Part 1

22.5K 1.1K 50
                                    

Seorang wanita paruh baya tengah sibuk meracik obat tradisional dari dedaunan yang tentu saja tidak ada di kota. Lengan kurusnya menyeka peluh di dahinya. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya.

"Seharusnya Bibi membiarkan dirinya terseret arus sungai. Dengan begitu kita tidak perlu repot-repot melakukan ini semua." seorang wanita muda mulai kesal melihat Bibi Martha begitu peduli dengan pria yang sesungguhnya ingin ia musnahkan dari muka bumi ini.

"Bibi tidak memintamu untuk ikut merawatnya. Anggaplah ini sebagai rasa kemanusiaan Bibi padanya." Martha mulai mengolesi racikannya pada beberapa luka di tubuh tegap pria itu. Terlebih luka pada keningnya cukup besar dan dalam.

Sejauh ini Martha tidak meminta pertolongan medis. Dirinya menganggap hanya luka ringan biasa. Namun sudah tiga hari sejak ditemukan di pinggir sungai dekat rumahnya, pria itu belum sadarkan diri.

"Kenapa Bibi begitu baik menolongnya?"

"Kemanusiaan, Raina. Bisakah saat ini kau buang keegoisanmu. Bibi tidak pernah mengajarkanmu mengabaikan rasa empati pada setiap manusia. Tanpa pengecualian, jika memang kita bisa membantunya," tandas Bibi Martha yang seketika membuat Raina bungkam.

Bibir Raina mencebik menerima nasihat yang memang benar adanya. Raina tidak berani membayangkan hal yang akan terjadi jika pria itu siuman. Ia benar-benar takut jika sampai pria itu menuduhnya yang tidak-tidak mengingat wataknya yang penuh dengan arogansi.

Tiga hari yang lalu, di waktu hampir petang Martha masih berada disungai untuk mencuci beberapa helai pakaian karena seharian ini ia disibukkan dengan urusan dagangnya. Martha memang tipikal yang tidak suka menimbun pekerjaannya begitu terkejut melihat sosok yang terkapar di sebelah bebatuan dengan wajah yang berlumur darah akibat luka di pelipisnya.

Posisi rumah mereka yang berdekatan dengan sungai memudahkan Raina mendengar panggilannya. Sedikit tergesa-gesa ia menghampiri arah sungai. Matanya melebar bersamaan dengan kedua tangannya menutup mulutnya. Betapa terkejutnya ketika mendapati sang Bibi tengah menolong seorang pria yang ternyata adalah pria yang telah menghancurkan masa depannya.

Kedua kaki yang menopang tubuh buncitnya mulai melemas. Martha memerhatikan perubahan wajah keponakannya yang kini memucat.

"Biarkan saja pria itu. Bibi jangan pedulikan. Jangan melakukan hal yang akan melibatkan kita dalam masalah pelik, Bi," ucap Raina parau.

Kening Martha mengernyit dalam. Saat ini pria asing ini benar-benar membutuhkan pertolongan. Bagaimana bisa Raina berbicara semudah itu?

"Apa kau tidak lihat, Raina. Pria ini membutuhkan pertolongan kita." Martha tetap pada pendiriannya. Ia mulai mengangkat tubuh besar itu meski tubuh rentanya tidak mampu cukup menumpu.

Raina melihat ketulusan Bibinya. Tadinya ia ingin meninggalkan sang Bibi tapi di urungkan karena saat ini wanita paruh baya itu memang membutuhkan bantuannya.

"Bukankah kau tidak ingin membantunya. Kau kembali saja duluan," ujarnya sengaja menyindir karena saat ini Raina ikut menopang tubuh si pria.

"Aku hanya membantu Bibiku, bukan pria ini."

Martha tersenyum samar lalu keduanya bersusah payah memapah tubuh besar tak berdaya itu ke dalam rumah kecil mereka. Lantas segera melakukan berbagai pertolongan pada luka-luka pria itu.

"Kau istirahat saja di dalam. Tubuhmu cukup lelah karena tadi memapahnya. Istirahatlah, ingat kesehatan janin dalam rahimmu," ucap Martha lembut, namun wanita muda itu tetap berdiri dihadapannya. Kening Martha semakin berkerut melihat kecemasan di raut manis keponakannya.

"Sebenarnya ada apa, Raina. Bibi perhatikan sejak tadi kita membawa pria ini kau begitu tidak suka ... dan sekarang kau terlihat cemas. Ada apa? Apa kau mengenalnya?" tanya Martha penasaran.

Evil's Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang