Part 6

8.7K 747 48
                                    

Raina terlihat jengah ditatap dengan begitu dalam. Sorot mata yang selalu sejuk itu kini semakin membuat Raina sebal.

Bukan apa-apa, karena jantungnya tanpa berkompromi mulai berdebar-debar.

"Apa tidak apa-apa?" tanya Evan cemas.

"Aku hanya di pasar saja menemani Bibi. Jangan berlebihan. Ini sudah rutinitasku bila tidak ada pesanan kue di rumah," jawab Raina kesal.

"Aku tahu, tapi kondisimu saat ini mengharuskan banyak beristirahat. Beberapa minggu lagi kau akan melahirkan. Banyak sesuatu yang buruk di luar sana." Evan masih terus membujuk.

"Evan benar, sebaiknya kau di rumah saja." Martha mengetengahi perdebatan halus suami istri itu.

Sebenarnya tidak apa-apa. Sang Bibi memang sudah terbiasa berjualan sendiri di pasar.

Di pasar pun Martha tidak memiliki ruko. Ia hanya berjualan di depan sebuah toko buku dengan mendirikan sebuah meja dan atap terpal kecil untuk menjajakan kue dagangannya.

"Kalian menyebalkan. Aku ini bosan hanya berdiam diri di rumah. Padahal Bidan mengatakan di usia yang semakin mendekati persalinan aku harus banyak bergerak dan berjalan agar memudahkan proses melahirkan," gerutu Raina.

Martha melihatnya hanya tersenyum kecil. Rajukan Raina terasa manja di telinganya. Wanita tua itu senang mendengar interaksi kedua calon orang tua ini.

"Baiklah. Tapi kau harus jaga diri, jangan melakukan hal apa pun yang membahayakan." Evan meraih dagu Raina, menatapnya lembut.

"Jangan khawatir." Raina bergerak menghindari suaminya. Lantas meraih keranjang yang berisi kue, mulai berjalan keluar area rumah.

Bibi Martha hanya menggeleng memerhatikan keduanya yang menurutnya masih saling menjaga perasaan.

Hingga di pertigaan jalan Evan bersuara. "Lebih baik aku mengantar kalian dulu baru ke perkebunan?"

"Cukup, Evan. Bila kau masih seperti ini, aku tidak akan mau berbicara lagi padamu!" ancam Raina kesal karena suaminya masih saja protektif.

"Sudah ... jangan diteruskan lagi perdebatan tanpa ujung ini. Biarkan Raina bersama Bibi, kau tidak perlu cemas. Bibi akan menjaga istrimu dan cucuku. Di sana juga banyak yang sudah mengenal dekat dengan kami. Tenanglah." Martha menyakinkan Evan.

Tanpa bisa merubah raut kecemasan pada wajahnya yang tampan. Evan terpaksa mengesampingkan egonya. Apa lagi Raina mulai enggan menatapnya dan mengancam tidak ingin berbicara padanya. Mau tak mau pria itu mengizinkannya.

"Baiklah. Aku mengizinkanmu ... "

"Tanpa izinmu juga aku akan tetap ikut Bibi," potong Raina cepat.

Evan terkekeh kemudian mendekati Raina. "Aura kehamilanmu semakin cantik, membuatku waspada bila kau berada di khalayak ramai," bisiknya serak.

Pipi ranum yang membulat itu bersemu. Tindakan Evan tidak pernah lepas dari mata sang Bibi.

Benar-benar pasangan yang manis.

"Sudah cukup siang. Sebaiknya kau segera berangkat," perintah Martha lembut.

"Sudah sana, cepat pergi!" usir Raina.

Pria itu menaikan tangan kanannya ke atas. Lalu menempelkan jari ke sisi pelipisnya, layaknya memberi hormat pada jendral.

"Baiklah istriku manis. Aku berangkat." membungkuk sebentar mendekati perut buncit Raina. "Ayah berangkat, Sayang. Jangan merepokan ibumu."

Deg

Evil's Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang