Chapter 2: Unbelievable Short Conversation

890 58 37
                                    

Hari ini jadwal kuliah Hanna sangat padat. Bahkan untuk menjalankan rutinitasnya pun ia tak sempat. Rutinitas jalan-jalan ke lantai 6 hanya untuk melintas di depan ruang kelas Stevan. Sungguh hal yang sangat membuang-buang waktu dan tenaga.

"Hanna, kita ke kantin yuk? Aku lapar." ucap Valerie yang tengah memegangi perutnya yang sudah keroncongan.

Hanna mengangguk. Wajahnya terlihat muram. Bagaimana tidak muram? seharian ini ia hanya melihat Stevan saat di parkiran saja. Valerie yang sedari tadi menatapnya mulai mencium bau-bau sesuatu yang tidak beres.

"Ada apa dengan wajahmu? Kenapa seperti tidak bersemangat sih?"

Hanna menunduk. "Tidak aku baik-baik saja, mungkin karena aku belum makan."

"Oh Hell! Aku saja yang kelaparan setengah mati masih bisa berteriak dengan keras. Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan." Valerie menyunggingkan senyum kecutnya.

"Kau seperti itu karena tidak bertemu Stevan bukan? "

Tebakan Valerie sukses membuat Hanna mendongak. Berani-beraninya Valerie berkata seperti itu di tengah perjalanan. Hanna geram dan menarik tangan sahabatnya itu kemudian masuk ke dalam toilet.

"Kau ini kalau bicara tidak tahu tempat ya? Kau sudah berjanji padaku akan menjaga rahasia yang hanya aku, kau dan Tuhan yang tahu. Kau ini bagaimana sih. Untung tidak ada siapapun tadi." omel Hanna yang membuat Valerie tertawa.

Hanna menaikkan satu alisnya tak percaya, apa perkataannya barusan terdengar lucu?

"Aku suka melihatmu ketika panik begitu, Hanna. Ya setidaknya usahaku berhasil untuk membuatmu merubah ekspresi murung diwajahmu." ucap Valerie di sela-sela tawanya.

Mereka pun melanjutkan perjalanannya ke kantin. Hanna selalu memberi tatapan tajam ketika Valerie tak berhenti tertawa. Gadis itu memang sangat jahil. Tapi di balik semua itu Valerie adalah satu-satunya sahabat terbaik yang ia punya.

"Kau mau makan apa?" tanya Valerie yang sudah siap memesan makanannya.

"Sama denganmu saja."

"Baiklah tunggu sebentar aku akan pesankan."

Belum lama Valerie pergi, tiba-tiba datanglah Brandon, teman sekelasnya. Brandon menenteng pasta dan jus melon yang telah ia pesan barusan.

"Boleh aku bergabung, Hanna?" tanyanya dengan senyum manis khasnya.

"Boleh saja."

Demi apapun jika Brandon tersenyum, seakan-akan Dewa Yunani hidup kembali. Dia benar-benar tampan. Namun sayang, setampan apapun Brandon, hati Hanna sudah terlanjur jatuh pada Stevan.

Selang beberapa menit, Valerie datang membawa nampan yang berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas jus jeruk. Valerie sedikit merasa bingung, tumben-tumbennya Brandon mau duduk dan makan bersama.

"Tumben!" ucap Valerie dan Brandon sudah mengerti maksud dari kata Tumben itu.

"Kau lihat saja itu!" Brandon menunjuk salah satu bangku yang ada di pojok kantin. "Tadinya aku duduk disana, tapi orang-orang itu mengusirku. Mereka memang selalu semena-mena."

Hanna diam tanpa suara begitu tahu siapa yang dimaksud oleh Brandon. Jantungnya berdegup kencang, rasanya sejuk bagaikan ada angin yang menerpa wajahnya. Valerie yang melihat perubahan ekspresi Hanna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimana Hanna tidak diam mematung seperti itu ketika yang dilihatnya adalah orang yang membuat semangatnya kembali bergemuruh. Siapa lagi kalau bukan tiga serangkai Stevan, David dan Rafael. Mereka masih satu keluarga. Rafael Axelano Carlton adalah sepupu David dan Stevan. Rafael adalah pria tampan berdarah Prancis-Australia. Sebenarnya ketampanan Rafael bisa menandingi Stevan dan David, tapi tetap saja Stevan yang paling di puja di kampus ini.

Secret Admirer [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang