"Konflik kekerasan menciptakan zona diam dalam masyarakat. Tindakan dan tanggung jawab pelaku ditutupi. Dan begitu pula penderitaan korban, peran para saksi... Dan kebisuan ini kemudian diwarisi ke generasi berikutnya."
—Dan Bar-On—
****
Suatu pagi, aku mendengar teriakan salah seorang tetanggaku yang masih bertahan tinggal di rumahnya—seperti keluarga kami. Ia adalah seorang wanita tua yang tinggal sendirian karena suaminya telah meninggal dunia di minggu pertama orang-orang Rusia memasuki Jerman dan menyerang daerah kami.
Ada begitu banyak bangunan yang hancur, kematian, jeritan, lalu lengang. Sebab sebagian besar orang yang kehilangan tempat tinggal dan keluarganya kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan kota Berlin.
"Anneliese," panggil ibuku dari muka pintu. Segera setelah mendengar Lisbeth—tetanggaku—berteriak histeris, beliau berlari tergopoh-gopoh menjangkau pintu yang langsung menghadap ke muka jalanan. Di mana rumah Lisbeth terletak persis di seberang jalanan depan rumah kami.
"Iya, Bu?" sahutku pelan. Aku berusia enam tahun ketika suami Lisbeth meninggal dan kini aku hampir menginjak usia tujuh tahun. Aku tidak memahami detail kronologis kematian suaminya, namun aku memahami beban psikologis yang menimpanya.
"Bawakan mug teh yang ada di atas meja." Aku tahu setiap pagi dan petang ibu tak pernah lupa membuatkan teh untuk Lisbeth. Biasanya disertai dengan sepotong roti, tapi beberapa hari terakhir, ibu kesulitan mendapatkan roti kualitas baik untuk dimakan oleh manula seperti Lisbeth. Jangankan yang kualitas baik, yang jamuran saja susah untuk didapatkan.
Saat aku tiba di depan pintu dengan mug teh, ibuku sudah di teras rumah Lisbeth seraya memeluk wanita itu dan mengusap punggungnya seakan menyalurkan ketenangan.
"Ada apa, Bu?" tanyaku saat tiba di dekat kedua wanita itu dan mengulurkan mug teh kepada ibu.
Ibu belum sempat memberi jawaban ketika Lisbeth tiba-tiba mengulurkan tangannya dan menunjuk ke arah lampu jalanan tidak jauh dari tempatku berdiri.
Saat itulah aku baru menyadari ada sesuatu yang mengerikan yang telah membuat Lisbeth histeris.
Di sana, di tiang lampu jalanan, seorang pria tergantung meregang nyawa. Tenggorokanku seakan tersumbat sehingga aku sama sekali tak mampu bersuara.
Keesokan harinya, dua orang tentara rusia datang ke sana untuk memotong talinya setelah memastikan pria itu sudah mati. Ia adalah orang yang berusaha melarikan diri dari perang dan bersembunyi di gedung pertokoan yang sudah hancur, tetapi ia akhirnya tertangkap dan digantung sampai mati.
Setelah itu, ia dibiarkan terbaring di jalanan berhari-hari dengan mulut yang terbuka. Dan anak-anak menjadikan pria itu mainan mereka dengan melemparkan kerikil ke dalam mulutnya yang terbuka. Meski pada akhirnya ia dibawa pergi dan dikuburkan di pinggir jalan. Karena mayat tak boleh berada di jalanan kota, sebuah truk datang untuk menggali kuburannya. Dan mayatnya dilemparkan ke dalam truk bersama jenazah lain. Kami, para anak-anak menonton kejadian itu, lalu pergi makan siang.
Kami makan bubur jagung, namun aku hanya bisa membayangkan mayat-mayat itu dengan pakaian mereka yang compang-camping dengan tulang yang menonjol. Kemudian aku merasa mual.
Pernah suatu hari aku pergi ke Wilhelmsaue, sebuah kolam kecil di Berlin bersama salah seorang tetanggaku, Joseph dan kakak perempuannya, Evelyn. Mereka berdua adalah anak keturunan Yahudi yang sering mendapat perlakuan diskriminatif di sekolah kami. Mereka berdua sering dipukuli oleh guru kami yang merupakan anggota Nazi.
Sore itu kami menemukan sesosok jasad perempuan yang sudah mati mengambang di permukaan air, tertelungkup. Roknya sudah membalon, angin meniupnya dan ia seperti sedang berlayar mengambang di permukaan kolam.
Joseph dan aku lama terpaku mengamati perempuan itu mengambang mengikuti arah angin. Tapi kemudian Evelyn menyeret kami dari sana selamanya, ia tak pernah mau membawa kami berjalan-jalan lagi setelah itu.
Berbulan-bulan kemudian, di suatu malam aku terbangun karena dinding kamarku bergetar. Aku menahan napas ketika mendengar suara berat ayahku yang tengah berdebat dengan ibu. Malam itu, untuk pertamakalinya aku kembali mendengar suara ayahku sejak ia bergabung dengan The Reich bertahun-tahun yang lalu. Dan sayangnya, malam itu adalah malam terakhir pula aku mendengar hentakan kaki ayahku yang meninggalkan rumah untuk selamanya.
Esoknya, di pagi buta, ibu mengemasi barang-barang kami dan menyeret koper-koper kami ke muka rumah. Pipi kanannya lebam dan sudut bibirnya menampakkan jejak darah yang mengering. Dengan dingin ibu berkata padaku, "kita akan pindah ke rumah peternakan di desa."
"Tapi bu ..." Aku ingin bertanya mengapa, tapi justru yang keluar dari bibirku adalah, "Bagaimana dengan Lisbeth? Bagaimana Joseph dan Evelyn? Mereka akan sendirian."
"Kita juga sendirian." Aku tak melihat rupa ibu yang penuh belas kasihan seperti biasanya.
Aku tak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini. Aku tak bisa menyalahkan ayahku meskipun ia adalah penjahat dalam keluargaku. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa tangannya yang pernah mengusap rambutku dengan sayang, kini malah membunuh orang-orang tak bersalah.
Kami tak punya pilihan selain pindah ke rumah peternakan di desa. Rumah peninggalan orangtua ibu. Di sana, ada anjing Keeshond besar yang menjaga rumah peternakan dan nenekku di sana. Nenekku masih cukup sehat dibanding Lisbeth. Sebab ia telah terbiasa hidup sendiri jauh sebelum Perang Dunia II meletus.
Namun itu pun tak bertahan lama, sebab sekonyong-konyong rumah peternakan itu diserang oleh pasukan tentara Rusia yang bertubuh kecil dan menaiki kuda poni. Sekejap saja tempat itu diambil alih oleh mereka. Anjing Keeshond kesayangan nenek yang telah mengabdikan hidupnya kepada nenekku ditembak mati oleh para tentara itu, karena ia menyalak.
Kami ditawan selama beberapa waktu, lalu kemudian ibuku memutuskan untuk membawa kami kabur. Kami berjalan sepanjang hari, berkilo-kilo meter tak tentu arah, melewati orang-orang mati dan kuda-kuda terbaring di jalanan, bertumpukan.
Sejak saat itu aku dan keluargaku tidak punya tempat tinggal tetap. Kami tidur di kandang-kandang, di pabrik yang sudah ditinggalkan, di kamp yang menyediakan tempat mandi antiseptik untuk membersihkan diri dari kutu dan sup encer dari dapur terbuka.
Kadang-kadang dari atas langit yang cerah, aku melihat pesawat pengebom, berwarna keperakan dalam formasi serangan, begitu tinggi, memekakkan telinga, lalu muncul ledakan di mana-mana sehingga kami harus lari tunggang langgang menghindari diri dari kejatuhan bom.
Dari perjalanan itu, hanya aku yang berhasil selamat.
Aku kembali ke Berlin, ke rumahku, setelah perang dunia berakhir. Aku menemukan Lisbeth baik-baik saja. Tapi Evelyn kehilangan salah satu kakinya, dan Joseph kehilangan kewarasannya.
Lalu ayahku, ia memutuskan untuk tidak pernah kembali. Aku tak pernah tahu, apakah ia mati dalam perang, atau mati sesudah perang. Lisbeth melihat jasadnya terkapar di balai kota, tapi Lisbeth tak pernah ingat, kapan dan mengapa.
-Selesai-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kid's Adventure
Short StoryBercerita dengan sudut pandang anak kecil beserta segala tingkah polosnya sepertinya belum cukup. Bagaimana jika ditambah dengan berbagai latar waktu, dari saling lempar tombak sampai adu kekuatan nuklir? Selamat datang di Event ketiga Montase Aksar...