BAGIAN 19 - INFLUENZA

140 25 42
                                    

Sedikit demi sedikit, mata Gendis perlahan terbuka. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit. Bukan dikamarnya, bau khas yang Gendis hafal. Rumah sakit. Lemas, pusing, tenggorokannya sakit. Itulah yang Gendis rasakan.

"Mah," lirih, namun semua orang disana dapat mendengar suara Gendis. Termasuk Atta dan Annur, bahkan Kula dan Panji yang sedang hunting foto bergegas pergi ke rumah sakit ketika mendapat kabar, adiknya itu pingsan. Mereka bergerak mendekati ranjang, tempat Gendis berbaring.

"Adek, kasih tahu mamah, mana yang sakit, emm?" Gendis menggeleng. Mau bicara saja seperti tidak punya tenaga. "Tidur lagi aja ya?" usapan lembut yang mamah lakukan membuat Gendis kembali terpejam.

Gendis menderita influenza, dia sampai harus menggunakan nasal kanul karena sempat sesak nafas. Wajahnya begitu pucat. Terakhir kali, Gendis masuk rs sudah lama. Dulu, saat masih kecil, rumah sakit sudah seperti rumah kedua bagi Gendis. Bolak-balik rs itu sudah biasa. Beranjak besar, berkurang memang intensitasnya. Tapi tetap saja, Gendis harus ke rumah sakit kalau sudah menunjukkan gejala.

"Tante, kami pamit pulang." Karena semua keluarga sudah berkumpul, Annur dan Atta sepakat untuk mengundurkan diri. Rasanya tidak terlalu sopan juga, jika disana terlalu lama.

"Oh, iya nak. Makasih banyak, ya?" air muka mamah nampak pias. Maklum, ibu mana yang akan tenang kalau anaknya dalam keadaan kurang baik. Annur saja sempat panik tadi, kala melihat Gendis hilang kesadaran.

"Mas anterin mereka, sama bapak mau ambil keperluan buat adekmu." Bapak menambahi.

"Tidak perlu," Annur merasa tidak nyaman, mencoba menolak. "Kami bisa pulang sendiri." Bukan apa-apa, mereka sedang tidak dalam situasi yang bagus. Malah Annur dan Atta merepotkan mereka.

"Jangan, harus Lanang yang anter. Tidak ada penolakan. Oke?" Atta cuma bisa diam. Dia bingung mau bicara apa. Annur juga bingung mencari kata-kata untuk membentuk suatu kalimat.

"Baiklah, terima kasih sebelumnya."

"Santai aja mbak." Kula kali ini buka suara. Dia tersenyum, sedikit mencairkan suasana. Kula juga tak bisa banyak berpikir. Otaknya mendadak kesasar sepertinya, tak tahu jalan pulang. Dia cuma ingin suasana tegang disana lenyap saja.

"Kami pamit, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

-WFTW-

"Makasih mas," baru saja mobil yang Lanang kemudikan tiba di depan rumah orang tua Atta. Lanang mengantar bapak pulang lebih dulu agar leluasa menyiapkan segala sesuatunya. Terus lanjut antar Atta dan Annur.

"Iya,"

"Makasih, semoga Gendis segera sembuh." Ujar Annur, setelah keluar dari mobil. "Masuk dulu." Annur mengajak Lanang. Bukan basa-basi, tapi guna menghargai Lanang yang sudah capek-capek mengantarnya dan Atta.

"Iya mas, masuk dulu." Sambung Atta. Dia bahkan tak banyak bicara setelah kejadian. Dia tak bisa berfikir jernih, mulutnya cuma bisa berdoa untuk kesembuhan Gendis. Bukankah itu lebih baik?

"Makasih banyak, ntar bapak nunggu kelamaan. Aku balik dulu, assalamu'alikum." Lanang kembali melajukan kembali mobilnya.

"Siapa barusan?" Umminya Atta yang baru saja keluar, segera memberi pertanyaan pada putra dan ponakan yang masih berada di teras rumah. Melihat mobil yang telah menghilang sesaat lalu.

"Masnya Gendis, ummi. Si mbak naksir tuh." Spontan, Annur memberi tabokan keras di lengan Atta. Membuat si empunya meringis dan mengelus-elus lengan malangnya.

"Apaan sih Ta,"

"Tuhkan mi, pasti naksir." Atta ngeluyur pergi, masuk kamar. Menyelamatkan diri, dari amukan singa yang siap menerkam. Setia dengan tawa jahilnya.

"Atta!"

"Kalo boleh tahu, kayak apa sih dia?" tanya buleknya Annur dengan tawa jahilnya juga. Like mother like son.

"Bulek!"

-WFTW-

Mamah memijit pangkal hidungnya. Baru juga Gendis mendapat penanganan. Kula menyusul, dia demam cukup tinggi. Tidak heran juga. Karena sudah pasti itu, kalau Gendis sakit, Kula akan ikut sakit. Tapi tidak berlaku sebaliknya.

Ranjang sebelah Gendis yang tadinya kosong, akhirnya terisi oleh Kula. Dia juga mendapat cairan intravena, sekarang dia tengah tidur.

"Mamah makan dulu," Panji menyodorkan kantong plastik berisi nasi rames yang dia beli di kantin rumah sakit. "Dari tadi siang belum makan, kan?"

"Mas makan aja. Mamah nggak laper." Elak mamah. Padahal, sebenarnya perut mamah keroncongan.

"Aku udah makan, Panji beli buat mamah. Ntar mamah sakit, mamah harus kuat jagain dua malaikat mamah. Lagian, nggak boleh bohong kalau laper. " Panji memang sangat pandai membuat mamahnya berubah pikiran. Sekaligus menghangatkan hatinya.

"Iya, sini mamah makan." Panji tersenyum manis, membuat matanya hilang, tinggal segaris. Mamah mengusap lembut pipi putranya itu. "Makasih sayang."

-WFTW-

Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo,19 Oktober 2018.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang