Chapter 18: Is It A Real Happiness?

317 26 2
                                    

Malam itu Rafael dan Nicolas menyempatkan diri untuk datang ke sebuah club malam. Mereka tidak datang sebagai seorang bos dengan karyawannya, melainkan sebagai seorang teman atau sahabat. Ya, memang selama menetap di San Francisco, Nicolas lah yang menjadi teman bicaranya sekaligus penasihat terbaik untuknya. Nicolas pun tahu perihal kisah cinta Rafael dalam memperjuangkan Hanna yang harus terhenti di tengah jalan. Ia pun tahu jika beberapa hari terakhir ini pikiran Rafael sedang kacau karena merindukan sosok Hanna.

"Just relax, Raf. Everything will be fine."

"I don't know, Nic. What should i do?"

Nicolas nampak berpikir sejenak. Ia menerawang langit-langit bar tempat mereka duduk malam ini. Rafael nampak terlihat frustasi. Ia meneguk segelas red wine yang ada di genggamannya itu.

"Sudahlah, Raf. Jangan terlalu banyak minum, nanti kau malah mabuk. Bagaimana jika kau jangan menghiraukan ancaman Stevan?"

Rafael menatap Nicolas tajam. "Maksudmu?"

"Ya. Kau hanya perlu menghubungi Hanna selayaknya kau menghkawatirkan kondisinya, menanyakan kabarnya. Lakukan saja hal yang membuat rasa rindumu terobati."

"Apa kau gila? Jika Stevan tahu dan akhirnya mencelakai Hanna? Oh, aku tidak bisa membayangkan hal itu."

Nicolas tersenyum miring. "Kau ini CEO muda yang pintar tapi bodoh rupanya."

"Apa maksudmu mengatakanku bodoh?"

"Apa kau berpikir jika Stevan akan benar-benar berbuat yang macam-macam pada orang yang ia cintai?"

Rafael nampak berpikir sejenak. Dulu Stevan saat bersama Cathline, ia merusak dan menyakiti Cathline. Well, itu jelas karena Stevan tidak sungguh-sungguh mencintai Cathline.
Jadi, apa mungkin Stevan sungguh-sungguh dalam hal mencintai Hanna?

"Tapi aku tak yakin jika Stevan benar-benar mencintai Hanna!"

"Kau bilang padaku jika Stevan selalu berusaha melindungi Hanna, bahkan menyentuh Hanna pun ia tidak pernah lakukan bukan? Jika memang niatnya ingin menyakiti Hanna, kenapa tidak ia lakukan dari dulu saja? Toh juga akan sama saja kan?"

"Jadi menurutmu Stevan tidak akan mungkin berbuat yang macam-macam pada Hanna?"

"That's right! Jadi kau tidak usah memperdulikan ancaman Stevan padamu. Karena itu hanya sekedar ancaman semata."

Rafael menghela napasnya lega. Kenapa juga ia tidak bisa berpikiran yang sama dengan Nicolas. Apa yang dikatakan Nicolas sepertinya benar, seganas-ganasnya macan tidak mungkin ia akan menyakiti anaknya, karena macan itu sangat mencintai anaknya. Mungkin Stevan juga seperti itu, sebrengsek-brengseknya dia, sepertinya ia tidak akan tega menyakiti orang yang dicintainya.

"Kau benar Nic! Mungkin aku terlalu bodoh dalam hal semacam ini. Besok pagi aku akan mencoba menghubunginya."

Nicolas tertawa melihat ekspresi Rafael yang seperti anak kecil yang mendapat sebuah permen. Sangat menggemaskan.

"Ya. Tapi kau juga harus berhati-hati, jangan sampai Stevan mengetahui jika kau menghubungi Hanna."

"Ya, aku memang harus berhati-hati. Stevan masih punya Derek dan mata-mata lainnya yang siap memberikan semua informasi yang diinginkan Stevan."

"Kuharap usahamu berhasil, Raf."

"Thanks, Nic. Aku tidak tahu jika tidak ada kau, apa masalahku ini akan mendapat jalan keluar atau harus kubiarkan berlarut-larut dan membuatku semakin kacau."

"Santai saja. Ini memang sudah tugasku sebagai temanmu." ucap Nicolas seraya menepuk bahu Rafael dengan senyumnya yang mengembang.

Rafael pun nampak menarik bibirnya hingga membentuk senyuman yang sangat indah. Ia sangat merindukan Hanna. Satu bulan tanpa Hanna rasanya bagaikan separuh jiwanya perlahan hilang dan sirna. Namun kini, nampaknya sedikit cahaya harapan itu mulai terlihat. Hanya perlu usaha keras untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.

Secret Admirer [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang