Sang Pujangga

71.1K 1K 0
                                    


Enjoy with my story ☕

______________________________________

Tak terasa aliran waktu bertransformasi dengan cepat. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari menjadi pekan, dan pekan menjadi bulan.

Satu bulan di kelas tak terasa telah terlewati. Pahit manisnya telah kucicipi-meski lebih banyak pahitnya.

"Na, Puisi udah?" tanyaku.

"Udah," jawab Hana singkat.

"Boleh aku liat?"

"Enggak ah. Puisiku gak sebagus puisi kamu." Seperti biasa, Hana selalu rendah hati.

"Kebiasaan deh, merendah. Padahal aku cuma pengen liat. Belum tentu puisiku lebih bagus dari puisi kamu." Aku berusaha berdiplomasi dengannya.

"Gimana, ya? Nanti aja deh dengerin pas aku bacain di depan, biar surprise." Memang cukup sulit berdiplomasi dengan Hana.

"Ya udah, iya. Nanti aku dengerin." Aku menarik kedua sudut bibirku, membentuk senyum setulus mungkin.

Satu per satu temanku membacakan puisinya di depan kelas. Aku jadi iri dengan mereka. Meskipun rata-rata usia mereka sama denganku, tetapi unsur seni dan sastra yang ada dalam jiwa mereka tergolong tinggi, sedangkan jiwa seniku tergolong rendah.

"Hana Nabilah, giliran kamu sekarang," panggil bu Cantika.

Aku tak bisa berkata-kata jika Hana sudah berpuisi. Dia mahir dalam merangkai kata. Selain itu, dia juga pandai dalam menghayati dan menjiwai bacaan puisinya. Menurutku, dialah yang layak mendapatkan gelar Sang Pujangga.

Sekarang Hana sudah berada di depan kelas. Tak perlu basa-basi, dia langsung membacakan puisinya.

Tikus Berdasi

(koruptor)

Karya : Hana Nabilah

Kebusukanmu dikemas sutra

Orasimu dilapisi permata

Ribuan masa terbelenggu

Untaian harap dalam dada

Penantian tanpa kepastian

Terpana tipu daya setan

Opini tanpa bukti

Realita tak seindah mimpi

Hana selesai membacakan puisinya. Kelas pun hening. Entah karena kagum terhadap puisinya atau kagum karena bahasanya yang terlalu tinggi sehingga sulit dimengerti. Atau mungkin para buaya darat terdiam karena terpesona oleh parasnya yang cantik. Namun anehnya, aku yang biasanya kesulitan dalam membuat puisi apalagi menghayatinya, tiba-tiba dapat memahami puisi yang dibacakan oleh Hana. Rasanya aku sedang berada di dalamnya, ikut merasakan apa yang terkandung dalam puisi tersebut.

Tak terasa, aku telah tampil di depan kelas untuk membacakan puisi. Meski tak sebaik Hana, aku tetap mendapatkan apresiasi dari teman-teman sekelas.

Kini, giliran si Otak Udang yang membacakan puisinya. Aku yakin puisinya akan sekacau otaknya.

Dia berdeham.

"Oke guys! Saya berdiri di sini bukan untuk memamerkan pesona wajah saya yang tampan. Bukan pula untuk membagikan tanda tangan. Akan tetapi, saya di sini akan membacakan puisi yang mudah-mudahan bisa membuat kalian nyaman." Kalimat pembukanya membuatku ingin muntah. Basa-basinya basi sekali.

Dia mulai membacakan puisinya.

Di Bawah Langit Yang Sama

Karya : Rasyid Maulana

Pil Pahit Hijrahku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang