8. Bukan Lagi Kebetulan

10.5K 1.3K 20
                                    

Ramzi melipat kedua tangannya tatkala mendengar penuturan Arumi perihal niat gadis itu untuk bekerja demi bisa mengumpulkan uang agar dapat bertemu ibunya.

"Apa sih, Rum, yang kamu harapkan dari wanita itu? Dia bahkan gak berusaha mencari tahu kabar kamu." Ramzi menunjukkan protesnya secara langsung terhadap tindakan Arumi. Baginya, sampai kapanpun wanita bernama Rin Miyuki─yang tak lain adalah ibu kandung Arumi─ merupakan penyebab kakaknya menjauh dari keluarganya.

Ramzi masih ingat tangisan ibunya yang mengharapkan agar putra sulungnya itu kembali, namun setelah sekian tahun penuh penantian berlalu yang mereka terima hanyalah kabar duka bahwa yang ditunggu telah tiada.

Ramzi masih tak habis pikir dengan apa yang dilakukan kakaknya. Bagaimana bisa ia lebih memilih seorang wanita yang belum lama dikenalnya dibanding seorang wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Karena kepergian kakaknya, ibunya sering menangis. Karena kepergian kakaknya, ibunya jatuh sakit. Karena kepergian kakaknya, ibunya juga ikut pergi, pun dengan ayahnya. Oleh sebab itu Ramzi membenci penyebab kepergian kakaknya, yang tidak lain adalah karena cinta kakaknya terhadap perempuan bernama Rin Miyuki itu.

Lain Ramzi, lain Arumi. Arumi tidak bisa dan tidak akan pernah bisa membenci ibunya sendiri. Arumi mengerti jika pamannya tidak menyukai ibunya, tetapi Arumi tidak bisa ikut merasakan kebencian itu. Bagi Arumi, seburuk apapun sosok ibunya di mata orang lain, beliau tetaplah orang yang perlu Arumi muliakan.

"Maafin Rumi, Om." Hanya kata itu yang bisa Arumi sampaikan. Ia tidak ingin memberi argumen atau mendebat omnya karena ia takut malah akan memperkeruh suasana.

Ramzi menghela napas pasrah. Ia tahu niat keponakannya itu tak mudah dipadamkan. Ia sudah melihatnya sendiri bagaimana keteguhan Arumi untuk memeluk islam dan meninggalkan segalanya. Bukan tidak mungkin kalau saat ini Arumi akan tetap menemui ibunya meski Ramzi memprotesnya. Jadi Ramzi memutuskan untuk membiarkannya saja.

"Ya sudah terserah kamu," putus Ramzi. "Tapi Om saat ini gak punya lowongan pekerjaan untuk kamu. Mungkin kamu bisa melamar ke tempat les bahasa asing mengingat kamu punya kemampuan disana."

Arumi memang cepat tanggap soal belajar bahasa. Saat ini saja ia menguasai Bahasa Jepang, Indonesia, Inggris dan tengah mempelajari Bahasa Arab. Usul dari Ramzi sangat cocok untuknya.

"Iya, Om, nanti Arumi coba."

"Sekalipun Om punya lowongan pekerjaan, Om juga gak bisa memberikannya padamu. Om bersedia memenuhi kebutuhan hidup kamu, tapi lain urusannya jika menyangkut wanita itu."

Sebenarnya hati Arumi merasa sedih. Tidak, bukan karena Ramzi enggan membantunya, tapi karena Ramzi menyebut ibunya dengan sebutan 'wanita itu'. Terdengar jelas sekali kalau Ramzi tak ingin mengakui ibunya sebagai ipar.

Arumi hanya bisa menganggukan kepalanya, "Iya, Om, Rumi ngerti."

Ramzi menatap keponakannya cukup lama sebelum kemudian beranjak pergi dari ruang keluarga. "Ini sudah malam, sebaiknya kamu menginap saja," ujar Ramzi sebelum benar-benar berlalu. Dalam hati, ia menyesali kenapa gadis sebaik Arumi harus terlahir dari rahim perempuan yang sangat dibencinya.

Sesaat setelah Ramzi pergi, Lisa dan Billa langsung mendekat dan mengisi tempat kosong di samping kiri dan kanan Arumi.

"Aku udah takut banget Papa bakal marahin Kakak tadi," lirih Billa. Arumi hanya tersenyum.

"Maafin Om kamu ya." Lisa mengelus punggung Arumi dengan lembut. Ia merasa tak enak hati atas sikap suaminya tadi. "Kamu kira-kira butuh biaya berapa untuk menemui Mama kamu, Rum? InsyaAllah Tante bisa bantu. Tante ada tabungan pribadi, mungkin bisa kamu pakai dulu."

PREDESTINASI [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang