Part 25

13 2 0
                                    

Klik atas yaa biar ena. ⬆⬆

Rabin saat ini sedang duduk di bangku sebelah ranjang yang di atasnya terbaring sosok ayah dengan badan yang terlihat tak berdaya.

Di telinga Rabin tersumpal earphone karna sambil mendengarkan lagu. Baru Rabin pingin mematikan lagu tersebut, eh tak sengaja terputar lagu tentang ayah.

Engkaulah nafasku...
Yang menjaga di dalam hidupku...
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik...

Kau tak pernah lelah...
Sebagai penopang dalam hidupku...
Kau berikan aku semua yang terindah...

Aku hanya memanggilmu ayah...
Di saat ku kehilangan arah...
Aku hanya mengingatmu ayah...
Jika aku tlah jauh darimu...

Kau tak pernah lelah...
Sebagai penopang dalam hidupku...
Kau berikan aku semua yang terindah...

Aku hanya memanggilmu ayah...
Di saat ku kehilangan arah...
Aku hanya mengingatmu ayah...
Jika aku tlah jauh darimu...

Aku hanya memanggilmu ayah...
Di saat ku kehilangan arah...
Aku hanya mengingatmu ayah...
Jika aku tlah jauh darimu...

Setelah lagu tersebut habis, segera dia lepaskan earphone nya. Dia taruh ponsel itu di atas lemari pasien yang tingginya sekitar sepinggang.

Rabin tak kuasa lagi menahan tangis yang sedari tadi dia tahan selama musik itu terputar. Matanya pusing melihat sosok ayah yang terbaring lemah di hadapannya ini. Kepalanya dia tundukkan dan tangisnya pecah hingga bulir air mata sedikit membasahi lengan pak Fatah.

Rabin pun mengangkat kembali kepalanya. Mengambil air mineral buat menenangkan perasaannya. Lima bulan belakangan dia emang berubah banget. Gak banyak ngomong. Sering nangis kek anak kecil. Membuat kantung matanya sedikit membengkak. Karna menangisi orang yang sangat di sayangi tak memandang umur. Sekalipun posisi seseorang sudah memasuki usia tua, pasti gak akan kuat melihat kondisi orang tuanya seperti itu.

Rabin juga mengambil Al Quran di dalam laci setelah perasaannya menenang.

Dia mulai membuka, membacanya dengan khusyuk dan khidmat. Berniat mengirimi ayat-ayat suci ini untuk kesembuhan ayahnya.

Setelah lebih dari satu jam Rabin menyelesaikan surah yasin. Dia pun menaruh kembali Al Quran tersebut ketempat asalnya.

Menatap pak Fatah dengan binar harapan yang teramat. Memegang jemari pak Fatah dengan erat.

"Ayah? Kapan ayah bangun? Ini udah otw enam bulan ayah gak sadarkan diri. Hampir setengah tahun ini ayah gak juga membuka mata ayah.

Ayah? Apa yang bisa membuat ayah kembali bangun dan sehat seperti sedia kala? Apa yang harus Rabin lakuin? Ayo yah katakan. Rabin bakal lakuin apapun itu, asal ayah bangun" Rabin menghembuskan napasnya berat.

"Mak, Robin, dan Rabin selalu berharap ayah kembali. Kembali kerumah dalam keadaan sehat wal afiat.

Rabin yakin ayah pasti dengar apa yang Rabin ucapin tadi. Cuma saja mata ayah terlalu lengket buat di buka" Rabin mengusap-usap punggung tangan dan menciumnya.

Rabin menghirup dalam-dalam punggung tangan itu dengan mata yang tertutup.

Dan tidak sampai lima detik, Rabin membuka matanya lagi. Rabin mengangkat kepalanya ke atas. Menatap tangan ayahnya yang dia genggam dengan tatapan tidak percaya.

Apa yang dia rasakan ini asli dan nyata? Tanpa ada rekayasa? Apa gerakan tangan ini? Apa benar-benar bergerak?

Rabin dengan gerakan spontan bangkit berdiri. Keluar dari ruangan icu itu dengan terburu-buru. Membuat mak Sinta dan Robin yang duduk di luar pun ikut berdiri.

"Kenapa?" Tanya mak Sinta sembari matanya menatap keadaan pak Fatah di dalam.

"Jari ayah bergerak" ucap Rabin dengan tempo cepat dan segera berlari buat memanggil dokter.

Mendengar itu, mak Sinta dan Robin sontak masuk ke dalam untuk menghampiri pak Fatah.

Tak selang berapa lama, Rabin datang dengan dokter dan beberapa suster.

Dokter segera mengecek keadaan pak Fatah. Senyum pun terbit di bibir sang dokter.

"Bapak Fatah sudah sadarkan diri. Beliau sudah melewati masa kritisnya. Kita tunggu sampai dua belas jam, kalau keadaan pak Fatah ini semakin membaik, akan kita pindahkan beliau di ruang rawat inap" jelas pak Dokter.

Mendengar itu membuat air mata mak Sinta, Robin dan Rabin menetes karna mendengar kabar bahwa pak Fatah sudah siuman.

Mak Sinta mengelap sisa air mata di pipinya. "Makasih dok"

Dokter itu tersenyum. "Sama-sama. Kalau ada apa-apa hubungi pihak rumah sakit segera. Saya permisi"

Mak Sinta mengangguk. "Iya dok. Makasih dok"

Sepeninggal para dokter. Mak Sinta, Robin dan Rabin berdiri mengelilingi tubuh pak Fatah. Menunggu momen dimana mata pak Fatah itu benar-benar terbuka.

Setelah satu menitan, perlahan pak Fatah membuka matanya. Mengerjap beberapa kali karna silau dengan sinar lampu yang ada di ruangan tersebut.

Mak Sinta menggenggam lengan pak Fatah kuat. "Ayah? Ayah? Alhamdulillah ayah. Ayah udah sadar"

Pak Fatah masih berusaha buat beradaptasi dengan cahaya yang terasa menusuk di matanya. Dan detik berikutnya matanya benar-benar terbuka sempurna.

Dengan helaan napas lelah pak Fatah berusaha mengucapkan sebuah kalimat. "Ayah dimana?" Tanyanya dengan suara serak.

"Ayah lagi di rumah sakit" jawab mak Sinta.

"K...kok bisa?"

"Ayah tertabrak motor, dan hampir enam bulan ayah menginap disini" jelas mak Sinta.

"Kecelakaan?" Pak Fatah memegang kepalanya karna rasa sakit yang seketika menyerang saat mencoba mengingat kejadian yang menimpanya.

"Sekarang ayah istirahat. Jangan banyak gerak dan mikir yang berat-berat dulu" mak Sinta berucap.

"Ayah mau pulang. Ayah gak betah. Banyak jarum suntik di badan ayah. Ayah gak betah. Ayah mau pulang"  pak Fatah memohon.

"Iya ayah, nanti ayah akan pulang kalau kondisi ayah benar-benar sudah pulih" mak Sinta mencoba membujuk.

Pak Fatah memegang kembali kepalanya karna sakit yang teramat menyerang. Dia sedang mencoba mengingat kejadian itu yang membuatnya bisa seperti sekarang.

"Pasti ayah lagi mikirin sesuatu kan? Udah gak usah dipikirin lagi, nanti aja kalo ayah udah sehat. Ayah sekarang istirahat aja" Rabin bersuara.

Pak Fatah mulai memejamkan matanya kembali. Beristirahat, karna badan rasanya lelah dan matanya juga sudah susah buat terbuka.

"Alhamdulillah ayah akhirnya sadar dan membaik" ucap Robin.

Mak Sinta menoleh. "Iya alhamdulillah. Ini semua berkat kalian berdua yang gak pernah putus mengirim doa buat ayah" mak Sinta meneteskan air mata haru.

"Itu emang udah tugas seorang anak yang harus selalu berdoa untuk orang tuanya" Rabin ikutan bersuara.

"Tanpa doa ikhlas dari kalian, ayah gak akan pernah bisa sadar sampai sekarang. Terimakasih" ucap mak Sinta.

"Emak gak usah terimakasih sama kita. Yang ada kita yang berterimakasih sama mak, karna mak udah rela ngurus ini, ngurus itu di rumah sakit selama hampir enam bulan" Robin berucap.

"Gak ada yang perlu di kasih ucapan terimakasih, karna semua itu udah termasuk kewajiban untuk mendoakan" kini Rabin yang berucap.

Bibirnya terbentuk senyuman tulus.

Terimakasih Ya Allah atas campur tangan Mu ini. Tanpa Mu, ini semua gak akan pernah terjadi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Thx udh mau baca. Vote and komen;)

Salam gabut,
Ariani Putri

Jumat,
03-08-2018

RabindyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang