Part 19

7.6K 658 53
                                    

Seharian ini Evan hanya menemani Raina di rumah sakit. Tak beranjak sedikitpun meski hanya sekedar mengisi perutnya yang lapar karena sejak tiba dari kota ia belum memakan apapun.

Kriuk

Martha menoleh pada suara yang berasal dari perut Evan.

"Sebaiknya kau segera makan. Raina juga belum sadarkan diri. Sebelum Bibi kembali ke rumah kau harus mengisi perutmu. Sejak tiba kau sudah sibuk dengan kejadian naas ini. Ingat, nanti malam kau masih harus menemani Raina," ucap Martha meletakan sebuah bungkusan yang baru saja dibeli di kantin bawah.

"Tidak apa-apa, Bi. Aku masih kuat menahannya."

"Aku tahu kau masih mengkhawatirkan Raina. Tapi tadi dokter sudah menjelaskan keadaan istrimu baik-baik saja meski mengalami sesak pernapasan. Dokter sudah menangani dengan baik. Sekarang lebih baik kau memikirkan keadaanmu juga. Aku tidak ingin setelah Neysha diabaikan mengurus Ibunya nanti harus merasa sedih lagi dengan melihat Ayahnya yang sakit," urai Martha mengingatkan Evan.

Dengan pertuah yang cukup masuk akal pria itu pun mengangguk.

"Baiklah."

"Sudah sore, Neysha pasti sudah mencariku dan Ibunya. Aku tidak ingin merepotkan Wati bila Neysha sampai menangis." Martha mulai membenahi bawaannya.

"Ingat, kau juga harus menjaga kondisimu. Makanan itu jangan kau abaikan," titah Martha penuh tekanan.

Evan tersenyum bersamaan dengan anggukan. Merasa beruntung memiliki seorang Bibi yang menganggapnya seperti putra kandung.

Setelah kepergian Martha pria itu mulai menatap tubuh yang masih terpejam. Terlihat sangat damai dengan bantuan selang oksigen di hidungnya.

Evan mengingat jika dirinya terlambat menyelamatkan Raina, entah apa yang akan terjadi dalam hidupnya.

Sedingin apapun sikap wanita itu, Evan selalu berharap kebaikan tentang rumah tangganya.

Begitu pun hatinya, bongkahan cinta yang tertanam di sanubarinya telah menggunung. Hingga untuk memporak porandakan saja terasa kokoh bak paku bumi yang menancap.

🍁🍁🍁

Bulu mata lentik itu terlihat bergerak. Seketika Evan tersenyum menegakan tubuhnya di kursi samping ranjang.

Manik terang Raina terbuka. Pandangannya langsung mengarah pada manik hitam Evan yang berbinar. Semakin tampan dengan hiasan bulan sabit di bibirnya.

Raina mencoba duduk dan melepaskan alat bantu pernapasan karena merasa kondisinya lebih baik. Sangat cekatan Evan membantu pergerakan Raina.

"Terima kasih," ucap Raina pelan.

"Apa masih ada sakit yang kau rasa?" tanya Evan cemas.

Raina tersenyum kecil dengan gelengan, "Aku baik-baik saja."

Raina mengedarkan pandangannya pada ruang tertutup tirai yang sama persis saat sadarkan diri setelah melahirkan. Kemudian pandangannya mengarah pada nakas berisi makanan dan air mineral. Ia ingin meraih botol minuman tersebut.

"Biar aku saja. Minumlah." Evan menyerahkan gelas minum yang sudah terisi air mineral.

Raina mengembalikan gelas yang telah kosong, "Bisa tambah lagi?" pintanya.

"Ah, ya, tentu saja."

Setelah rasa hausnya hilang, Evan dengan sigap membatu Raina merebahkan tubuhnya lagi. Kepalanya masih terasa berat akibat racun yang berasal dari tabung gas bocor.

"Terima kasih."

Uhuk uhuk

Evan segera mengusap-usap punggung Raina agar merasa lebih baik.

Evil's Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang