BAGIAN 3 - TERIMA KASIH UNTUK HUJAN

326 39 6
                                    

Pagi hari, langit mendung diiringi hujan rintik sangat ringan. Paling enak untuk tarik selimut, ndusel lagi di bawahnya. Siapa lagi kalau bukan kelakuan Gendis. Mumpung lagi libur dari aktifitas yang bernama sekolah.

Lain hal dengan Mamah yang sudah sibuk di dapur sedang memasak cupcake pesanan ibu-ibu pengajian dibantu Lanang. Di tempat lain, halaman belakang rumah. Bapak membenarkan kacamatanya yang melorot kala membaca koran daerah harian langganannya. Meskipun dunia pertelevisian dan gadget yang sudah canggih, seluruh informasi dari seluruh dunia bisa masuk di dalamnya. Tapi Bapak satu ini enggan meninggalkan benda itu. Benda yang kadang juga beralih fungsi menjadi kertas pembungkus tempe atau kacang rebus.

Panji dan Kula sibuk bertarung menekan rumus pad pe-es guna mengalahkan satu sama lain. Biasanya mereka akan berada di masjid terdekat, mengikuti kajian islam yang rutin diadakan setiap bulan dua kali itu, bersama keluarga. Mungkin karena ustadznya berhalangan, jadilah minggu ini ditiadakan.

“Mas, Adek bangunin gih. Suruh beli kurangan bahan.” Tutur Mamah sambil menuang adonan cupcake ke loyang yang sudah dilapisi kertas roti khusus.

“Siap komandan!” Lanang menempelkan tangannya dipelipis, dibalas kekehan dari sang Mamah.

Tap tap tap.’

Astaghfirullah, Gendis.” Ucap Lanang menggelengkan kepalanya melihat adeknya yang ini. “Dek, bangun.” Lanang menyingkap selimut pelan. “Dek,” beda Mamas beda gaya cara ngebangunin cewek satu ini. Lanang sangat hati-hati kalau sudah soal Gendis. Mau ngebangunin atau apapun itu.

“Mas cubit kalau nggak mau bangun.” Ancam Lanang, dia tahu adeknya pasti denger. Biasa-lah, malas bangun. “Satu-dua-dua setengah-ti-”

“Iya, ini bangun.” Akhirnya, tetap saja, matanya masih setengah merem.

-WFTW-

Tak menyangka akan turun hujan sepagi ini. Walau cuma gerimis. Kedua pemuda itu masih tetap melanjutkan joggingnya. Atta dan A’a-nya masih setia memutari komplek sampai blok komplek lain. Dengan masih diguyur air hujan.

“Ta, pulang aja yuk? Ntar lo demam lagi.” Ajak si A’a pada Atta kesekian kalinya. Katanya nanti saja, nanggung daripada puter balik, lebih baik muter komplek aja. Iya sih, jauh.

“Yaelah, hujan gini doang A’. Tanggung ah! Nggak bakal demam.” Susah deh kalau udah ngebujuk Atta yang lagi asik melakukan suatu hal. Ketimbang debat, A’a nurut saja sama Atta. Karena Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah ialah yang sangat gemar berdebat dengan gigih”, tapi tetap saja, Atta gampang sekali kena flu cuma karena gerimis.

Atta memang berbeda dari sang Aa. Dia yang notabene anak dari seorang Kiyai pemilik pesantren, memilih sekolah formal di luar pesantren. Kenapa demikian? Dia cuma ingin mengenal dunia di luar pesantren. Banyak juga yang sudah seperti itu sebelum Atta. Tapi tak lupa dia tetap menempuh pendidikan agama di pesantren milik Abahnya. Seperti pepatah “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”. Sebenarnya di awal dia meminta izin ingin bersekolah di SMA formal sangat ditentang dan dilarang keras oleh keluarga. Tapi pada akhirnya,  Atta diizinkan bersyarat.

-WFTW-

Dengan langkah kaki malas, Gendis yang memakai hoodie kebesaran warna merah milik Kula akhirnya sampai ke minimarket dekat komplek rumahnya. Cekatan mengambil segala tetek-bengek bahan roti.

Tak lupa mampir ke warung Mak Surti yang terletak di sebrang minimarket. Untuk beli bubur sum-sum, pesanan Panji, Kula dan merembet ke satu keluarga. Bubur hangat  dibungkus di tempat saat ada pembeli. Mak Surti masih setia menggunakan daun pisang sebagai wadah dan nikmatnya sungguh beda dibanding dengan plastik atau lainnya.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang