BAGIAN 39 - TENTANG WAKTU

203 23 10
                                    

Dia berhasil, jantung adiknya kembali berdetak, meskipun lemah. Tapi, dengan itu, adiknya kembali hidup. Semua masih menunggu Gendis yang tengah ditangani, harap-harap cemas pastinya. Seakan berkejaran dengan jarum jam.

Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berdoa. Mamah tak bisa menahan derai air mata yang terus saja keluar tanpa perintah. Meskipun bapak menenangkannya, tapi tak berarti banyak. Dia ingin, dokter keluar dari dalam ruangan sana, membawa kabar baik untuk mereka.

Kula merasa bodoh, kenapa dia tidak menyusul? Malah cuma menunggu. Tapi jika nyusul pun, dia pasti akan seperti Panji. Yang bingung harus gimana. Mungkin, lebih parah, dia bisa pingsan lihat adiknya begitu. Disaat begini, Kula ingat kalimat yang Gendis ucapkan, waktu sesi pemotretan. Gendis sedang melihat hasil jepretan Kula. Dia memandang foto Annur yang berfoto sendiri lama. Kula pikir hanya pernyataan biasa.

"Adek pasti nggak bisa ikut nemenin dedek keluar."

"Pikirin kondisi adek, tunggu aja di rumah." Gendis hanya membalas dengan senyuman kala itu.

Namun, karena sekarang Gendis begini. Bayangan Kula jadi melanglang pada ... Kula menggeleng. Dia tidak mau berasumsi buruk, adek pasti selamat. Hampir satu jam, dokter yang menangani Gendis keluar. Mereka langsung berderap mendekat, dan bertanya.

"Kita tunggu ya, pak, bu, sebentar lagi."

"Maksudnya apa, dok?" tanya bapak yang sedikit banyak mencoba tegar dan sadar.

"Semoga Tuhan memberi keajaiban dan memberi pasien Gendis kesempatan. Kami hanya perantara. Kami sudah berusaha semampu kami." Seperti terkena sambaran petir, dokter menjelaskan segalanya. Efek samping lain dari pengangkatan limfa, adalah masuknya lebih banyak trombosit ke darah. Itu mengakibatkan penggumpalan dalam darah. Gendis mengalami penyumbatan arteri yang mengakibatkan dirinya kena serangan jantung. Meskipun sudah mendapat pertolongan pertama. Tapi itu tidak banyak membantu. Tekanan darahnya, tingkat kesadarannya, detak jantungnya terus menurun.

Mereka sudah menyuntikan segala obat-obatan yang diperlukan, namun itu juga tidak begitu berguna bagi Gendis. Kula diminta menghubungi Lanang. Dia bergegas menuju rs, begitu diberitahu. Karena diperbolehkan, mereka semua berada di ruangan sekarang, untuk menemani. Melihat Gendis terpejam erat di ranjang dengan berbagai alat yang menempel, membuat hati mereka sangat sakit. Mamah terus menggenggam tangan Gendis yang mendingin. Sebenarnya, mamah tidak mau berpikir demikian. Tapi, kenapa tandanya semakin jelas. Bahwa kali ini, Gendisnya, putrinya tidak bisa bertahan. Harapan itu pasti masih ada, bukan? Tapi, kenapa seakan tidak ada.

"Adek capek ya?" akhirnya mamah bersuara, memecah keheningan di dalam ruangan itu. Walaupun sesak rasanya. "Adek mau istirahat, em? Boleh kok, kalau itu nggak buat adek sakit lagi. Kalau itu yang terbaik buat adek. Mamah bangga punya adek." Kula tidak tahan, dia memilih keluar. Menepi dari gejolak emosi yang menguasai. Langkahnya gontai, menyandarkan diri ke dinding. Lalu duduk di selasar lorong. Air matanya tak mau berhenti.

Atta berlari kesetanan. Setelah melihat Kula yang duduk menundukkan kepalanya. Dia datang bersama ummi dan abi Annur. Kebetulan, Lanang langsung membawa Annur ke rumah mertuanya itu, biar aman ,walaupun tadinya menolak ditinggal. Annur pun ingin ikut menemani Gendis. Tapi, Lanang bersikukuh, supaya Annur diam di rumah.

"Ta," Kula sadar, Atta sedang berjongkok di hadapannya. "Gue nyesel, nggak pernah bilang sayang sama adek." Kula hanya bisa sesenggukan setelah merampungkan kalimatnya. Hidungnya bahkan sudah mampet, kepalanya pusing. Atta tidak tahu harus gimana, melihat sahabat serta saudaranya, Kula. Yang Atta lakukan hanya meminjamkan bahunya untuk Kula. Ummi dan abi, juga cuma bisa melihat tanpa berkata-kata. Namun, doa terus mengalir untuk Gendis.

"Bapak, mamah, mas Lanang, mas Panji, mas Kula, udah ikhlas, kalau adek mau pergi." Sungguh, butuh kebesaran hati, untuk bapak bilang begitu. Kehendak Allah memang, setelah dokter memeriksa Gendis barusan. Mereka sudah pasrah, dan menyuruh keluarga untuk rela menerima hasil, baik maupun buruk, karena kondisi Gendis terus drop. "Tidurlah dengan nyenyak." Ucap bapak sembari mengelus puncak kepala Gendis. "Semoga, kita ketemu lagi nanti." Selanjutnya, bapak mencium kening, pipi kanan dan kiri Gendis. Lalu bapak pergi keluar. Rasanya tak tega, harus melihat putrinya terbaring lemah seperti itu. Disana bapak bertemu besannya, dan menceritakan segalanya. Keduanya juga terkejut atas penuturan bapak.

"Adek," Panji maju, mendekat ranjang Gendis. "Mamas sayang sama adek." Cuma itu yang bisa Panji ungkapkan, walaupun dia rasa telat. Kemudian, sama seperti bapak, menciumi Gendis lama. Lanang pun tak mau ketinggalan, meluapkan apa yang ada, di dalam benaknya.

"Dek, adek nggak mau nunggu dedek keluar?" kalimat Lanang tercekat di tenggorokan, "Padahal adek yang paling excited, kan? Adek udah bosen nunggu ya?" Lanang menyeka kasar air matanya. "Tapi, kalau karena adek mau ngaso, yaudah nggak papa. Allah lebih sayang sama adek. Allah pengin ketemu adek, kan, ya? Bener yang bapak bilang, kita ikhlas, buat lepasin adek. Makasih, udah jadi adek kecilnya mamas."

'Tiit!'

Bunyi EKG panjang menimbulkan kepanikan di dalam sana. Panji segera menekan tombol emergency, tak berapa lama, tim dokter masuk dengan cepat namun teratur. Mereka memberikan CPR untuk Gendis. Menyuntikkan obat juga. Semua orang disuruh keluar saat itu. Mereka hanya bisa melihat dari luar, terhalang dinding kaca, sembari mulut terus berdoa.

-WFTW-

Kalau waktu bisa terulang, mungkin saat itu, akan mereka habiskan bersama sepanjang waktu. Masih tidak percaya rasanya, melihatnya dimasukkan ke dalam sana. Tanah merah yang dingin.

Sepertinya baru kemarin, Gendis masih sehat, ceria bahkan tertawa. Kini, hanya tinggal cerita tentangnya. Wajahnya, tawanya, senyumnya, suaranya, tak bisa lagi dilihat mata. Cuma kenangan yang ada. Tak pernah ada firasat sebelumnya. Atau, memang tak ada yang menyadarinya?

Mungkin jalan terbaik untuk Gendis. Dia sudah tak merasakan sakit lagi. Kematiannya yang tiba-tiba itulah, yang membuat semua orang hampir tak mau percaya. Tak ada kalimat perpisahan darinya. Hanya senyum terakhir, pagi itu. Ya, memang, sebelumnya Gendis kan sangat sehat, disamping dia punya penyakit. Dokter mengatakan, penyumbatan arteri tidak selalu menunjukkan tanda dan gejala. Mungkin, itu hanya sebuah alasan medisnya. Semua itu adalah Kuasa Allah. Tidak ada yang tahu skenarionya. Bayi pun, kalau belum waktunya lahir, ibu akan terus mengejan bukan? Mirip seperti mati, kalau sudah detiknya, apa bisa kita menawar? Entah apapun caranya.

Kehilangan karena kematian memang menyakitkan. Namun lebih menyakitkan melihatnya harus sering terbaring di rumah sakit, lebih menyakitkan dia harus meminum obat yang jumlahnya tidak sedikit. Lebih menyakitkan melihatnya kesakitan. Dia telah bebas, tak perlu lagi menderita karena jarum yang menusuk kulitnya. Perpisahan akan terjadi pada siapa saja, siap atau tidak.

"Adek, selamat jalan. Tidur yang lelap."

Kula tak bisa protes. Alunan takdir memang terasa mengerikan, tapi menguatkan. Ini bukanlah akhir. Matahari masih akan terbit dari timur dan tenggelam di barat. Hari-hari, kan, pasti beda. Separuh jiwanya pergi. Yang tersimpan hanya memori. Waktu pasti akan mengobati.

Rezeki, jodoh, maut itu rahasia Illahi. Sudah diatur yang Maha Kuasa. Semua yang ada di dunia hanya titipan, termasuk anak, bukan? Gendis dititipkan sama mamah dan bapak. Allah sudah memutuskan untuk mengambilnya kembali. Seerat dan sekuat apapun kita mempertahankannya, kita tidak bisa melawan kehendak Allah. Waktu milik Gendis, telah berakhir.

Tidak lagi menangis, Kula merasa bukan waktunya untuk berduka, dia dan dua kakaknya berusaha tegar, menerima kenyataan. Mereka juga yang memasukkan adiknya ke liang lahat, bersama bapak. Disana, terakhir kali mereka melihat wajah Gendis, sebelum dikubur dengan tanah.

Tak ada yang abadi, kematian itu sebuah fase kehidupan. Badai pasti berlalu, ada hari cerah setelahnya. Life must go on. Hadiah terindah untuk Gendis saat ini adalah doa. Semua akan mengalami kematian, hanya menunggu saatnya. Mungkin, detik ini masih bertemu dengan seseorang yang kita sayangi. Bisa jadi lima menit kemudian, dia sudah terbujur kaku. Dengan tubuh dingin, seakan membeku.

Tentang waktu, sebuah rangkaian cerita, proses berlangsungnya kehidupan. Yang kemarin tak akan terulang, yang hari ini kita hadapi, lalu, esok yang mungkin tak akan pernah kita temui. Berharap saat kita menutup mata pada malam hari, dan dapat melihat mentari di pagi hari. Yang terpenting saat ini, adalah menikmati hari-hari bersama orang yang masih ada di samping kita.

-WFTW-

Naon ini, mah?

Mulmed bukan milik ana.
Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 09 Maret 2019.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang