Side Story - We're in the backyard, honey.

405 1 0
                                    

"Bapp?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bapp?"

"Inangg?" seru saya mencari cari sosok mereka.

It was the afternoon that I truly remember.

I'm going upstairs, looking for my mom and dad in home, I was wandering around, I was looking for both of them to tell about my university report.

Saya sedikit gelisah sesaat—karena tak juga menemukan kehadiran mereka berdua di senja itu. Karena tak kunjung bertemu, akhirnya saya berusaha mencari asisten rumah tangga yang bekerja dirumah saya, terlihat, Cecep sedang berada di halaman teras rumah, membersihkan rumput di taman.

"Ceeep, Babap, Inang, ada di mana?" tanya saya ketika saya berhasil menemukan Cecep.

"Didalamm—kan Babap sama Inang gak pergi kemana mana kok gann." jawab Cecep menjelaskan kepada saya.

Setelah bertanya, saya berusaha kembali mencari keberadaan Babap & Inang didalam rumah ini, dengan langkah yang tergesa gesa, saya menyisir seisi rumah, saat semua ruangan di dalam rumah telah saya periksa—termasuk kamar Babap, saya terdiam sejenak, lalu mencoba untuk berpikir.

Perasaaan resah timbul, karena saya ingat betul bahwa hanya satu tempat dirumah ini yang saya berjanji, tidak akan pernah saya kunjungi lagi sejak saya berumur delapan tahun, di senja ini, perlahan lahan, memori dari tempat itu menjelma dalam kepala saya.

Ketika menuruni satu per satu anak tangga, saya mengepalkan tangan saya, mencoba memberanikan diri untuk pergi ke lantai paling dasar dirumah ini, tanpa merasa ada yang kurang, saya membawa diri untuk menghampiri tempat tersebut. Samar samar dari kejauhan—saya mendengar musik yang berasal dari disc player milik Babap sedang menyala.

Saya hafal betul dengan musiknya, tentu saja, musik Bob Acri lah yang diputar pada disc player tersebut, album timeless nya yang rilis di tahun 2001 itu nggak mungkin dilewatkan oleh Babap. Dan rupanya benar intuisi saya mengatakan. Mereka berdua sedang duduk di halaman belakang rumah.

Namun, saat saya beranjak menghampiri mereka, saya mematung, dan hanya memperhatikan mereka berdua dari belakang. Duh, halaman belakang rumah, sama sekali bukan hal yang mudah bagi saya, meskipun sudah begitu lama sejak saat itu.

"Bappp!" sapa saya dari kejauhan, melambai kearahnya.

"Eh ade, kesini de, gabung." babap menoleh, mengajak saya untuk bergabung dengan dia dan Inang.

Demi tuhan, setelah Babap memanggil saya, saya masih tetap mematung dan hanya menatap dari kejauhan, hal ini terasa seperti omong kosong, memang—karena waktu itu saya belum mengerti bagaimana caranya mengatasi rasa trauma yang melekat didalam diri dari haunted times di masa kecil saya.

Maklum lah, meskipun waktu itu saya sudah menjadi freshman / anak baru di jurusan desain komunikasi visual di universitas tempat dimana saya berkuliah—nah trauma seperti ini, karena kejadiannya waktu saya masih kecil, bagaimana pun juga, walau saya udah gede, saya masih trauma dengan kejadian yang menimpa saya di halaman belakang saat saya masih kecil itu.

. . . .

Kini, saya sedang menatap sepetak halaman yang hanya dihalangi oleh kaca bening dari tempat dimana saya berdiri, dan adanya rak buku serta beberapa kursi goyang tempat Inang dan Babap bersantai di senja ini, di halaman belakang rumah kami.

"Maddie, sedang apa kau nak... sini atuh sayang, duduklah kau disini." sahut Inang memanggil dan sedikit menoleh kebelakang, mendelik kearah saya.

Keringat dingin mulai terasa membasahi pelipis, tampilan akan kejadian mengerikan yang pernah saya alami di masa kecil itu kini kian terasa jelas membayangi—seperti sudah berada di ujung mata, kali ini saya kembali menyaksikannya dengan jelas dalam pikiran saya.

Ketika bibir terasa kelu, saya yang sudah mematung sejak tadi, menjadi lemah tak berdaya, sama sekali tak berkutik. Membiru.

Sesaat kemudian, saya hanya mengingat ingat wajah Essa yang menenangkan, menghanyutkan jiwa ketika ia menasihati saya untuk tidak terlalu membesar besarkan sesuatu.

Kemudian saya berjalan ke halaman belakang bak seorang lelaki yang tidak mengerti apa itu perasaan takut yang berlebihan, saya hanya sadar, rasa takut yang tidak begitu membunuh itu sebenarnya hanya saya yang membuatnya menjadi seperti itu, tak lain, dan tak kurang sedikitpun.

"Ah... Bap, ini hasil ujian semester dua ade." ucap saya seraya menyerahkan lembar laporan hasil ujian saya—sambil duduk di sebelah mereka, saya merasakan sebuah kelegaan karena saya berhasil menghampiri mereka.

"Addiy... Inang tahu, barusan kau baru aja melawan ketakutan lamamu itu kan. Baguslah nak, akhirnya, kau berani jugak duduk disini akhirnya," jawab Inang santai.

"Kok bisa tau Nang?" tanya saya kepada Inang saya ini.

"Tuh, jidatmu kayak habis mandi, basah," jawab Inang lagi.

"Ah Inang ini..., pandai kali," saya pun menyerah...

"Hahah, kau kayak gak tau Inang aja." jawab Inang lagi.

Gak lama setelah itu saya menyerahkan lembar laporan ujian itu kepada Babap, lalu—Babap meraih kacamatanya, dan mulai membacanya dengan cermat.

Bagi kalian yang bertanya tanya, tentang apa yang saya takutkan, barangkali kalian pernah mendengar, tentang penglihatan ESP, atau persepsi ekstra sensori. Ya, apapun lah itu namanya yah.

Bahasa mudahnya adalah indra keenam, mungkin pada jaman seperti sekarang ini kita lebih sering mengidentifikasikan hal – hal seperti ini pada diri seorang anak indigo, atau begitu orang orang menjuluki mereka.

Kalian pasti akan paham rasanya, hanya jika kalian pernah mengalaminya—dan saya paham... bagaimana rasanya, bagaimana mengerikannya—menganggap kalau hantu itu ada.

Yang jelas, saya nggak suka sama hantu, saya juga nggak suka sama orang yang suka nakut nakutin orang yang takut sama hantu—mau saya tempeleng rasanya orang orang yang suka memain mainkan rasa takut seseorang itu.

Bandung, 2002

Diary Seorang Womanizer (PK) - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang