Arumi baru akan keluar rumah saat Hakim memarkir motor di depan kontrakannya. "Loh? Bang Hakim?" tegurnya.
Hakim melepas helmnya dan menyampirkannya di salah satu spion. "Kamu mau pergi, Rum?" tanyanya dan Rumi mengangguk. "Wah kalau gitu pas dong. Untung aku nyampenya sebelum kamu pergi," lanjutnya lagi membuat Arumi mengerutkan dahinya bingung.
"Papa nyuruh Abang nganterin ini buat kamu."
Arumi langsung terperangah mendengarnya. Terlebih lagi ketika Hakim menyerahkan sebuah amplop.
"Apa ini, Bang?" tanya Arumi bingung.
"Ini buat kamu, Rum, dari Papa. Isinya juga uang kamu kok. Uang royalti dari penjualan buku kamu," terang Hakim.
Arumi menerima amplop tersebut dan membukanya. Isinya ternyata kartu debit dan juga buku tabungan. Arumi memang tidak punya rekening sebelumnya makanya saat ia mendapat tawaran kontrak penerbitan dari pihak penerbit, Arumi meminta tolong pada Ramzi untuk dibuatkan rekening. Tapi selama ini Arumi tidak pernah mau memegang rekening itu sendiri. Ia lebih memilih untuk menitipkannya pada Ramzi.
Begitu membuka dan melihat saldo di buku tabungannya, Arumi sangat terkejut. "Astaghfirullahaladzim," gumamnya.
"Kenapa, Rum?" tanya Hakim yang ikut terkejut melihat Arumi tiba-tiba beristighfar.
"Ini... ini bener rekening yang punya Rumi, Bang?" tanya Arumi dan Hakim mengangguk.
"Yakin Om gak salah kasih gitu, Bang?" Arumi kembali memastikan.
"Yakin kok, kenapa emangnya, Rum?"
"Kayaknya saldonya salah deh, Bang. Uang hasil royalti penjualan buku Rumi gak mungkin sebanyak ini." Arumi ingat betul royalti yang ia sepakati bersama penerbit adalah 10% dari harga penjualan buku. Buku Arumi dijual seharga Rp. 65.000 itu artinya Arumi mendapatkan royalti sebesar Rp. 6.500 dari setiap buku. Memang sih berdasarkan laporan yang telah Arumi terima dari penerbit bukunya telah terjual sekitar empat ratus eksemplar, tapi tetap saja jumlah royaltinya gak mungkin bisa mencapai delapan digit angka begini, hampir sembilan digit malah hanya kurang beberapa juta rupiah lagi.
"Ooh itu. Itu tambahan dari Papa, Rum, buat kamu. Untuk biaya hidup kamu disini. Untuk keperluan kamu sehari-hari atau kalau kamu mau beli sesuatu."
Mendengar itu hati Rumi jadi diliputi perasaan tidak enak. Ini sih terlalu berlebihan menurutnya. "Rumi kayaknya gak bisa terima ini deh, Bang." Arumi hendak mengembalikan kartu debit beserta buku tabungan itu pada Hakim namun Hakim menyembunyikan kedua tangannya.
"Itu dari Papa loh, Rum, nanti Papa marah sama Abang kalau Abang bawa balik lagi."
"Tapi, Bang─"
"Kalau mau protes ke Papa ya, jangan ke Abang. Abang cuma kurir," potong Hakim dengan becanda.
Karena tidak memungkinkan lagi untuk membuat Hakim mau mengambil lagi kartu debit beserta buku tabungan itu, mau tak mau Arumi harus menyimpannya. "Ya udah makasih ya, Bang. Nanti sore Rumi ke rumah deh sekalian ngomong sama Om."
Hakim mengacungkan ibu jarinya, "Tapi kayaknya biarpun kamu protes tetep gak ngaruh, Rum." Hakim tahu betul ayahnya itu bagaimana. Kalau sudah memberikan sesuatu pada orang, pantang hukumnya untuk ditarik kembali.
"Yaa nyoba dulu aja, Bang. Ini berlebihan soalnya menurut Rumi."
"Terserah aja sih kalau kamu mau nyoba. Rum, by the way kamu mau gak kalau dimintain tolong ngajar ngaji? Temen Abang lagi nyari guru ngaji gitu buat anaknya."
"Ajak datang ke TPA Nurul Iman aja, Bang." Arumi kebetulan memang menjadi volunter untuk mengajar mengaji di sebuah TPA dekat panti asuhan milik Bu Khansa. Di TPA itu terbagi menjadi dua kelas, ada kelas Iqra dan kelas Al-Qur'an. Tugas Arumi disana biasanya adalah membantu memberikan pengajaran tentang hukum tajwid pada anak-anak yang akan berpindah kelas dari kelas Iqra ke kelas Al-Qur'an.
KAMU SEDANG MEMBACA
PREDESTINASI [DaMay Friend's Story]
Spiritual[Complete] Mapan, tampan, dan dermawan. Paket lengkap yang dimiliki oleh seorang Farrikho Abimanyu hingga membuatnya digilai banyak wanita. Sayang, semua itu ternyata tidak ada artinya di mata seorang perempuan bernama Arumi Saki. Perempuan yang tel...