Didalam gedung putih berkaca itu sudah kedatangan tamu yang ditunggu-tunggu oleh pemilik perusahaan sedari tadi. Pak Zain serta bu Vera sudah stay di ruangan meeting sejak lima belas menit yang lalu.
Pak Zain berdiri begitu juga bu Vera. "Selamat siang pak Roneeey. Senang bertemu dengan anda" ujar pak Zain menyambut.
Pak Roney menyalami tangan pak Zain. Mereka saling bersalaman satu sama lain. Kemudian duduk dibangku yang sudah disediakan. Meja yang dipakai berukuran sedang dan berbentuk oval.
"Baik. Kita langsung saja mulai"
Seraya berkata, pak Roney mengeluarkan laptopnya."Ah ya. Silahkan pak" balas pak Zain.
Layar putih depan sudah menampilkan materi pembahasan proyek yang akan mereka majukan kedepannya. Pak Roney menjelaskan secara detail. Dari mulai tempat, bentuk bangunan, dan usaha yang akan dijalankan. Serta keuntungan yang akan didapat.
Pak Roney menutup kembali laptopnya. "Sudah jelas yaa pak Zain. Apa ada yang mau ditanyakan?"
Pak Zain mengangguk. "Cukup pak cukup"
Pak Roney tersenyum lebar. Lalu kembali duduk ditempatnya.
"Berhubungan dengan usaha ini, apabila gol, ini akan banyak sekali menghasilkan untung. Dan ada baiknya bagaimana kita segera langsungkan saja pertunangan anak kita" ucap pak Roney.
"Yaa saya setuju. Tapi itu butuh waktu untuk saya membujuk anak saya. Sedang saya luluhkan hatinya. Ini juga buat kebaikan bersama, jadi harta ini tidak akan kemana-mana" respon pak Zain.
"Anak saya sudah setuju sih pak dan sudah tertarik dengan anak bapak" jelas pak Roney.
"Ah itu makin memudahkan kita untuk menjodohkan mereka" sambung bu Vera dengan sedikit tawaan.
"Oiya jeng. Gimana caranya kalian membujuk biar dia mau?" Tanya bu Gisel.
"Kita beli dulu hatinya dia. Saya akan lebih sering dirumah belakangan ini untuk temani dia. Dan kita juga akan berlibur kedaerah pantai gitu buat senang-senang" jawab bu Vera.
Bu Gisel tertawa ringan. "Semoga aja yaa pertunangan anak kita nanti bisa berjalan dengan lancar"
Perkataan itu membuat sesisi ruangan tertawa menanggapi.
~~~~
Disepanjang koridor sekolah, Bindy berjalan seorang diri dengan pikiran yang membuatnya ngedumal. Bagaimana tidak? Barusan guru senibudaya/senimusik nya sekaligus walikelas nya bu Ningrum memberi tugas bermain gitar untuk tugas harian yang akan diambil nilai secara individu dua minggu kedepan. Dari zamannya SMP, hal yang paling dia takuti adalah saat pelajaran seni musik yang menyinggung soal gitar.
Hampir semua alat musik bisa dikuasai dan dimainkan oleh Bindy. Tetapi cuma karna gitar, membuat prestasinya terlihat buruk. Bindy memberhentikan seseorang yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Eh.. ehh.. bentar deh" halang Bindy.
Orang itu berhenti melangkah. "Kenapa?"
"Lo liat Rabin gak?"
"Lah? Rabin kan sekelas sama lo, ngapa lo nanya ama gua?" Balas orang itu yang berjenis kelamin cowok.
"Yailah, kali aja lo ngeliat dia, soalnya udah pulang sekolah begini dia gak ada dikelas"
"Gue gak liat, tapi bukannya lagi ada rapat osis ya?"
Bindy menepuk jidatnya. "Astogeeee, gue lupa" Bindy menepuk pundak cowok itu. "Makasih. Gue duluan"
Bindy berjalan ke ruangan osis yang biasa dipakai untuk rapat. Bindy ingin menemui Rabin, barang kali orang itu bisa membantunya.
Kebetulan. Rabin keluar dari dalam ruangan, yang langsung dihentikan Bindy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rabindy
Ficção AdolescenteRank #5 harta Rank #110 kocak "Tangis mu adalah sumber luka. Sedangkan tawamu yang sekarang adalah sumber kebahagiaan. Teruslah tertawa, agar aku bahagia." - Rabin Satya Cendana - *** Sebelumnya maaf, ini masih kerangka cerita. Blm jadi cerita utuh...