang keadaan keluargaku. Kulihat tiga orang memasuki ruangan dan menghampiri kapsul tempatku berbaring.

"Gadis manis, bagaimana keadaanmu?" Suara seorang perempuan yang kukenal menyapaku yang sudah mulai membuka mata.

"Udah mendingan, kak," ucapku pelan karena masih belum sepenuhnya sadar. "Kakak yang kemarin nolongin aku?" tanyaku yang dijawab anggukan pelan dengan senyuman kecil dari perempuan cantik itu.

"Bos, mau kita apakan anak ini?" tanya salah satu laki-laki yang berdiri di sebelah kanan kakak cantik itu.

"Kita biarkan saja dulu dia di sini sampai keadaan di luar membaik. Aku mohon kalian jaga anak ini baik-baik jangan sampai dia terluka."

"Tapi, bos!"

"Kalian tidak perlu khawatir!"

"Bukan itu masalahnya, bagaimana jika hari itu terjadi dengan cepat, dan tidak sesuai denghan ramalan yang?"

"Kalian bersabarlah, aku juga sedang mencari jalan keluarnya. Yang aku tau sampai saat ini, gadis kecil ini bukan dari tempat kita. Lihat saja pakaiannya sangat jauh berbeda dengan kaum kita. Lalu jika gadis ini benar-benar bagian dari kita, orang tuanya tidak akan bodoh meninggalkan anak kecil yang tidak tahu apapun berjalan sendirian di tengah kota. Apalagi dengan keadaan udara yang mulai tidak kondusif."

Aku hanya berdiam diri melihat tiga orang dewasa ini membicarakan sesuatu yang sepertinya penting dan menyangkut tentang dirimu.

"Gadis kecil, siapa namamu?" Tanya kakak cantik itu membelai lembut pipiku.

"Namaku Kharissa, kak. Nama kakak siapa?"

"Aku Ariendiana, kamu bisa panggil aku Rien. Ini kedua pengawalku, Sarleyhan panggil saja Ley dan Aqrielansyah panggil saja Syah." Aku hanya mengangguk menjawab ucapan kak Rien.

"Kamu asalnya dari mana?" Kak Syah bertanya kepadaku.

"Aku dari Bandung, kak."

"Bandung? Tempat apa itu?" Mereka saling bersitatap mendengar ucapanku.

"Bagaimana kamu bisa sampai ke tempat ini?" Tanya kak Ley sambil mendekat ke arahku.

"Gak tau kak, yang aku sebelum sampai ke tempat ini aku lagi tidur siang. Nah tiba-tiba pas aku bangun aku uadah ada di tempat ini. Dan sebenernya aku lagi di mana sih kak?"

"Kamu lagi ada di kota Shatier. Sebenarnya dunia kita sudah akan berakhir beberapa hari kedepan menurut sebuah ramalan. Beberapa minggu yang lalu sebuah gunung yang umurnya jutaan tahun meletus di kota Dier dan menyebabkan udara menjadi seperti ini. Makanya saat kamu bertemu denganku di pusat kota aku menggunakan masker agar bisa terus bernafas."

Aku menangis sejadi-jadinya karena takut menghadapi hari-hari kedepan. Apalagi aku berada di tempat yang sama sekali tidak ku kenali dengan orang-orang yang tidak aku kenali juga.

"Aku pengen pulang, kak! Aku takut!"

"Tenang gadis manis, kami sedang mencari tau bagaimana caramu pulang kembali ke tempat asalmu. Mohon bersabar sedikit lagi. Sekarang tidurlah dulu mungkin beberapa jam kedepan kamu sudah berada di tempat asalmu."

Dengan belaian lembut dari Rien aku kembali tertidur untuk ke sekian kalinya.

****

Cahaya terang mengganggu pandanganku, silau! Membuatku terbangun dari tidur yang cukup panjang. Kulihat ketiga kakaku mendekat dan mememlukku erat.

"Maafin kita, Ca!"

Aku bengong dengan ucapan kak Dhafin.

"Kami ingin meneliti akhir dunia, dan mengirimkanmu ke seribu tahun yang akan datang. Pada saat kau tidak sadarkan diri kami takut kau tidak kembali. Maafkan kami Ca!"

Mereka memelukku semakin erat, lalu entah dorongan dari mana akupun menangis sejadi-jadinya. Entah mungkin karena rasa takut dari apa yang kulihat dari bayangan masa depan, dan akupun membayangkan bagaimana keadaan Rien saat ini.

"Jadi, apa yang kau lihat selama berada di tempat itu?" Tanya kak Avi saat pelukan kami terlepas.

"Kakak cantik namanya Rien dengan dua orang pengawalnya. Terus di sana juga Ica tidur di kasur bentuknya kapsul, bagus banget, kak. Ica pengen punya yang kayak gitu," aku diam sebentar menghela nafas, "tapi sayang katanya, sebentar lagi dunia itu bakalan hancur. Udara di sana juga udah gak bagus, susah buat napas, gedung-gedung juga udah banyak yang ancur."

"Apakah itu akibat perbuatan manusia?"

"Ica gak tau, kak, yang Ica denger dari kak Rein, udara di sana berubah karena letusan gunung berapi."

"Syukurlah kamu udah kembali, Ca. Kita udah ketakutan setelah tiga hari kamu belum kembali ke rumah."

"Tapi di sana juga Ica cuman tidur, eh bukan tidur, tapi pingsan. Soalnya gak kuat sama udara di sana."

Setelah mengobrol panjang aku digendong menuju kamarku oleh kak Dhafin. Meski di sana hanya tertidur, tubuhku tetap merasa lelah luar biasa.

Dari dalam diriku ada sedikit penyesalan tidak bisa berkeliling meski yang kulihat hanya bangunan-bangunan yang sudah hancur berantakan. Aku berharap dunia itu belum berakhir, dan aku bisa kembali ke sana.

-Selesai-   

Kid's AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang