Oentoeng terpaku tak jauh dari tumpukan kayu yang dimakan api. Pandangannya bergulir mengikuti gerak orang-orang dewasa yang sibuk membopong satu demi satu mayat yang dibungkus kain putih, untuk kemudian dilempar ke arah kayu; dibakar. Bocah sepuluh tahun itu tetap bergeming saat ada seorang wanita yang berdiri di sebelahnya; rukuk ke arah kobaran api, kemudian bersimpuh, dan membungkuk dalam. Pelan ... suara tangis yang menyesakkan dada terdengar.
Seketika Oentoeng merasakan kerinduan yang dalam. Teringat akan sosok ibu dan kakak perempuannya, juga ayah dan adik laki-lakinya yang belum dia lihat. Tubuhnya pun bergeser sedikit. Tidak lagi mengamati orang-orang dewasa yang masih sibuk membakar mayat, kini dia awas menilik wajah-wajah di sekitar. Dan terduduk saat tidak dijumpai rupa dari keluarganya.
Mungkin di sana.
Oentoeng mulai berdiri. Tertatih-tatih dia beranjak. "Ma ...!" jeritnya. "A ...!" Lagi, bocah itu berusaha memanggil keluarganya.
Langkah kaki Oentoeng mendadak berhenti. Bukan sahutan yang didapat, melainkan bisikan serupa geraman yang ditangkap. Geraman yang selalu mendobrak gendang telinganya dengan suara keras itu, kini sangat lirih seolah kehabisan daya. Batok kelapa di tangan kiri semakin erat dia genggam saat menghadapkan tubuh ke arah laut. Di sana, di bagian tengah laut itu, sudah tidak ada lagi yang menatapnya angkuh.
Namun, sepasang tungkai kurus Oentoeng gemetar, hingga membuat dia kembali terduduk. Tidak ada yang menghiraukannya, bocah itu merangkak menjauh, menghindar dari debur pelan yang sempat membasahi kakinya yang terluka. Sampai hari ini, kisah yang sering dituturkan neneknya masih diingat.
Oentoeng sudah berusaha memberi tahu setiap anggota keluarganya. Mengisyaratkan pada mereka dengan gerakan tangan yang sama berkali-kali. Namun, tidak ada yang bersedia mengacuhkan isyaratnya. Mereka hanya menganggap peringatan itu sebagai angin lalu dari anak yang selalu sendiri.
Oentoeng memang selalu sendiri setelah ditinggal mati neneknya. Ayahnya sibuk bekerja di lahan yang digarap Mr. Beijerincks. Pergi pagi pulang petang. Begitu juga ibu dan kakak perempuannya yang membantu pekerjaan rumah di kediaman pengawas Bank Kapas tersebut. Sementara si adik, selalu enggan dibuntuti. Anak-anak sebayanya juga tidak mau berdekatan. Tidak ada yang bersedia mengajaknya bahkan pada permainan sundung khulah yang tidak memerlukan pita suara saat bermain. Hanya sebagai pengamat tanpa boleh bersuara, posisi yang dia dapat.
Merasa iri dan ingin menangis, Oentoeng menjauh perlahan. Membiarkan adiknya menjerit tak terima saat lawan dalam permainan sundung khulah berhasil mengimpit batu milik si adik, sementara dia memulai kegiatan baru; duduk di sebelah pohon kelapa sambil menatap tepat pada objek di tengah laut.
Makatau. Oentoeng ingat betul kisah itu. Melihat gunung di seberang sana yang besar, membuatnya berpikir tentang kekuatan Makatau yang bertambah kuat. Kalau Makatau berhasil memulihkan kesaktian, maka sebelum semua itu terjadi keempat puyang yang menjaga masing-masing gunung akan bersatu, lalu menghancurkan Makatau.
Dulu, kisah rutin sebelum tidur itu selalu membuatnya bersemangat. Membayangkan Puyang Pesagi, Puyang Tanggamus, Puyang Seminung, dan Puyang Rajabasa berbaris kokoh saling menyalurkan kekuatan untuk mengalahkan Makatau, selalu bisa membuatnya tidur nyenyak. Namun, jika dilihat hari ini, dia menjadi ragu. Makatau sering mengeluarkan suara menakutkan, juga getaran yang semakin sering dia rasakan. Mungkinkah para puyang sudah kalah terlebih dahulu?
Memikirkan kemungkinan para puyang sudah tidak sakti lagi, membuat Oentoeng rajin berdiri di samping pohon kelapa. Dengan tubuh kurusnya menghadap lurus ke arah laut. Tepat pada gunung di seberang sana, tatapannya terpaku; nyalang dengan napas memburu. Sayup, di antara suara ombak yang memecah bibir pantai serta embusan angin yang menggerakkan daun di atas kepala, telinganya menangkap bunyi geraman. Kuat seolah menantang. Tidak hanya membuatnya semakin kuat memegang batok kelapa, tetapi juga memulai langkah.
![](https://img.wattpad.com/cover/145332551-288-k817776.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kid's Adventure
Krótkie OpowiadaniaBercerita dengan sudut pandang anak kecil beserta segala tingkah polosnya sepertinya belum cukup. Bagaimana jika ditambah dengan berbagai latar waktu, dari saling lempar tombak sampai adu kekuatan nuklir? Selamat datang di Event ketiga Montase Aksar...