Dia Berubah

46 14 9
                                        

Kedua tanganku terkepal, ketika menyaksikan pepohonan dibabat habis dengan sadis. Gigiku menggertak melihatnya. Tidakkah mereka melihat bumi sudah panas? Bahkan sekelilingku jarang sekali terlihat adanya tumbuhan.

Berkali-kali aku bersungut-sungut menyalurkan amarah, seraya mundur selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Lantas berbalik sembari berlari, menelusuri bumi dengan gedung-gedung menjulang tinggi mencoba menggapai langit, tanpa adanya tumbuhan di sekelilingnya.

Ini ... bukan bumi yang mereka katakan.

****

Semua siaran televisi menayangkan hal sama setiap harinya: bencana alam, banjir, tidak adanya bumbu dapur, dan melonjaknya harga tanaman. Dan aku bosan melihatnya.

"Sudah makan Tra?"

Aku tidak berbalik. Tidak pula menjawab. Tetapi wanita bernotabane ibuku ini terus melontarkan pertanyaan yang sama, mendesakku untuk menjawab. "Belum," balasku.

"Makan, nanti sakit."

"Lebih sakit melihat bumi sekarang," balasku cepat, dan entah mengapa, kesunyian yang kudapat setelahnya.

Ibu tahu pasti apa maksudku. Dia juga selalu mendengarkanku mengoceh tentang perbuatan manusia yang merusak bumi, termasuk sikap egoisnya yang ingin menang sendiri. Dan aku tak habis pikir di mana hati mereka sampai hati melakukannya.

"Ibu lihat ini?" tanyaku sembari menunjuk layar televisi yang menampilkan keadaan bumi dipenuhi gedung bertingkat dan hanya ada beberapa tumbuhan. "Dan apa ini?"

Aku berbalik dengan tangan teracung ke depan, menunjukkannya layar ponselku berisi informasi bumi seratus dua belas tahun lalu.

"Kalau populasi manusia bertambah, bukan berarti tanaman tidak ada. Tahun 2018 masih ada tanaman walaupun populasinya tak kalah banyak di tahun ini."

Aku tidak tau apa yang terjadi pada ibu, namun wajahnya memerah. Tapi hei, apa aku salah?

"Seharusnya kau bersyukur karena terlahir di Tahun 2138, Petra. Kau bisa mendapatkan apa saja, teknologi sudah canggih dibandingkan Tahun 2018 yang kaubilang itu," balas ibuku, meraih benda pipih mirip telepon dahulu, mendekatkannya ke mulut. Itu adalah alat untuk on-off kan televisi juga mengganti saluran dan mengganti volumenya sesuka hati, namun tidak ada tombol. Cara kerjanya bersuara di dekat benda itu. "Saluran teknologi," kata wanita itu, lantas saluran berganti.

Aku mengerang. "Ibu, apa robot membuatmu se--"

"Lihat!" Tangan ibu dengan kasar memutar tubuhku menghadap layar hologram bernama televisi, spontan aku meringis antara sakit akan perlakuannya sekaligus meringis melihat perusahaan memiliki robot masing-masing. "Kita tak perlu lagi dengan tumbuhan."

Setelahnya, wanita berumur dua puluh lima tahun itu berlalu, meninggalkanku yang terbengong melihat kepergiannya.

Serius? Tumbuhan tidak penting?

****

Aku tidak tau apa yang terjadi pada manusia zaman sekarang. Mengapa mereka tidak mementingkan adanya tumbuhan?

Oke, mungkin masih ada, namun yang kulihat hanya sepertiga tumbuhan di setiap lima kota. Are you kidding me?

Yang kubisa hanyalah melengos, mendengus, berteriak tanpa melakukan apapun. Tapi hey, biji saja sekarang mahal sekali, dua juta per kilogram, lantas bagaimana aku bisa membeli? Aku hanyalah perempuan berusia dua belas tahun yang marah pada kaumku--manusia--yang seenak jidat pada bumi.

Kid's AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang