Pekan Suram

59.3K 1.1K 7
                                    


Enjoy with my story ☕

______________________________________

Kanvas langit tampak cerah. Sedikit pun tak tergores tinta kehidupan. Sentuhan kapas mengapung memperindah suasana. Menyihir pandangan dalam sekejap. Membuatnya enggan berpaling pada yang lain.

Berbanding terbalik dengan suasana langit hatiku. Gemuruh guntur terdengar parau. Siluet kilat terlihat kokoh, membuat siapapun diam tak bisa berkutik. Pupil mata tampak membesar, membuat siapapun gemetar hebat. Ditambah petir mengamuk tak bisa mengendalikan sambarannya. Gundah, gelisah. Mungkin kata itu yang pantas terucap.

"Duh, gimana, ya? Kok jadi gak enak gini. Sensasinya kayak mau masuk rumah hantu, cemas-cemas khawatir gitu," gumamku

Mungkin pekan ini akan menjadi pekan yang panjang. Duduk semeja dengan si Kampret dan meneraktirnya.

"Merica, cepet sini!" panggilnya.

"Iya-iya, bentar. Ini juga mau ke situ. Dan bisa, 'kan, gak panggil aku Merica?!" responku sambil menatapnya tajam.

"Oh, gak bisa. Kalo masalah panggilan itu udah cocok sama karakter kamu. Lagipula kamu juga manggil saya Otak Udang, emang kamu kira saya nerima dipanggil kayak gitu?"

Aku tak menanggapinya, hanya memutar bola mata malas. Kemudian berangsur duduk di hadapannya.

Kini aku berhadap-hadapan dengannya. Malas sekali melihat tampangnya yang menyebalkan, lebih baik mengedarkan pandangan ke arah lain.

Ekor mataku melirik ke arahnya. Tampaknya lelaki di hadapanku ini tengah memperhatikanku. Membuatku merasa sedikit risih.

"Apa liat-liat?!" ketusku.

"Enggak, cuma pengen liat aja. Kalo diperhatiin, kamu cantik juga, ya." Jawabannya membuat wajahku panas. Aku yakin wajahku tak kalah merah dari kepiting rebus bahkan lebih merah.

'Tahan Echa, gak boleh baper. Masa gitu aja baper, banyak modelan cowok kayak dia di luar sana. Kadal darat. Bisanya ngadalin cewek,' batinku.

"Tapi boong, yaaaa!" sambung si Udang.

Aku merasa geram. "Nih uangnya. Kamu makan aja sendiri, gak perlu ajak aku!" bentakku.

Suasana sekitar menjadi hening. Banyak siswa lain yang menatap kami dengan tatapan heran. Tak lama, suasana kembali mencair seperti semula.

Mataku berkaca-kaca. Perih, aku tak kuat menahannya. Dinding bendunganku mulai retak dan akhirnya jebol. Di dalam kelas, aku menangis tanpa isak.

'Dia itu punya perasaan gak sih? Cowok bodoh! Cowok tolol!'

Tak henti-hentinya hatiku mencaci-maki.
Namun, bagian hatiku yang lain mengatakan hal lain.

'masa gitu aja nangis, emangnya dia siapa sih? Temen deket bukan, keluarga juga bukan, apalagi pacar. So, what are you crying about? Jangan lemah deh! Lebay banget tau gak!'

Aku berhenti menangis. Aku tak perlu menangisi sesuatu yang tak penting dan terlalu murah untuk aku tangisi.

Cause my tears are too expensive for me to shed.

Pil Pahit Hijrahku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang