6. Abimanyu

11.3K 1.4K 16
                                    

Arumi hanya bisa gigit jari saat pengajuan pengembalian uang dalam rekeningnya ditolak oleh Ramzi. Ramzi betul-betul pantang mengambil kembali apa yang sudah diberikannya.

"Kalau kamu merasa itu berlebihan, pakai saja secukupnya. Sisanya biarkan tersimpan disana untuk sewaktu-waktu kalau kamu memerlukannya." Begitu kata Ramzi yang akhirnya membuat Arumi menerima uang pemberian Ramzi di dalam rekeningnya.

"Makasih banyak, Om, kalau gitu."

Ramzi mengangguk dan menepuk pelan bahu Arumi. "Kamu sudah Om anggap seperti anak Om sendiri. Sudah menjadi kewajiban Om untuk memenuhi segala kebutuhanmu. Oh iya, Rum, apa kamu tidak ingin melanjutkan pendidikanmu?"

Arumi terasa seperti mendapat durian runtuh saat Ramzi menanyakan soal hal itu. Tentu saja Arumi ingin. Ia ingin berkuliah karena saat memutuskan ke Indonesia kala itu, ia harus meninggalkan pendidikannya di Jepang. "Memangnya masih bisa, Om?"

Ramzi tersenyum dan mengangguk. "Nanti Om yang urus berkas-berkas kamu." Untungnya, baik Arumi maupun ibunya adalah seorang WNI. Selama ini keduanya tinggal di Jepang dengan mengandalkan visa. Jadi setidaknya setelah kembali ke Indo kini Arumi tidak perlu direpotkan mengurus pergantian status kewarganegaraan.

"Rumi bener-bener hutang banyak sama Om."

Ramzi mengusap pelan kepala Arumi yang tertutup khimar. "Kalau begitu Om minta kamu membayarnya dengan prestasi ya? Banggakan Om. Buat almarhum papamu juga bangga di surga sana."

Air mata Arumi menetes begitu saja kala teringat dengan almarhum ayahnya. Meski ia tidak memiliki banyak waktu dengan ayahnya, tapi seluruh kenangan yang Arumi miliki tentang ayahnya adalah kenangan yang indah. Bagi Arumi, ayahnya adalah lelaki pertama yang Arumi cintai. Arumi janji, ia akan membuat ayahnya merasa bangga. Arumi pun tidak akan menyia-nyiakan kebaikan dan kepercayaan yang telah diberikan oleh keluarga Ramzi.

"Kak Rumiii, nanti habis dari sini ada acara lagi gak?" Arumi menoleh menatap Billa yang baru saja keluar dari kamarnya lalu langsung duduk di samping Arumi.

Arumi menggelengkan kepalanya, "Kakak langsung pulang, Bil. Kenapa?"

"Temenin aku ke mall yuk, Kak. Aku mau cari kado buat temenku."

Arumi menimang-nimang tawaran Billa dalam hati. Kalau ia pergi, ini sudah hampir masuk waktu maghrib. Jika mereka pergi usai menunaikan shalat maghrib, Arumi takut mereka akan pulang kemalaman sebab Arumi tahu seperti apa Billa kalau sudah keliling mall. Masalahnya lagi, definisi malam menurut Arumi dan Billa itu berbeda. Bagi Arumi, malam itu ketika matahari sudah terbenam. Maka dari itu habis maghrib pun itu sudah masuk waktu malam, tapi menurut Billa malam itu adalah diatas jam sepuluh. Selama belum jam sepuluh itu masih termasuk sore baginya.

"Billa udah tahu mau kasih kado apa buat temennya?" tanya Arumi.

"Belum, Kak, makanya mau cari-cari di mall."

"Coba Billa pikir-pikir dulu mau beliin apa buat temennya, jadi nanti habis maghrib kita ke mall udah ada tujuan mau beli apa." Arumi memutuskan memberi usul begitu sebab ia tak ingin pulang terlalu larut, tapi ia juga tak tega kalau menolak permintaan Billa untuk menemaninya.

"Kamu beli online aja sih, Bil. Paling juga yang kamu kadoin kalau gak baju, tas, ya sepatu. Cari aja di online banyak." Ramzi ikut buka suara. Ia tahu kadang putri bungsunya itu suka kelewat manja sama Arumi, bahkan sampai merepotkannya. Ya walau Ramzi tahu sih putrinya seperti itu karena telah menganggap Arumi seperti kakak kandungnya sendiri. Soalnya Billa hanya memiliki satu saudara laki-laki yang kerap kali lebih sering cekcok dengannya. Makanya sejak ada Arumi, Billa jadi suka bergantung padanya.

"Gak mau, Pa, kalau online takut gak sesuai sama di fotonya," tolak Billa. "Hm, Kak, kayaknya Billa udah tahu mau beli apa," lanjutnya lagi.

PREDESTINASI [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang