Prolog

220 65 46
                                    

"Lima belas menit lagi saya sampai" Ucap pak Zain menatap jam tangannya.

....

"Oke. Iya"

....

"Kalau saya belum sampe, kasih berkasnya kesekrestaris dulu"

....

"Saya jalan sekarang nih" Pak Zain menutup sambungan telponnya.

"Kenapa pah? Kok buru-buru gitu?" Tanya bu Vera.

"Papah ada meeting mendadak" Jawab pak Zain.

"Lagi-lagi meeting. Lagi-lagi meeting" Dumal anak perempuannya.

"Apa maksud kamu El?" Tanya pak Zain.

"Maksud aku? Papah itu selalu mentingin kerjaan. Gak pernah ada waktu buat keluarga. Sekarang kita lagi makan bareng, dan papah pengen pergi gitu aja untuk urusan kantor?" Tanya Bindy sambil merasakan sesak.

"Ini juga kan untuk kepentingan keluarga" Jawab pak Zain.

"Penting apanya pah? Seenggaknya abisin dulu makannya" Ucap Bindy.

"Udah, papah gak ada waktu lagi buat makan, apalagi debat sama kamu" Ucap pak Zain kemudian berjalan keluar.

"Udah sih. Lo tinggal nikmatin duitnya papah. Gak usah sok caper gitu" Ketus Sean.

Tak terasa butiran bening meluncur dari matanya. Bindy segera mengusapnya sebelum ada yang lihat. "Gue gak caper"

Sean tersenyum kecut. "Orang caper gak bakal lah ngaku dirinya caper"

"Udah. Kalian ini apa-apaan sih?" Tanya bu Vera gerah sendiri.

Bindy bangkit berdiri. Dia meninggalkan ruang makan. Tanpa menghiraukan ucapan mamanya.

~~~~

Bindy membanting pintu kamar. Badannya langsung dia hamburkan kekasur. Memeluk guling kesayangannya. Menempelkan permukaan guling dengan mulutnya agar suara isakan tak terdengar.

Bindy kecewa. Apa didunia ini hanya dia yang merasakan keluarga yang gak seharmonis ini?

Jarang ada komunikasi. Sekalinya ada itupun sedang memperdebatkan masalah.

Bindy tidak begitu mementingkan materi. Dia hanya butuh kehangatan dalam keluarga. Bukan seperti ini. Saat bersama pun papahnya yang selaku kepala rumah tangga menghancurkan kebersamaaan.

Bindy ingin seperti teman-temannya. Yang memiliki ikatan baik antar anggota keluarga. Tidak seperti dirinya. Bindy hanya meminta agar waktu bersama keluarga itu terpenuhi. Bukan seperti ini.

Kalau dibilang sesak yaa pasti. Karna abangnya sendiri seperti tidak sayang kepadanya. Dia lebih mementingkan materi.

Memangnya hidup hanya tentang materi? Tidak. Kehangatan dalam keluarga lah yang paling utama.

Bukankah kebahagiaan yang sesungguhnya adalah memiliki keluarga yang harmonis dan hangat?

Bindy semakin menenggelamkan wajahnya dibantal. Rasa sesak atas perkataan Sean masih terngiang-ngiang.

'Udah sih. Lo tinggal nikmatin duitnya papah. Gak usah sok caper gitu'

Bindy sendiri tidak habis pikir. Apa yang ada didalam hati dan pikiran mereka yang selalu mengutamakan harta, uang, derajat, kehormatan, dan kekayaan.

Padahal semua itu bisa kapan saja hilang. Ketika mati pun kan yang ditanya bukan tentang berapa besar angka di atm. Tetapi amal ibadah yang diperbuat.

RabindyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang