Part 4

10.2K 723 59
                                    

Garis bibirnya sedari tadi terus melengkung. Jika tersadar ia langsung mengubah ekspresi wajahnya dengan gelengan kepala. Merasa aneh pada hatinya ketika mengingat percakapan semalam.

"Apakah dulu kita saling mencintai?"

Wajah Evan terlihat cemas dengan kalimat yang baru saja diucapkannya. Apa lagi respon Raina hanya terdiam tanpa berminat menjawabnya.

"Kurasa dengan keadaanmu yang seperti ini, tidaklah pantas mempertanyakan masalah ini. Harusnya kau lebih menggunakan hatimu."

Raina terdiam kembali. Ia mengatur napas yang nyaris saja kehilangan udara dalam rongga dadanya.

"Kehadiran bayi dalam perutku, apakah tidak cukup untuk meyakinkan hatimu? Dia tidak akan hadir jika rasa yang kau ragukan tidak ada di antara kita," jawabnya tegas memandang mata kelam suaminya. "Kecuali, kau memang me--"

'Tidak -- tidak ... Aku sangat percaya dia milikku," potongnya cepat.

Senyum Evan mengembang sempurna. Kepalanya mengangguk mantap.

"Terima kasih sudah meyakinkanku. Aku percaya padamu dan juga bayi ini."

Keraguan itu telah terpatahkan. Setidaknya semua pernyataan Raina benar adanya.

Meski istrinya tidak mengatakan secara gamblang tentang satu kata keramat itu, Evan percaya.

Ia akan selalu berjuang untuk anak dan istrinya.

Evan merasa cukup jengah ketika mata para pegawai wanita perkebunan menatap memuja padanya.

Entah itu seorang gadis maupun ibu-ibu lanjut usia, semua terpesona pada wajahnya yang tampan.

Dari sejak berada di desa, ia tidak pernah memedulikan penampilannya. Bahkan penampilan tubuhnya saat ini jauh dari kata rapi. Ia hanya merapikan rambutnya yang memanjang dengan kunciran. Belum lagi jambang di sepanjang rahang dan dagunya yang menebal, namun tidak menutupi kadar ketampanannya.

Semakin terlihat maskulin.

Dengan sengaja Evan memperlihatkan cincin pernikahannya. Banyak yang tidak menyangka jika ia adalah suami dari Raina karena baru terlihat sekarang.

Kebanyakkan menganggap Raina hamil di luar nikah. Namun Evan dengan sabar menjelaskan keberadaannya kenapa tidak ada saat Raina kembali ke desa.

Pertanyaan polos beberapa warga yang mengenal Bibi Martha dan Raina telah terjawab lugas. Evan merasa lega karena tidak akan ada lagi yang mempertanyakan tentang status bayinya yang sebentar lagi akan lahir.

Hari pertama bekerja cukup menyenangkan. Evan sendiri tidak mengerti kenapa bisa dengan mudah memahami tentang tanaman pada perkebunan. Ia sendiri sempat berpikir, profesi apa yang dulu ia geluti.

Evan kembali menggelengkan kepalanya. Tidak, ia tidak akan menanyakan lagi tentang masa lalunya. Evan merasa, setiap kali ingin mengetahui masa lalunya, ada guratan kesedihan di wajah manis Raina.

Terlebih, dengan pernikahan yang terjadi padanya tidak di restui oleh keluarganya. Raina pasti mengalami tekanan.

Hari mulai sore meski matahari senja belum terbenam. Evan melangkah dengan semangat menuju rumahnya.

Lagi-lagi senyumnya mengembang, membayangkan istrinya menyambut kehadirannya.

Matanya menyipit melihat wanita hamil  baru saja keluar dari sebuah rumah warga yang tak jauh dari kediamannya. Kakinya sedikit berlari menghampiri sosok itu.

"Raina, kau sedang apa?"

Iris mata Raina melebar merasakan tubuhnya dibalikan. "Kau ... a-aku baru saja dari rumah Ibu Asti. Beliau memintaku membuatkan beberapa kue untuk acara keluarga besok."

Evil's Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang