~~~
Dua hari setelah aku dirawat di rumah sakit, dokter mengizinkanku pulang dengan syarat tidak boleh terlalu lelah, dan harus banyak istirahat. Janin yang kukandung kondisinya sangat lemah. Aku tak ingin kehilangan bayi ini, ia separuh jiwaku, dan separuh jiwa Harry.
"Kita langsung ke apartement?" tanyaku saat berada di dalam mobil milik Zayn.Lelaki bersweater merah dengan kemeja putih di dalamnya itu menatapku sejenak dengan senyuman hangat sebelum melajukan mobilnya. "Aku ingin membawamu pada mom. Kau harus istirahat total setelah ini, kan? Makanya aku harus membawamu ke sana sebelum program istirahatmu berjalan," sahutnya sangat perhatian. Program istirahat? Lucu sekali.
"Aku sangat tak sabar ingin melihat mom Tricia. Sudah lama aku tak menemuinya."
"Yeah, maka dari itu mom ingin bertemu denganmu secepatnya."
Setelah menempuh beberapa menit perjalanan yang tak begitu membosankan karena Zayn selalu menebak-nebak jenis kelamin bayiku ini, ia juga mengintrogasiku tentang apa yang kurasakan saat pertama kali mengandung dan pertanyaan lucu lainnya.
Haahh.. Akhirnya setelah dua hari yang membosankan di rumah sakit, hanya dikunjungi oleh Shara, Carol, Niall, dan Liam selama beberapa jam saja, aku bisa keluar dari tempat berbau obat-obatan itu. Tapi sayangnya, sekarang aku harus masuk kembali ke tempat berbeda dengan kondisi yang sama. Putih, berbau obat-obatan, dan cukup banyak orang.
"Aku gugup," ungkapku saat menaiki lift bersama Zayn menuju lantai 3. Lelaki itu menggenggam tanganku erat dengan tatapan lurus ke depan dan senyuman manis yang mengembang di wajah tampannya.
"Relax.."
Tak lama dentingan lift terdengar, menyadarkanku dari lamunan menatap wajah malaikat milik Zayn yang sangat tampan itu. Ah dia ini. Masih sama seperti dulu. Bedanya, kini rambut halus telah menumbuhi dagu dan bawah hidungnya. Pria berjanggut dan berkumis!
Kami pun berjalan sebentar menyusuri lorong dan berhenti pada pintu kamar alumunium berwarna silver dengan nomor 306. Hanya terdengar suara samar televisi dengan volume rendah tanpa ada suara lain. "Apa mom sedang istirahat?" tanyaku masih celingak-celinguk pada jendela kecil di pintu.
Zayn menatap arlojinya yang menunjukan pukul 9 pagi. "Baru pukul 9. Mom biasanya istirahat pukul 12," jawabnya, lalu segera membuka pintu itu dengan perlahan. Genggamannya di tanganku tak pernah ia lepas sampai kakiku menyentuh lantai kamar itu.
Mataku menangkap seorang wanita tengah terbaring sembari menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Ia nampak kesepian. "Mom!" sapa Zayn dan ia pun langsung menggiringku menuju ranjang mom Tricia.
Mom Tricia nampak terkejut saat melihatku. Kedua mata cokelatnya berbinar dengan seringaian lebar dan air mata menggenang di pelupuk matanya. Tanpa pikir panjang, langsung kuberhambur untuk memeluknya erat. Bagimana pun aku selalu menganggapnya sebagai ibuku sendiri. Ah, aku jadi merindukan mom.
"Astaga, Shella.." lirihnya menangis dalam pelukanku.
"Hay, mom. Aku sangat merindukanmu," ungkapku dengan suara bergetar menahan tangis. Wanita yang usianya tak jauh dari mom ini mengusap punggungku lembut, membuatku tak kuasa menahan tangis yang akhirnya keluar dengan perlahan. Jika saja aku tak menikah dengan Harry, mungkin mom Tricia sudah kurawat dengan baik saat ini. Hingga ia tak harus merasakan kesepian seperti tadi.
"Aku lebih merindukanmu, sweetheart.." ia melepaskan dekapanku untuk mengecup kedua pipi dan keningku.
Kuambil posisi duduk di kursi tepat di sebelah ranjangnya, kalian tahu sendirikan kondisiku belum begitu baik. Aku tak sanggup berlama-lama pada posisi berdiri. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku dengan genggaman tangan yang tak lepas darinya. Begitu juga dengannya. Ternyata ibu dan anak sama saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Emotional Husband // [{Harry Styles}]
Фанфик[COMPLETED] Sebuah hubungan akan berjalan dengan baik bila keduanya saling mencintai dan percaya. Tapi apa jadinya jika dua sejoli ini tidak saling mencintai, dan malah saling membenci? Bahkan mereka terikat sebuah janji pernikahan. Akankah mereka...