24. Rasa

5.4K 731 13
                                    

Usai merapikan mukenanya selepas shalat isya, Arumi mengambil buku catatan kecilnya. Buku ini sudah seperti diary bagi Arumi. Arumi biasa menuangkan selintas ide ataupun imajinasi yang tiba-tiba saja lewat di pikirannya ke dalam buku ini.

Arumi mulai menarikan jemarinya melalui sebuah pulpen di atas lembaran kertas yang masih bersih.

Raga yang bernyawa
Terpikat pada satu rupa
Jika rasa ini adalah karunia
Izinkan kami bersama dalam taqwa

Arumi kemudian mendongakkan kepalanya, ia jadi teringat ketika dirinya dan Abi bertemu di panti. Terputar kembali memori dalam kepala Arumi saat Abi bertingkah canggung karena Najma memanggilnya 'Abi' dan Arumi salah mengartikan itu sebagai panggilan untuk ayah, padahal itu adalah nama panggilan Abi.

Kedua sudut bibir gadis itu tertarik melengkungkan senyum. Hanya sekian detik karena setelahnya Arumi langsung menggelengkan kepalanya. "Astaghfirullah," ujar Arumi.

Arumi kemudian menutup buku catatannya dan menyimpannya kembali. Kenapa akhir-akhir ini Arumi jadi sering memikirkan Abi?

Arumi menghela napas panjang. Tidak, ia tidak bisa begini. Arumi hanya boleh menyerahkan hatinya pada suaminya kelak. Dan hanya ada satu pria yang akan Arumi jadikan suami, yaitu seorang lelaki yang mencintainya karena-Nya.

***

Abizar memperhatikan Arumi dari kejauhan. Entah kenapa apapun yang dilakukan Arumi selalu menarik perhatiannya sekalipun gadis itu hanya duduk diam mengawasi anak-anak yang tengah asik bermain kejar-kejaran. Rasanya tidak sia-sia Abizar memaksakan diri untuk pulang dari Bandung ke Jakarta di setiap hari liburnya agar bisa bertemu dengan Arumi.

"Awas matanya nanti perih loh kalau gak kedip gitu." Teguran dari Bu Khansa membuat Abizar tersadar.

Pria itu lantas tersenyum kikuk seraya menggaruk tengkuknya yang padahal sama sekali tidak gatal. "Ah, Ibu bisa saja," ujarnya tersipu sambil kemudian mengambil alih lauk yang dibawa Bu Khansa dan membantu menatanya di meja.

Bu Khansa tersenyum. Tangannya kemudian terulur untuk mengusap bahu Abizar. "Mau Ibu lamarkan?" tanyanya yang langsung membuat Abizar tersentak kaget.

"Ah, Ibu ini bicara apa sih, Bu?"

"Arumi itu sudah Ibu anggap seperti anak Ibu sendiri. Alangkah senangnya Ibu kalau Arumi memang bisa menjadi anak menantu Ibu."

Abizar tersenyum kemudian memeluk ibunya. "Tapi Arumi-nya yang belum tentu senang punya mertua bawel kayak Ibu," ledeknya.

Bu Khansa membelalakan matanya kemudian memukul pelan bahu Abizar. "Sembarangan kamu. Ibu tuh bukannya bawel, tapi kritis."

"Di rumah sakit kali ah, Bu," sahut Abizar lagi. "Kita makan sekarang nih, Bu? Atau tungguin Mbak Alisha kesini?"

"Kita makan sekarang aja. Alisha bilang gak jadi kesini soalnya rapat peremajaan pengurus masjid masih belum selesai."

"Oh, ya udah kalau gitu. Ayo, Bu, duduk. Abi udah lapar."

Bu Khansa tersenyum dan mengangguk. "Tapi, Bi, Ibu serius loh."

"Serius soal apa?" tanya Abizar.

"Melamar Arumi."

Abizar geleng-geleng kepala. "Ibu, udah ah ayo makan," ujar Abizar. Bukannya Abizar tidak menginginkan apa yang ditawarkan oleh ibunya, tapi untuk sebuah hal penting seperti itu yang nantinya akan membawa ia pada pernikahan yang sakral, Abizar rasa ia perlu memikirkannya dengan matang.

●●●

To be continue

PREDESTINASI [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang