A Key From The Past

60 11 18
                                    


PRRAANGG

Lagi.

Untuk kesekian kalinya dalam seminggu terkahir 'UFO' sering beterbangan di dalam rumah. Aku berharap semoga masih yang tersisa untuk sarapan besok pagi. Ah, sepertinya aku tak butuh sarapan. Untuk apa sarapan jika menelannya saja susah? Melihat mereka berdua membuat tenggorokanku sakit.

Benci? Mungkin. Bisa saja aku membenci mereka dengan berbagai alasan. Namun, pada kenyataannya membenci mereka hari ini maka dapat dipastikan bahwa tak sampai sehari aku akan merindukan mereka.

Oh, ayolah! Aku hanya bocah 7 tahun yang masih menyusu dan digendong ayah ibunya.

PRRAANGG

Baiklah, sepertinya besok pagi kami sarapan tanpa piring. Semoga daun pisang di belakang rumah belum sobek tertiup angin.

Sungguh, aku ingin melerai. Aku bosan mendengar perkelahian orang dewasa yang sama sekali tidak kumengerti. Jika sudah seperti ini, aku hanya mampu menulikan telinga dan menyembunyikan diri di bawah selimut. Sesekali menangis, berharap nenek datang dari surga untuk melerai dua orang dewasa yang tidak siap dewasa itu atau membawaku pergi dari sini.

"HANSUNG AKAN PERGI BERSAMAKU! DIA MASIH KECIL! SECARA HUKUM DIA HARUS BERSAMA IBUNYA!"

"DIA PUTRAKU! AKU AYAHNYA DAN DIA HARUS BERSAMAKU!"

"TIDAK! AKU YANG MELAHIRKANNYA! KAU AKAN DITUNTUT JIKA MEREBUT SEORANG ANAK DARI IBUNYA!"

Astaga.

Apa barusan mereka menyebut namaku? Mereka tidak berencana untuk berpisah, 'kan? Tolong seseorang beritahu aku bahwa apa yang kudengar tadi adalah sebuah kesalahan teknis pada gendang telingaku. Mereka tidak sedang memperebutkan aku, bukan? Oh, Tuhan.

Terdengar derap langkah kaki yang kuyakini sebagai langkah kaki ibu yang tergesa-gesa menapaki setiap anak tangga. Aku ramal, tujuannya adalah kamarku.

BRAK

Bingo

"Hansung, ayo bangun. Kita pergi ke rumah Bibi Kim!" seru ibu padaku tanpa menoleh dan langsung membuka lemari, mengambil koperku dan mengemasi semua pakaianku.

"HEI! MAU APA KAU?!" belum sempat aku menjawab seruan ibu, ayah tiba-tiba masuk dan menghentikan ibu yang tengah memasukan pakaianku.

"AKU AKAN MEMBAWANYA PERGI! KAU PUAS?!" teriak ibu tepat di wajah ayah yang merah padam dan sangat mengerikan bagiku.

"SUDAH KUBILANG HANSUNG AKAN TETAP BERSAMAKU!"

"TAPI AKU IBUNYA!"

"DIA TANGGUNGJAWABKU! AKU PUNYA HAK PENUH ATAS DIRINYA!"

"AKU JUGA PUNYA---"

"DIAM!"

Untuk pertama kali dalam hidupku, aku berteriak lantang kepada mereka berdua. Tuhan, maafkan aku yang sudah menjadi anak nakal. Aku tidak tahan lagi, sumpah.

Dengan air mata yang kini membasahi wajah dan ingus yang sesekali kutarik kembali, aku menatap mereka satu per satu. Mereka pun sama. Seolah baru saja disiram air es, diam tak berkutik.

"Bisakah -hiks- ibu dan ayah tidak -hiks- bertengkar?"

"H- Ha- Hansung, ma- maafkan kami. Ibu hanya ingin mengajakmu pergi," ucap ibu melemah.

"Hansung tidak akan pergi bersamamu! Apa kau tuli?!" sahut ayah cepat. "Hansung, sayang, cuci muka lalu kita jalan-jalan, hm?" sambung ayah yang kali ini diucapkannya padaku.

Kid's AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang