"Apa, Bu? Arumi akan pergi ke Jepang?!" Abizar tak dapat menyembunyikan keterkejutannya atas kabar yang baru saja ia dengar dari ibunya via telepon.
"Iya, Nak. Kemungkinan berangkatnya lusa. Kamu mau titip salam? Karena pas weekend nanti Arumi kan sudah gak disini lagi."
"Arumi ke Jepang sama siapa, Bu? Perginya berapa lama? Ada keperluan apa dia kesana?" Tanpa sadar Abizar jadi mencecar ibunya dengan banyak pertanyaan.
Dari ujung telepon sana Bu Khansa tersenyum. "Arumi pergi sendiri. Dia mau menemui ibunya disana dan Arumi sendiri juga gak tahu dia akan menetap berapa lama disana," ujar Bu Khansa yang dengan telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Abizar.
Hati Abizar jadi bimbang. Bagaimana jika ia tidak bisa bertemu lagi dengan Arumi setelah ini? Bagaimana jika menunggu kepulangan Arumi hanya akan jadi sia-sia? Bagaimana jika ia tidak akan pernah punya kesempatan untuk mengatakan perasaannya pada Arumi?
Batin Abizar berkecamuk hingga ia tak sadar telah termenung cukup lama padahal masih berada dalam sambungan telepon dengan ibunya.
"Abi kok kamu diam aja?" Suara teguran dari Bu Khansa akhirnya menyadarkan Abizar kembali.
"Eh? Hm ya udah, Bu, Abi tutup dulu teleponnya yaa."
"Iya, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Usai menutup sambungan telepon, Abizar melihat jam di ponselnya. Setelah menimang-nimang cukup lama akhirnya Abizar memutuskan untuk memesan tiket kereta untuk pulang ke Jakarta hari ini juga. Abizar juga memanggil sekretarisnya dan memintanya me-reschedule beberapa jadwalnya yang terpaksa harus dicancel hari ini sebab Abizar akan pulang ke Jakarta.
Abizar pikir ia harus menemui Arumi sebelum gadis itu pergi karena ada hal yang Abizar rasa perlu ia sampaikan agar tidak terus mengganjal hati dan pikirannya. Abizar ingin jika memang ia harus menunggu, maka ia harus yakin bahwa ia menunggu orang yang tepat. Dan jika harus melepas, maka Abizar tidak ingin kelak ia merasa terusik karena adanya rasa terpendam yang belum sempat tersampaikan.
***
Setelah melalui perjalanan yang entah mengapa terasa lebih panjang hari ini, Abizar telah sampai di Panti beberapa menit sebelum pukul delapan malam. Kedatangan Abizar yang tiba-tiba itu membuat Arumi sedikit kaget sebab ini bukanlah akhir pekan dimana biasanya Abizar memang pulang. Bahkan Bu Khansa sendiri pun juga terkejut melihat putranya pulang ke sini tanpa memberitahunya lebih dulu. Namun sebagai seorang Ibu sepertinya Bu Khansa bisa memahami kenapa anaknya bersikap demikian. Bu Khansa punya feeling kuat kalau tindakan impulsif Abizar ini ada hubungannya dengan pembicaraan mereka di telepon tadi. Untuk itu, Bu Khansa memilih untuk diam saja.
Usai pengajian kecil yang Bu Khansa adakan bersama anak-anak panti dalam rangka mendoakan Arumi yang akan pergi keluar negeri selesai, Abizar menghampiri Arumi yang baru saja hendak membantu membawa piring-piring kotor ke dapur.
"Arumi, boleh kita bicara sebentar?" tanyanya.
Arumi sempat bimbang, tapi akhirnya ia mengangguk. "Kenapa, Mas?" tanyanya balik.
"Apa kamu benar-benar harus pergi ke Jepang?" tanya Abizar.
Arumi sedikit terkejut. Ia bingung darimana Abizar bisa tahu? Tapi kemudian ia tersadar pasti Bu Khansa yang memberitahukannya pada Abizar.
Arumi pun menganggukkan kepalanya. "Iya," jawabnya.
Abizar menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Maaf, Rum, mungkin ini terdengar aneh, tapi apa boleh saya menunggu kamu kembali?"
Arumi mengerutkan dahinya. "Untuk apa?" tanyanya.
"Ehm... entahlah, Rum. Saya pikir... saya... ehmm..." Abizar merasa dilema apakah ia harus mengatakannya atau tidak, tapi jika tidak dikatakan sekarang ia mungkin harus melewatkan banyak waktu lagi untuk mendapatkan kesempatan ini. Abizar menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memilih untuk mengatakan apa yang dipendamnya selama ini. "Saya menyukaimu, Arumi."
Arumi tersentak mendengarnya. Sejak kapan? Bagaimana bisa? batinnya bertanya-tanya. Tapi entah mengapa rasanya hambar. Arumi memang terkejut, tapi ia tak ingin membahasnya lebih lanjut. Arumi menundukkan kepalanya seraya menghela napas pelan. Maaf, Mas, mungkin ini belum tepat. Entah waktunya yang tak tepat, atau kita memang bukan orang yang tepat untuk satu sama lain, lirih Arumi dalam hati.
"Terima kasih, Mas," ujar Arumi seraya mendongakkan kepalanya lagi. "Tapi, maaf. Saya gak mau memberikan harapan semu dan saya juga gak mau Mas berharap banyak pada manusia. Kita gak tahu masa depan nanti seperti apa. Saya gak mau Mas terikat oleh ikatan yang tak pasti."
Mendengar jawaban Arumi, Abizar menundukkan kepalanya. Tanpa sengaja justru Abizar melihat gelang yang melingkar di pergelangan tangan Arumi. Padahal sebelumnya Arumi tidak pernah terlihat memakai satu perhiasan pun. Batin Abizar pun mulai menerka-nerka pemberian dari siapakah itu? Arumi bukan orang yang mudah menerima pemberian dari orang lain, jika Arumi menerimanya maka itu berarti ada hubungan khusus diantara mereka.
Abizar tersenyum kecut. Setidaknya ia telah mencoba mengakui perasaannya. Lagipula, Arumi ada benarnya. Terlebih, keduanya memang belum lama mengenal. Arumi pun pasti merasa aneh karena Abizar tiba-tiba mengatakan perasaannya seperti ini. Tapi tak mengapa, Abizar tak menyesal karena telah mengutarakan perasaannya. Setidaknya sekarang tak ada yang perlu disembunyikannya lagi.
"Saya mengerti, Arumi. Maaf karena tiba-tiba mengatakan hal yang aneh," ujar Abizar.
"Saya juga minta maaf untuk semua salah dan khilaf saya ya, Mas."
Abizar mengangguk. "Semoga perjalanan kamu diberi kelancaran. Dan... setelah ini saya harap kita masih bisa menjadi teman."
Arumi tersenyum dan mengangguk. Ia bersyukur Abizar bisa memahami keadaannya. Abizar pria yang baik. Arumi tak ingin waktu Abizar terbuang untuk menunggu sebuah kepastian yang tak bisa Arumi berikan. Untuk itu, daripada membuat ekspetasinya semakin meninggi, Arumi memilih untuk langsung memupusnya dengan harapan akan ada sesuatu yang lebih baik lagi yang dapat menggantikannya.
"Kalau begitu saya permisi ya, Mas," pamit Arumi kemudian.
Abizar menatap Arumi yang kian menjauh. Seiring dengan Arumi yang hilang dari pandangan, Abizar teringat akan kata-kata yang pernah diucapkannya.
"... pada akhirnya nanti hanya akan ada satu Arumi untuk satu laki-laki."
Abizar menunduk dalam. Ia akan mulai berusaha menerimanya. Menerima keadaan bahwa laki-laki yang diperuntukkan bagi Arumi bukanlah dirinya.
●●●
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
PREDESTINASI [DaMay Friend's Story]
Espiritual[Complete] Mapan, tampan, dan dermawan. Paket lengkap yang dimiliki oleh seorang Farrikho Abimanyu hingga membuatnya digilai banyak wanita. Sayang, semua itu ternyata tidak ada artinya di mata seorang perempuan bernama Arumi Saki. Perempuan yang tel...