28. Tiba Saatnya

6K 848 10
                                    

Arumi tengah membersihkan kamarnya saat ponselnya tiba-tiba berdering menandakan ada panggilan masuk. Arumi mengambilnya dan melihat ternyata Ramzi yang meneleponnya. "Assalamualaikum, Om," sapanya.

"Wa'alaikumsalam, Rum, bisa kamu ke rumah Om sekarang? Ada hal penting yang mau Om bicarakan."

"Oh, iya bisa, Om. Sekitar lima belas menit lagi Arumi kesana ya."

"Oke, Om tunggu ya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Usai mengakhiri panggilannya, Arumi kembali melanjutkan kegiatannya. Setelah ini ia harus bergegas untuk ke rumah Ramzi. Kira-kira hal penting apa yang mau Om bicarakan ya? batin Arumi bertanya-tanya.

***

Setibanya Arumi di rumah Ramzi, gadis itu disambut oleh Lisa yang kemudian mengantar Arumi menemui Ramzi di ruang kerjanya.

"Tante bikinin minum dulu, ya," ujar Lisa seraya berlalu.

"Ayo silahkan duduk, Rum," ujar Ramzi.

Arumi mengangguk lalu duduk di sofa ruang kerja Ramzi. "Tadi di telepon Om bilang ada hal penting yang mau dibicarakan sama Rumi. Sebenarnya ada apa ya, Om?" tanya Arumi saat mereka telah duduk berhadapan.

Ramzi yang sejak tadi memang memegang sebuah amplop akhirnya memberikan amplop itu kepada Arumi. "Silahkan kamu buka," ujarnya.

Arumi mengambilnya kemudian membukanya dan mengambil isinya yang ternyata merupakan secarik kertas. Ia menatap kaget juga bingung pada selembar cek bertuliskan nominal yang cukup besar. "Ini untuk apa, Om?" tanyanya.

"Untuk kamu."

Mendengar jawaban Ramzi, Arumi tambah terkejut lagi. "Untuk Rumi? Tapi, darimana, Om?"

"Itu hak papamu yang menjadi hak kamu sekarang."

Dahi Arumi tambah berkerut mendengarnya. "Maksudnya gimana, Om?"

"Almarhum Kakek kamu pernah mewariskan tanah untuk Om dan papamu. Tanah itu ada di daerah Sukabumi. Beliau mewariskannya pada kami dan berpesan untuk membaginya sama rata. Karena lokasinya yang jauh sehingga sulit untuk Om mengawasinya, ditambah lagi papamu juga kan sudah meninggal jadi Om pikir lebih baik untuk menjualnya saja. Nominal itu adalah bagian untuk kamu sebagai satu-satunya ahli waris dari papamu. Lagipula, alasan lain kenapa Om memutuskan untuk menjualnya adalah karena kamu membutuhkannya." Ramzi terdiam sesaat sebelum melanjutkan kembali kalimatnya, "Gunakanlah uang itu untuk menemui ibumu, Arumi."

Arumi tertegun mendengarnya. Seketika matanya menjadi berkaca-kaca. "Om..." lirihnya.

Ramzi menunduk dan mengambil napas dalam-dalam sebelum ia mendongakkan kepalanya lagi menatap Arumi. "Setelah Om renungkan, rasanya tindakan Om keterlaluan membiarkan seorang anak terpisah lama dari orangtuanya. Terlebih anak itu adalah keponakan Om sendiri. Meski begitu, Om juga tahu kamu pasti tidak akan menerima jika Om memberimu uang pribadi Om. Tapi, uang yang tertulis di cek itu adalah milikmu. Hakmu sebagai ahli waris papamu jadi kamu tidak punya alasan untuk menolaknya. Gunakan uang itu untuk menemui ibumu dan simpan sisanya untuk investasi masa depanmu."

Arumi benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi selain mengucap terima kasih berkali-kali kepada Ramzi. Tak lupa ia juga berterima kasih pada Allah. Sungguh kuasa Allah benar-benar tak ada tandingannya. Siapa sangka Ramzi yang sangat tidak menyukai ibunya Arumi justru dialah yang membantu Arumi untuk bisa secepatnya bertemu dengan ibunya.

"Om tidak akan memintamu berjanji untuk kembali lagi kesini. Jika kamu ingin tinggal di Jepang lagi dengan ibumu, Om akan berusaha untuk tidak keberatan. Tapi, kapanpun kamu ingin pulang kesini, pintu rumah Om selalu terbuka untukmu. Paling tidak datanglah kembali saat kamu akan menikah dan biarkan Om yang menjadi walimu."

Arumi tersenyum dan mengangguk. "Sekali lagi terima kasih banyak, Om. Terima kasih banyak untuk semua yang Om berikan pada Rumi." Keluarga Ramzi adalah keluarga Arumi juga. Ramzi dan Lisa pun sudah Arumi anggap seperti orangtuanya sendiri. Bagaimana mungkin Arumi dapat melupakan mereka? Meski belum tahu seperti apa ke depannya, Arumi yakin ia pasti dan harus kembali kesini lagi nanti, setidaknya sesekali untuk menjalin silaturahim.

***

Hari-hari yang berlalu kemudian disibukkan dengan Arumi yang mempersiapkan diri untuk pergi ke Jepang menemui ibunya. Ia tidak datang ke sana untuk sehari atau dua hari, Arumi bertekad ia akan menetap disana sampai ibunya mau memaafkannya dan menerima keputusannya. Untuk itu, dengan berat hati, ada banyak hal yang harus ia lepaskan disini.

Bu Khansa memeluknya dengan erat saat Arumi berpamitan untuk pergi dalam jangka waktu yang Arumi sendiri tak tahu pasti.

"Nanti kalau sudah disana kamu harus tetap sering kirim kabar buat Ibu ya, Nak," ujar Bu Khansa saat akhirnya ia mengurai pelukannya.

Arumi menganggukkan kepalanya. Kedua tangannya kemudian terulur untuk menggenggam tangan Bu Khansa. "Bu, terima kasih banyak untuk semuanya selama ini. Arumi sangat bersyukur bisa ketemu sama Ibu. Kalau Allah gak mempertemukan Arumi dengan Ibu, entah jadi seperti apa nasib Arumi disini."

Bu Khansa tersenyum. Diusapnya lembut pipi Arumi. "Allah selalu punya alasan dalam mengatur setiap pertemuan dan perpisahan. Ibu juga bersyukur bisa bertemu dengan kamu."

Arumi balas tersenyum dan mengecup punggung tangan Bu Khansa. Baginya, Bu Khansa seperti malaikat yang Allah kirimkan padanya dalam bentuk manusia. Bu Khansa sangat baik padanya, juga pada keluarganya disini. Di mata Arumi beliau adalah seorang Ibu yang sempurna, yang tidak hanya mampu membesarkan dan mendidik anak-anak kandungnya, tapi juga anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

"Kalau gitu, malam ini kamu nginap disini aja ya, tidurnya sama Ibu. Nanti habis isya kita adain pengajian sama anak-anak buat doain kamu supaya selama disana kamu selalu diberi kesehatan dan kemudahan."

Arumi mengangguk setuju. "Tapi habis dzuhur nanti Arumi pamit sebentar ya, Bu, untuk les privat yang terakhir sekalian pamitan sama keluarganya Kak Firdha," ujar Arumi dan Bu Khansa mengangguk mengiyakan.

"Oh, iya, ngomong-ngomong soal Firdha, Ibu titip sesuatu ya." Bu Khansa kemudian beranjak, mengambil sesuatu dari dalam laci lalu kembali duduk di hadapan Arumi lagi.

"Ini, coba kamu tanyain ini punyanya Firdha atau bukan. Pak Dani nemuin ini di tempat parkir terus dikasih ke Ibu," ujar Bu Khansa seraya menyodorkan sapu tangan yang sudah ia cuci bersih pada Arumi. "Kalau bukan, kamu bawa lagi kesini, nanti mau Ibu umumin pas kita adain pengajian lagi. Mungkin punya salah satu jama'ah yang ikut pengajian waktu itu. Soalnya anak-anak disini bilang itu bukan punya mereka."

Arumi menerima sapu tangan itu. Ia mengenali siapa pemiliknya. Abi. Arumi pernah tak sengaja melihat Abi mengeluarkan sapu tangan ini dari dalam saku celananya.

"Ini punya adiknya Kak Firdha, Bu. Biar Arumi kembalikan ke orangnya ya."

Bu Khansa menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu. Tolong kembalikan ya, Nak."

"Iya, Bu."

Arumi menatap sapu tangan yang berada dalam genggamannya. Kenapa perpisahan selalu terasa sulit untuk dilakukan? batinnya.

●●●

To be continue

PREDESTINASI [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang