Side Story - A Sacred Land to Live

1.9K 6 0
                                    

Pagi ini saya terbangun, saya kembali bermimpi aneh, sudah beberapa kali sejak dua tahun yang lalu saya memiliki mimpi mimpi yang aneh ini, menganggu tidak, hanya saja membuat saya berpikir karena mengalaminya, saat menoleh, jam masih menunjukkan ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini saya terbangun, saya kembali bermimpi aneh, sudah beberapa kali sejak dua tahun yang lalu saya memiliki mimpi mimpi yang aneh ini, menganggu tidak, hanya saja membuat saya berpikir karena mengalaminya, saat menoleh, jam masih menunjukkan pukul tiga pagi.

Tinggal sendiri memanglah tidak mudah, terkadang saya selalu merenung, memikirkan mengapa keadaan saya sekarang adalah satuan yang berbeda dari keadaan dari sekian banyak orang di dunia ini, termasuk karakter setiap orang, hal unik yang mengundang senyum saya saat menikmati memperhatikan setiap orang dalam kehidupan ini.

Saya sekarang sudah menjadi seorang orphan, hidup sendiri tidaklah mudah, jauh dari kata gampang—karena selama ini yang saya tahu, saya dididik untuk selalu berkomunikasi secara kontinyu dengan kedua orang tua saya, Babap dan Inang, yang sesekali masih terselip kangen akan kehadiran mereka dalam hari hari saya.

Selain itu, saya nggak biasa masuk kedalam kehidupan seseorang untuk menetapkan sebuah tujuan, atau hanya tetap menjadi orang yang mereka kenal, kecuali dengan beberapa pengecualian, saya bisa mengenal orang tersebut bertahun tahun lamanya...

Dan saya memang membutuhkan hal seperti itu untuk benar benar memiliki hubungan dengan seseorang, entah itu teman, atau jenis hubungan berkualitas yang lainnya.

Sejak tadi, saya hanya memperhatikan lampu statis dari penghangat udara di ruangan ini, saya udah nggak bisa bayangin lagi gimana rasanya tinggal di Bandung bagian utara dengan temperatur udaranya yang juga sebenarnya, tidak terlalu bersahabat, disini cuacanya terlalu dingin.

Di jajaran Sersan Bajuri, Lembang dan daerah yang dekat dengan gunung Tangkuban Parahu—suhu disini bisa dibilang sangat ekstrim untuk ukuran suatu negara beriklim tropis. Suhu setelah tengah malam bisa mencapai lima belas derajat celcius dan masih agak sama hingga menjelang fajar tiba.

Saya tinggal disini, di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk pusat kota Bandung. — Sudah sekitar dua tahun yang lalu saya pindah kesini, karena dari kecil saya selalu bercita cita tinggal di dataran Bandung yang lebih tinggi, yang ketika malam hari tiba, saya bisa melihat lelampuan kota dari patio dirumah saya.

Alasan kedua, karena saya adalah mahluk penyendiri, when it comes to personal escape, saya bisa seperti ikan yang berada di atas laut kalau saat ingin bernafas/beristirahat saja masih banyak kegaduhan yang menganggu.

Percaya sama saya, rumah babap dan Inang yang ada di perumahan² itu gaduhnya minta ampun, saya nggak bisa tahan dengan skejul party tetangga saya yang setiap malam bisa diadakan, dan gonggongan anjing² peliharaan mereka.

Skenario membangun rumah saya ini sebetulnya... sudah saya rencanakan dengan matang sejak bertahun tahun yang lalu, karena saya juga kembali mengatur ulang rencananya saat saya masuk ke jenjang pendidikan strata satu, sambil kerja, saya mengatur anggaran untuk mewujudkan rencana saya seorang diri.

Tentunya keinginan saya akan hal ini sudah saya komunikasikan dengan Babap dan Inang sejak saat itu pula, mereka bilang saya bisa ambil beberapa dari aset mereka, unfortunately saya menolak, karena kalau sudah punya, ngapain minta lagi.

Diary Seorang Womanizer (PK) - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang