Mimpi

12.5K 771 5
                                        


Enjoy with my story ☕

______________________________________

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi aneh. Dalam mimpinya aku berada di satu ruangan yang gelap. Kemudian ada suara, tetapi aku tak dapat melihat seorang pun di dalamnya. Dan yang makin membuatku heran adalah suara tersebut selalu berkata, "Tak kasihankah kamu terhadap ayahmu? Tak kasihankah kamu terhadap ibumu? Tak kasihankah kamu terhadap suamimu? Tak kasihankah kamu terhadap mereka ketika nanti mereka dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan?"

Aku sama sekali tak mengerti dengan perkataan tersebut. Mengapa aku harus merasa kasihan terhadap ayah? Terhadap ibu? Padahal aku bukanlah anak yang nakal bahkan aku sama sekali tak menyusahkan mereka.

Kemudian aku juga tak mengerti kenapa suara tersebut berkata mengenai suamiku, padahal lulus SMP saja belum, apalagi menikah—tentunya hal itu belum terpikirkan sama sekali. Jadi, mana mungkin aku punya suami. Kemudian pertanggungjawaban. Emangnya apa yang aku perbuat sampai mereka harus bertanggung jawab atas diriku? Aku salah apa? Salahku di mana? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benakku.

Saat di sekolah pun aku lebih sering melamun. Namun, bukan melamun kosong seperti orang depresi, melainkan melamun memikirkan perkataan dalam mimpi-mimpiku itu.

"Dar!"

"Ih, Hana, ngagetin aja."

"Lagian kamu mikirin apa sih, Cha? Sampe ngelamun gitu," tanya Hana.

"Itu ...."

"Itu apa?"

"Bukan apa-apa. Lupain aja." Hana menyelidik curiga kepadaku.

Aku memicingkan mata ke arahnya. "Apa, Na? Tatapan kamu aneh banget."

Tak lama datanglah Zahra. Zahra memutus keheningan di antara aku dan Hana. "Ayo ke kantin!"

"Kamu habis dari mana?" tanyaku.

"Habis dari toilet," jawabnya.

"Oh. Ya udah, ayo ke kantin!"

Di kantin, aku masih memikirkan tentang mimpi-mimpi itu. Sudah aku coba halau, tetap saja mimpi itu masih menghantui. Efeknya, meski di depanku sudah ada semangkuk baso dan segelas es kelapa, selera makanku belum muncul juga. Aku hanya mengaduk-aduk hidangannya.

"Ekhem. Kok cuma diaduk-aduk sih?"

Aku sama sekali tak mendengar ucapan Zahra. Pikiranku benar-benar larut dalam mimpi itu.

"Cha!" Masih juga tak mendengar, akhirnya Zahra menepuk pundakku.

"Eh, iya kenapa?"

"Kamu yang kenapa? Makanan cuma diaduk-aduk. Dipanggil gak nyahut-nyahut. Ngelamunin apa emang?" tanya Zahra.

"Tau tuh, pas di kelas juga ngelamun terus. Ditanya kenapa malah gak jelas jawabnya," tambah Hana sedikit kesal.

Aku merasa bersalah karena mengabaikan mereka. Aku menunduk kemudian meminta maaf. "Maaf, Ra. Maaf, Na."

"Coba cerita sama kita. Siapa tau kita bisa bantu." Zahra tersenyum kepadaku.

Pil Pahit Hijrahku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang