Part 7

8.1K 676 58
                                        

Selesai sarapan Evan bersiap ke perkebunan. Melihat Bibi Martha yang berada sendirian di depan sedang menyiram tanaman, pria itu segera menghampirinya.

"Aku ingin berbicara sebentar, Bi."

Martha langsung menaruh alat penyiramnya lalu memilih duduk di balai bambu teras. Wanita tua itu memandang penuh tanya. "Apa yang ingin kau bicarakan. Sepertinya sangat serius."

"Tidak seserius yang Bibi bayangkan," kekeh Evan.

Kepala pria itu tertunduk menatap ubin lantai. "Mulai hari ini Bibi tidak usah berjualan lagi di pasar. Aku tidak ingin hal seperti kemarin terjadi lagi. Lagi pula Bibi lihat sendiri sekarang aku sudah memiliki pekerjaan tetap. Meski upahnya tidak seberapa, tapi cukup untuk menghidupi kalian. Paling tidak aku tidak merasa cemas lagi mengkhawatirkan kalian saat aku bekerja." Evan menoleh menatap manik sang Bibi meminta jawaban.

Martha mengerti dengan kecemasan Evan yang berlebihan. Sorot mata pria ini jelas penuh dengan kekhawatiran. Perasaan Martha menghangat, setidaknya pria ini benar-benar menyayangi keponakannya meski ingatan si pria entah kapan akan kembali .. dan mungkin saja bisa merusak momen ini.

"Baiklah. Mungkin sudah saatnya Bibi beristirahat menikmati masa tua bersama cucuku yang sebentar lagi lahir," ujarnya pelan.

Evan langsung menubruk tubuh ringkih itu dalam pelukannya. "Terima kasih, Bi. Aku akan selalu berjuang untuk menghidupi kalian bertiga."

Senyum Martha mengembang. "Seharusnya Bibi yang berterima kasih. Sudah mau mengabdikan hidupmu pada kami."

"Ini adalah kewajibanku sebagai suami Raina dan tentu saja sebagai menantumu," balasnya cepat.

"Tapi kalau untuk menerima pesanan kue di rumah, aku tidak bisa menolaknya," ucap Martha lagi.

Evan mengangguk. "Dengan catatan tidak boleh terlalu berlebihan menerima order. Karena aku tidak ingin kalian kelelahan dan akhirnya jatuh sakit."

"Raina beruntung menikah denganmu."

"Aku lah yang beruntung memperistrinya."

Tepat kalimat itu diucapkan, Raina muncul di antara mereka. Tanpa bisa di kontrol kedua pipinya merona.

Sang Bibi yang menyaksikannya hanya menahan senyum. "Bibi mau ke dalam." wanita tua itu langsung meninggalkan keduanya yang kini terlihat canggung.

"Kau membicarakan apa?" tanya Raina penasaran.

"Bukan apa-apa."

"Jadi aku tidak boleh tahu?" cebiknya menundukan kepala memainkan jarinya.

Evan terkekeh lalu meraih dagu tirus itu untuk menatap wajahnya.

"Yang pasti aku membicarakan dirimu."

"Sudah kuduga," tebaknya memberenggut.

Tawa Evan semakin keras. "Sudahlah. Di kehamilanmu yang semakin besar, kau semakin sensitif saja. Membuatku gemas ingin --"

"Ingin apa? Cepat katakan?!"

Ukhh, lebih baik Evan segera menghindari situasi yang semakin lama membuatnya tak bisa menahan keinginan mencumbu bibir ranum yang mencebik gemas.

Evan harus segera pergi.

"Ehm, aku hanya ingin istriku selalu tersenyum manis padaku. Itu sudah lebih dari cukup," tandasnya dalam.

Terlihat perubahan dari raut wajah Raina. Pria itu segera menetralisir suasana. "Sudah cukup siang, sebaiknya aku berangkat. Hallo, girl, Ayah pamit bekerja dulu, kau baik-baik di perut Ibu. Love you, cup!"

Evil's Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang