Perang dunia ketiga telah pecah dengan kedua kubuh yang memiliki kekuatan sama besar. Duaratus tahun setelah perang dunia II, perang tak lagi sama. Dengan kecanggihan teknologi yang ada setiap kubuh hanya perlu melemparkan nuklir mereka pada daerah sasaran, memudahkan pekerjaan anggota militer. Mereka hanya perlu menunggu nuklir yang mereka kirim meledak di daerah lawan. Namun mereka tak tau, para pelaku perang tak pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan sangat berdampak buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia, banyak daerah-daerah yang tidak tau apa menjadi korban keganaasan penguasa. Mereka tidak peduli akan perasaan anak-anak yang harus melihat berpuluh-puluh rudal melintas di atas kepala mungil mereka, perasaan anak-anak disaat telinga mereka dipaksa mendengarkan suara ledakan nuklir yang memekakkan telinga.
Seperti perasaan Vaya contohnya, gadis dari kota Honolulu yang telah ditinggal kedua orang tuanya setengah tahun yang lalu akibat terkena rudal yang kala itu jatuh di gedung tempat orang tua Vaya bekerja. Gadis yang berumur sepuluh tahun itu harus hidup berdua dengan adik laki-lakinya yang masih berusia enam tahun. Saat awal perang terjadi semua kerabat keluarganya memilih pindah ke tempat yang lebih aman. Vaya berpikir apakah kerabat orang tuanya tidak mendengar kalau ayah dan ibunya sudah meninggal atau mungkin mereka mendengar tapi sudah tak peduli lagi akan dirinya. Sebenarnya Vaya ingin menangis, dia takut, dia tidak suka keadaan ini, dia benci pada orang yang telah memulai perang ini tapi dia tak bisa apa-apa. Sekali lagi Vaya hanya seorang gadis belia.
"Kakak pergi mencari uang dulu ya, Vin," ucap Vaya pada adiknya. Setelah ditinggal orang tuanya, Vaya harus menjadi tulang punggung bagi adiknya. Tidak ada yang bisa dia lakukan di tengah krisis keadaan kotanya dan dengan statusnya yang masih seorang gadis kecil selain bekerja sebagai pengemis. Vaya tidak mengemis secara percuma, dia akan melantunkan nyanyian sebagai ganti dari uang yang diberikan kepadanya.
"Apa kakak akan pergi lama lagi? Aku takut sendirian di sini," balas Vin yang duduk di kursi ruang tamu.
"Kakak juga tidak tau. Kalo kakak sudah mendapat uang banyak, kakak akan langsung pulang," kata Vaya sambil beranjak dari duduknya, "Ingat Vin! Jangan pernah keluar rumah dan jangan membuka pintu jika itu bukan kakak," lanjutnya, Vin menggangguk tanda mengiyakan.
Vaya lalu pergi keluar rumah, dia berjalan menuju pusat kota, setidaknya di sana banyak orang untuk dimintai uang. Di pusat kota keadaannya masih cukup kondusif, masih ada beberapa bangunan yang tetap berdiri seperti rumah sakit, kantor pemerintahan, toko roti, restoran cepat saji, dan beberapa bangunan lainnya.
Langkah Vaya kini sudah sampai di pertigaan jalan pusat kota. Di sana adalah tempat biasa Vaya melakukan pekerjaannya. Hari ini cukup banyak orang yang berlalu-lalang di sana. Dengan tampilannya yang menggunakan kaos bermotif boneka teddy bear dan rok motif bunga, Vaya meletakkan topi bundarnya di depan dirinya. Dia bernyanyi dengan segenap hatinya yang sebenarnya dalam ketakutan. Bernyanyi dan terus bernyanyi walau hanya segelintir orang yang mengapresiasi dirinya dengan memberikan selembar dollar.
Cukup lama dia bernyanyi dan kini merasa lelah, Vaya memutuskan untuk berhenti dan duduk di emperan toko. Netranya memandang sekitar, mengamati tingkah laku orang-orang. Ada yang sibuk menelepon sambil berjalan, berbincang dengan rekan kerja, bertengkar karena makanan yang tak sengaja dijatuhkan. Bicara soal makanan, Vaya baru tersadar bahwa dia harus mendapat uang yang cukup untuk makan malam nanti. Melihat ke dalam topi bundarnnya hanya ada dua lembar lima dollar dan selembar uang satu dollar. Itu sangat tidak cukup untuk berdua.
Dengan langkah gontai Vaya mulai mencari tempat lain yang lebih ramai. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain sampai tak terasa waktu sudah beranjak sore. Namun uang yang dia dapat masih belum cukup untuk membeli makanan. Kini Vaya berada di pasar meski dia tak punya cukup uang. Semenjak perang menghancurkan beberapa supermarket di daerahnya, kehadiran pasar sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, meski kualitas makanan yang dijual tak sebagus supermarket. Dia bingung bagaimana uang itu bisa cukup untuk membeli dua porsi loco moco, tiba-tiba diantara kebingungannya, Vaya melihat seorang anak kecil seusia adiknya mengambil beberapa buah apel dari kios buah-buahan tanpa membayar yang kemudian apel itu dimasukkan ke dalam kantong jaket anak tersebut. Vaya ingin berteriak kalau anak itu sudah mencuri tapi baru saja membuka mulutnya, anak itu sudah lari duluan. Akhirnya Vaya kembali meneruskan langkahnya menuju kios loco moco. Sayangnya saat sampai di tujuan dia masih tidak tau apa yang harus dilakukan untuk mendapat loco moco. Dia teringat anak tadi.
Apakah aku harus melakukan seperti yang anak itu lakukan? Apakah aku boleh mencuri? Ah aku ingat ibu melarangku mencuri, katanya kalau mencuri, tuhan akan mengambil sesuatu yang berharga milik kita, batin Vaya. Sejenak dia mengurungkan niatnya, namun dia berpikir kembali, tapi sekarang aku tak punya pilihan selain mencuri lagi pula ibu tak pernah bilang kalau mencuri di saat terdesak itu boleh atau tidak. Bisa saja itu boleh,kan?
Vaya mendekati kios itu. Keadaan yang sedang ramai dan banyaknya orang yang berdesakan di depan kios memudahkan Vaya mengambil dua porsi loco moco yang sudah terbungkus lalu dengan tampang polosnya meninggalkan tempat itu. Orang-orang tidak ada yang menyadarinya karena sibuk dengan pesanan mereka yang tak kunjung selesai.
Akhirnya malam ini aku dan Vin bisa makan enak, batinnya senang melihat makanan yang dibawanya.
"Kurasa gencatan senjata ini tak akan berhasil," ucap seorang laki-laki pada temannya di dekat persimpangan jalan.
"Kurasa kau benar, tidak mungkin pihak kita menerima begitu saja setelah mereka menghancurkan sebagian dari wilayah kita," balas teman lelaki itu. Vaya yang kebetulan lewat sedikit mencuri dengar percakapan kedua pemuda itu. Dia heran yang sebenarnya anak kecil itu siapa? Kenapa para penguasa saling bertengkar tidak jelas. Vaya saja kalau bertengkar dengan Vin tidak sampai melempar rudal seperti ini. Mereka hanya akan saling memukul lalu beberapa menit kemuadian akan berpelukan untuk berdamai. Mungkin masa kecil para penguasa kurang bahagia.
Butuh empat gang lagi Vaya akan sampai di rumahnya. Dia sudah tak sabar memberikan makanan kesukaan Vin.
Duarrr!
Suara letusan tiba-tiba melengking disertai kepulan asap dan cahaya kuning di ujung tenggara.
Duarr!
Suara letusan kedua pun datang. Itu adalah bom! Jatuh pada sebuah toko, satu kilometer dari tempat Vaya berdiri. Orang-orang sudah berhamburan mencari perlindungan sedangkan Vaya masih memproses apa yang terjadi. Dia terpaku melihat pemandangan di matanya. Inginnya lari namun kakinya tak mau diajak bergerak. Airmatanya sudah menetes sederas-derasnya. Dia takut hingga berkeringat dingin.
"Hei gadis kecil! Apa yang kau lakukan? Cepat lari dari sini!" Ucap seorang wanita paruh baya sambil menepuk bahu Vaya.
Seketika dirinya sadar lalu bergegas lari menuju rumahnya tapi wanita tadi mencegatnya.
"Kau mau pergi ke mana?"
"Aku ingin pulang ke rumah"
"Jangan dulu! Kau tidak lihat rudal tadi jatuh di ujung tenggara, di sana tak aman," teriaknya, lalu menarik Vaya ke sebuah bangunan untuk berlindung.
"Tapi adikku ada di rumah, dia sendirian, dia pasti ketakutan," tangis Vaya makin keras. Dia tutupi telinganya agar tak mendengar suara ledakan.
"Aku tau perasaanmu. Aku juga meninggalkan ibuku yang sudah rentan, tapi kita harus menyelamatkan diri dulu." Wanita itu terduduk karena lelah, menyandarkan dirinya pada dinding bangunan. Kesempatan itu Vaya gunakan untuk lari menemui Vin. Dia berlari secepat mungkin, tak peduli teriakan wanita itu. Dia hanya ingin pulang dan memeluk Vin. Belasan rudal menyertai langkahnya. Terbang di atas kepalanya. Langit semakin pekat. Asap mengepul di mana-mana. Di setiap langkahnya Vaya tak henti berdoa agar semuanya baik-baik saja meski perasaannya sudah tak nyaman. Sedikit lagi. Ya, sedikit lagi dia akan sampai di daerah rumahnya, dia mempercepat larinya.
"Aku benci tuhan! Aku benci! Aku sudah berdoa tapi kenapa tuhan membiarkanku sendiri. Apa karena aku sudah mencuri? Tapi kenapa harus mengambil Vin? Dimana tuhan menyembunyikan adikku? Tuhan aku bersedia mengembalikan makanan ini tapi kembalikan juga Vin padaku. Kumohon aku takut sendirian," Vaya meringkuk di tanah yang sudah bercampur abu. Tak disangkanya saat dia tiba, rumahnya, tidak! Bukan hanya rumahnya tapi semua bangunan di sekitarnya sudah hancur. Hangus terbakar.
"Vin, kakak harus pergi kemana? Apa kakak harus pulang pada ayah dan ibu? Apa kau ada di sana sekarang?" Racaunya tak jelas.
Malam itu perang berlangsung lagi. Tepat pukul 22.45 komet Halley melintasi langit Honolulu, memimpin puluhan rudal yang melintas setelahnya. Menghujani daratan Honolulu. Malam itu juga Honolulu kehilangan sebagian jiwanya.
-Selesai-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kid's Adventure
Short StoryBercerita dengan sudut pandang anak kecil beserta segala tingkah polosnya sepertinya belum cukup. Bagaimana jika ditambah dengan berbagai latar waktu, dari saling lempar tombak sampai adu kekuatan nuklir? Selamat datang di Event ketiga Montase Aksar...