Rabin menghela napas berat saat sudah selesai membantu para guru. Menempelkan arah panah sebagai petunjuk arah di pohon. Agar setiap orang gak tersesat dan bisa melewati kegiatan yang akan terjadi pada pukul dua dini hari nanti.
Pikiran yang gak pernah Rabin mau pikirkan lagi. Tiba-tiba terlewat dalam pikirannya. Sosok orang yang sangat Rabin sayangi. Yang sangat Rabin jaga. Ingatannya langsung pergi ke masa lalu yang kini datang menyapanya. Membuat luka yang sudah lama Rabin kubur dalam-dalam menyeruak masuk kepikirannya seakan minta untuk kembali terkenang.
Flashback On
"Apa kamu tau perbedaan pesawat dengan kapal laut?" Tanya gadis mungil yang cantik jelita dengan tatapan meminta jawaban.
Rabin menggeleng polos. "Enggak. Emangnya apa bedanya. Setahu gue, dua kendaraan itu punya satu kesamaan, yaitu sama-sama bisa mengantar orang yang ingin bepergian jauh" jawab Rabin seadanya.
Gadis itu tertawa ringan. Memperlihatkan giginya yang putih itu. "Lo tau? Kalo kita berada di dalam pesawat, awan putih seakan menghadang kita. Membuat kita merasa berada di surga. Tapi kalo kita ada di dalam kapal, hamparan laut biru dan ombak selalu mengenai kapal yang kita naiki. Memberi guncangan dan keseruan tersendiri. Keduanya berbeda saat kita berada di dalamnya. Kalau kamu di suruh pilih, mending naik kapal atau pesawat?"
"Kapal. Karna kalo kecelakaan, setidaknya masih ada harapan hidup dengan berenang ke tepi laut. Tapi kalau naik pesawat, gak akan bisa menyelamatkan diri, kecuali langsung mati saat itu juga" Rabin memberikan jawaban yang logis.
"Benar. Tapi kalo aku gak mau pilih kapal"
Rabin menatap Kina dengan bingung. "Kenapa emangnya?"
"Karna gak ada yang bisa jamin naik kapal terus berenang ke tepinya kita bakal selamat, kalo misalnya posisi kapal ada di tengah laut? Siapapun gak mungkin berenang buat sampe ke tepi, lebih baik naik pesawat, karna walaupun kecelakaan, setidaknya kita sempat nikmati pemandangan awan yang gak akan di dapat saat kita ada di bawah. Di banding dengan kapal, kita bisa melihat laut dan ombak dengan mudah dan puas tanpa harus naik kapal, tapi buat liat awan secara dekat? Itu hanya bisa saat kita berada dalam pesawat"
Rabin mengangguk setuju. Benar juga.
Kina menatap langit biru yang indah itu karna di hiasi oleh banyak bintang yang bertaburan.
"Liat langit itu, banyak bintang"
Rabin mengikuti saran Kina. Lantas matanya juga menatap langit itu.
Indah.
Kina tak sedikitpun menyurutkan senyumannya. Satu hal yang kini Rabin temukan pada diri Kina. Bahwa gadis itu sangat menyukai langit, awan, angkasa, bintang, bulan, dan semua yang ada di atas sana.
Kina memegang kepalanya. "Kepala aku pusing, aku boleh tiduran sebentar di paha kamu?"
Rabin hanya mengangguk. "Boleh"
Kina langsung menempelkan kepalanya pada paha empuk Rabin. Guna menghilangkan sakit kepala yang seketika datang menyerang saat dirinya terlalu lama menatap ke atas langit.
Matanya sengaja dia pejamkan. Berharap rasa sakit yang mendera segera hilang.
Rabin menyenderkan kepalanya pada senderan gazebo yang terbuat dari kayu itu. Matanya kembali menatap langit yang menampilkan fenomena yang memang indah. Dia jadi serasa berada di dalam planetarium.
Mata Rabin kemudian terpejam. Karna semilir angin yang terus menerpanya membuat matanya kering, dan kantuk langsung menghigapinya. Matanya langsung berat untuk di buka. Hingga alam mimpi membawanya pada tidur yang nyenyak.
Rabin menggeliat sedikit badannya tanpa menggerakkan kakinya. Karna gak mau mengganggu seseorang yang terlelap dalam pangkuannya.
Rabin menepuk pipi Kina. Saat sadar kalau udara semakin dingin dirasakan.
"Kin. Bangun. Ini udah terlalu malem. Dingin juga udaranya"
Tak ada reaksi yang Kina berikan. Sepertinya dinginnya udara membuatnya sulit untuk sadar dari tidurnya.
Rabin tersenyum dan membuang napas ringan. "Kina. Bangun. Lo gak mau pulang? Ini udah malem, besok kita sekolah"
Tak ada reaksi sedikitpun. Membuat Rabin gemas sendiri. Kina kalau sudah tidur, emang susah buat di bangunin.
Rabin membalikkan tubuh Kina yang memang dalam kondisi meringkuk. Wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya yang terurai.
Rabin membeku. Napasnya tercekat. Jantungnya berdetak tak karuan. Pikirannya kacau seketika melihat wajah Kina yang kini pucat dengan hidung yang mengeluarkan darah.
Perlahan Rabin memindahkan kepala Kina dari atas pahanya jadi ke gazebo.
Rabin berlari cepat kerumah Kina. Memberi tahu kalau Kina mimisan.
Tak lama Rabin kembali dengan mama dan papanya Kina yang terlihat panik.
"Pah Kina" mamanya Kina menutup mulutnya.
"Rabin tolong bantu papa gotong Kina" ujar papahnya Kina.
Dengan sigap Rabin membantu membawa tubuh Kina menuju mobil sedan abu-abu yang terparkir tepat di depan rumah Kina.
Hingga tak membutuhkan waktu yang lama. Mereka sampai di rumah sakit cipto mangunkusumo. Kedatangan keluarga Kina langsung di serbu oleh beberapa suster yang membawa brangkar yang terdapat 4 roda di setiap kakinya. Tubuh Kina langsung di taruh di atas brangkar, dan dengan cepat Kina di bawa lari oleh para suster dan papahnya Kina masuk ke IGD untuk segera di tangani.
"Lebih baik kamu pulang. Besok kamu sekolah" ucap bu Vina -mamanya Kina- lembut kepada Rabin.
Rabin mengangguk. Walau dalam hati menolak itu. Ingin rasanya Rabin berada di dekat Kina saat ini. Menemani orang itu dalam ruang IGD.
Bu Vina tersenyum hangat. "Kina akan baik-baik saja di sini dengan kami. Kamu tidak perlu khawatir" mengerti akan tatapan Rabin yang terus saja menatap brangkar berisi Kina dengan sendu.
Rabin tersenyum singkat. "Rabin pulang dulu yaa tante. Kalo ada kabar tentang Kina langsung hubungi nomor Rabin"
Bu Vina mengangguk seraya mengusap punggung Rabin. "Iya pasti"
Rabin mencium tangan bu Vina, sebelum akhirnya dia memberhentikan taksi.
"Nyonya, non Kina nyonya" teriak pak Abdul yaitu supir pribadi Kina.
Rabin dan bu Vina menoleh serempak. "Ada apa?" Bu Vina langsung panik.
"Non Kina sudah sadar. Sekarang dia lagi muntah-muntah di sana" berita pak Abdul.
Dengan cepat Rabin dan bu Vina langsung berlari menuju IGD untuk melihat kondisi Kina.
Kepulangan Rabin urung saat mendengar kalau Kina sudah bangun dan sadar.
"Sudah Kin sudah" ucap pak Herman -papahnya Kina- sambil memegang erat tangan Kina yang sudah mulai mendingin karna sudah mengeluarkan banyak darah dari mulutnya yang kini sedang ia muntahkan.
Kina terlihat lemas. Matanya lemah. Bibirnya biru. "Pah Rabin mana?" Tanyanya di sela dadanya yang terasa sesak.
"Gue di sini Kin. Lo baik-baik aja kan?" Tanya Rabin khawatir.
Kina tersenyum. Senyum yang sangat jelas dia paksakan. "Aku baik kok" Kina terbatuk. "Kamu gak pulang?"
Rabin menggeleng. "Besok gue pulangnya"
"Rabin aku boleh minta sesuatu?"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Thx udh mau baca.
Vote and komen;)Salam gabut,
Ariani PutriSabtu,
15-09-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Rabindy
Teen FictionRank #5 harta Rank #110 kocak "Tangis mu adalah sumber luka. Sedangkan tawamu yang sekarang adalah sumber kebahagiaan. Teruslah tertawa, agar aku bahagia." - Rabin Satya Cendana - *** Sebelumnya maaf, ini masih kerangka cerita. Blm jadi cerita utuh...