Sean memandang gundukan tanah itu dengan nanar kesedihan. Menaburkan bunga yang dia beli tadi di atas gundukan tanah itu.
Sean berjongkok saat bunga nya sudah di taburi dengan rata. Tangannya meraih batu nisan itu.
"Mama..." lirihnya. Kepalanya tertunduk. Tak terasa bulir air mata jatuh dari pelupuk matanya.
"Maafin Sean, karna Sean udah ngecewain mama. Gak seharusnya Sean berlaku seperti itu kepada adik Sean sendiri. Sean bodoh mah. Sean melakukan hal yang sangat menjijikan. Sean gak pernah berlaku hangat pada El. Maaf ma. Rasa sakit hati atas kepergian mama dulu usai melahirkan El selalu membekas di hati Sean. Itulah sebabnya kenapa Sean benci El. Dan Sean sekarang baru sadar, rasa sakit Sean itu juga malah melukai hati El yang gak tau apapun selama ini. Sean baru sadar. Sean menyadarinya ma... maafin Sean" lagi-lagi air matanya meluncur bebas di pipi.
"Mama... Sean janji di depan batu nisan mama. Sean akan menjaga El sebaik yang Sean mampu. Akan Sean pastikan kebahagian untuk El sebelum Sean berangkat ke luar negri. Maafin Sean karna masih belum menerima kehadiran Vera dalam keluarga. Rasanya beda ma... dia dan mama itu beda! Sekali lagi maafin Sean" Sean semakin menundukkan kepalanya dengan pikiran yang kalut.
Sean menghapus jejak air matanya. "Dan orang yang akan membahagiakan El itu adalah dia... yang selalu menemani El selama hampir dua minggu ini. Sean mau ke rumah sakit, mama doakan dari jauh, untuk kesehatan El dan juga untuk masa depan Sean"
Sean bangkit berdiri. Matanya masih memandang gundukan tanah yang sudah cantik dengan taburan bunga itu. Yang di dalamnya terkubur rasa sakitnya selama ini. Yang menjadi alasan atas tindak tanduk Sean yang selalu dingin. Mama yang sangat Sean sayang meninggalkannya setelah melahirkan Bindy. Dan itulah faktor kenapa Sean benci Bindy. Padahal Bindy sendiri tidak tahu apapun. Bahkan Bindy sendiri belum tahu kalau Vera sebenarnya adalah ibu tirinya. Seharusnya Sean orang yang merangkul Bindy dalam setiap permasalahan. Memeluk Bindy saat masalah menerjang. Dan saat ini di depan batu nisan yang di dalamnya terdapat sosok mamanya, Sean menjanjikan kebahagian El. Semoga semua itu dapat terwujud.
~~~~
Sean memberhentikan langkahnya saat melihat kedua orang setengah baya berdiri di ambang pintu ICU.
Sean memandang benci terhadap keduanya.
"Mau ngapain ke sini?" Tanyanya dengan nada yang terdengar dingin.
Kedunya menoleh bersamaan. Lalu pak Zain mendekat ke arah Sean. Menampar pipi Sean dengan keras dan sorot mata marah.
Sean memegang pipinya yang habis di tampar tadi. Sudut bibirnya terangkat kecut. Menahan rasa perih yang menjalar di pipinya.
"Kenapa kamu melarang pihak sekolah untuk memberi tahu soal El?"
Sean masih diam.
"Kenapa kamu melarang para petugas rumah sakit untuk papa dan mama masuk? APA SALAH KAMI?" Pak Zain menaikkan intonasi suaranya.
Sean tertawa remeh. "Vera bukan mama Sean! Berenti sebut dia mama di depan Sean. Karna Sean sudah gak sudi!"
Pak Zain melayangkan tamparan keras kedua kalinya di pipi Sean. Menyebabkan sudut bibir Sean mengeluarkan darah.
Bu Vera mencegah dan mencoba menenangkan emosi yang meluap dari pak Zain.
"Dengar! Kami sungguh shock dengan ini! Dan kamu dengan keterlaluan menyuruh para petugas rumah sakit untuk melarang kami melihat keadaan El! Otak kamu di taruh dimana Sean?" Pak Zain menyerukan dengan napas yang memburu.
"Apa peduli kalian?"
Pak Zain menggeram. Bu Vera menahan tangan pak Zain sebisa mungkin.
"KAMI PERDULI! KAMU TIDAK PERNAH MENGHORMATI KAMI!"
"Perduli? Haha!" Terdengar tawa kecut Sean. "Kalian kesini bukan karna kalian perduli! Tapi karna kalian ingin melakukan foto prewedding kan? Dan kalian hanya ingat El saat kalian membutuhkan dia!" Ucap Sean tegas.
"Tapi tidak seperti ini! Kami juga akan menunggu El sembuh!"
"Terus setelah sembuh, kalian akan tetap menjodohkan dia gitu? Secara tidak papa sadari. Papa sudah menjual anak papa sendiri, menjual darah daging papa sendiri untuk keuntungan papa sendiri! Dan papa rela menjual kebahagian El"
Sean beralih menatap bu Vera, kemudian kembali menatap pak Zain. Secara bergantian.
"Apa kalian tahu? El sangat menderita dengan perjodohan sialan ini!"
Pak Zain mengangkat tangan ke udara, ingin melayangkan satu pukulan lagi di pipi Sean. Tapi di cegah oleh bu Vera.
"Apa maksud kamu menderita? El bahagia dengan perjodohan ini, dia terlihat baik-baik saja, dan tidak tertekan!"
"Itu yang kalian lihat. Tapi apa kalian mendengar setiap malam dia nangis di kamar? Meratapi nasib buruk yang di buat oleh orang tuanya sendiri" ucap Sean seketika mengingat tangisan Bindy yang selalu mengusik pendengarannya waktu itu setiap malam.
"Heh jangan mengada-ngada!" Ujar pak Zain.
"Apa muka Sean jenaka? Sampai papa ngira Sean lagi mengada-ngada?"
Pak Zain terdiam.
"Papa tahu? El diam, El senyum, El menerima semuanya dari mulai pertemuan, pertunangan, sampai pernikahan, itu hanya ingin MENDAPAT KASIH SAYANG PAPA DAN..." Sean menatap sinis bu Vera. "Dia!"
Pak Zain kehabisan kata-kata. Apa benar yang di ucapkan Sean barusan?
"Dan asal kalian tahu, Sean adalah orang yang akan membatalkan pernikahan! Sean permisi" ucapnya kemudian masuk ke dalam ruangan ICU dengan keadaan hati yang berkecamuk.
'Dasar anak bau kencur! Apa katanya? Membatalkan? Haha. Coba saja! Itu tidak akan pernah! Lihat siapa yang menang. Anak itu, atau aku!' Bu Vera tersenyum kecut melihat kepergian Sean.
Kemudian beralih kepada pak Zain. Memberikan senyuman semanis mungkin dan sehangat-hangatnya.
"Tenangkan diri kamu. Dia cuma belum paham" ujarnya.
Pak Zain menarik hembuskan napas. Kemudian tersenyum. "Iya. Dia hanya sedang kacau melihat keadaan El. Nanti kalau semuanya sudah kembali normal, maka pernikahan akan tetap kita laksanakan"
Bu Vera tersenyum senang dalam hati.
"Ayo kita pulang. Dari pada di sini hanya buat kamu pusing akan kelakuan anak kamu. Besok kita ke sini lagi. Siapa tahu kan kalo besok anak itu bisa luluh dan membiarkan kita masuk" bu Vera berucap tenang.
"Benar. Kamu belum makan kan? Ayo kita cari makan!" Seru pak Zain.
Bu Vera mengangguk.
Di lain tempat Sean melihat kepergian pak Zain dengan nanar kecewa. Kenapa papanya tidak berusaha membujuk dirinya? Kenapa lebih memilih untuk berlalu dari sini? Andai pak Zain melakukan itu, maka Sean akan mengizinkan pak Zain masuk kedalam.
Rahang Sean mengetat. "Lihat saja! Akan aku bongkar semua kedok yang menempel di muka busuk Vera! Akan aku ungkap semuanya. Akan aku tunjukkan dan akan ku perbuat malu keluarga Roney!"
Setelah bermonolog, Sean memutuskan pergi ke kantin untuk membeli makanan untuk dirinya dan juga Rabin.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Konflik baru saja di mulai gengs;) jangan lupa persiapkan mental! Wkwkwk;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rabindy
Teen FictionRank #5 harta Rank #110 kocak "Tangis mu adalah sumber luka. Sedangkan tawamu yang sekarang adalah sumber kebahagiaan. Teruslah tertawa, agar aku bahagia." - Rabin Satya Cendana - *** Sebelumnya maaf, ini masih kerangka cerita. Blm jadi cerita utuh...