BAGIAN 34 - BAGAI DIKURUNG, WALAU TAK DIPENJARA

159 28 11
                                    

Dua minggu lebih, Gendis absen dari kegiatan sekolah. Kini, di mulai masuk lagi ke tempatnya menimba ilmu. Para penghuni kelas menyambut Gendis senang, bak dirinya baru pulang dari perang.

Sedikit banyak, Gendis tertinggal pelajaran, di rumah, Gendis benar-benar kudu ngaso dari segala aktivitas. Jadilah, dirinya seperti murid baru lagi. Kula juga sekarang duduk bersamanya, Atta dibiarkan sendiri. Ya, tak mungkin Atta juga kan, yang duduk disebelahnya.

"Kalo capek bilang." Gendis mengangguk pelan. Satu lagi perubahan di tubuhnya, sedikit kurus saat ini, dan jika sudah lelah, dia harus segera mengistirahatkan raganya. Kalau tidak mau langsung jatuh sakit.

Tak ada yang menyangka, bahkan Gendis sendiri, dia bisa mengidap penyakit semacam itu. Hidupnya berubah dalam sekejap. Dia harus berobat dalam jangka waktu yang lama. Meskipun dari dulu sudah sering keluar masuk rs. Tapi kalau ini kan, berbeda. Kalau boleh jujur, sungguh menyiksa bagi Gendis. Sebulan sekali, dia harus ke rumah sakit untuk flebotomi. Berkutat lagi dengan obat-obatan yang harus rutin dia minum. Tak pernah terbayang dibenaknya. Apalagi, menurut penjelasan dokter, setelah pengangkatan limpa, tubuh Gendis akan mudah sekali infeksi, atau gampang sakit. Jadi dia diharapkan pintar-pintar menjaga kesehatannya.

Ketika tiba waktu istirahat pun, Gendis di kelas. Makan disana, tanpa beranjak dari tempat duduk. Kula juga selalu menemani. Ikut membawa bekal, demi adiknya. Beruntung, mamah membuat ekstra bekal, untuk Atta pula. Kata mamah, biar Atta tidak sendirian nanti.

Makanan mereka pun kini sangat diperhatikan, lebih banyak sayur dan buah, bahkan untuk semua keluarga. Karena, agar Gendis tidak merasa berbeda sendiri, tidak bisa makan yang dia inginkan.

"Kok udahan?"

"Kenyang."

Kula menggeleng, "Habisin. Mubadzir, ntar." Titahnya, yang pada akhirnya Gendis menghabiskannya juga. Benar, sih, mubadzir. Hanya saja, perutnya tidak bisa dipaksa.

-WFTW-

"Sampai rumah, istirahat." Gendis mengangguk, diapun masuk mobil. Sekarang Panji memiliki tugas baru, antar jemput Gendis. Dengan mobil punya bapak, bapak mengalah, pakai motornya Panji. Dia dilarang membonceng motor sekarang, karena polusi udara.

Tertekan?
Sangat.

Siapa yang jadi Gendis, pasti begitu. Dia mau protes, karena perlakuan mereka yang terlalu banyak tuntutan dan peraturan. Iya, memang mereka menjaga agar Gendis selalu dalam performa yang baik. Tapi, dia juga tahu diri. Tidak akan berperilaku macam-macam.

"Adek tidur aja, kalau ngantuk." Celetuk Panji.

"Nggak, kok." Sebenarnya, lumayan sepet matanya. Tapi, Gendis tidak mau tidur, kalau ujungnya, pas sampai rumah, tidak dibangunkan, dan di gendong ke kamar. Gendis tidak mau makin ngerepotin.
"Mas, kapan masuk kuliah lagi?"

Panji tersenyum, pada akhirnya, dia melanjutkan lagi kuliahnya. Setelah berunding, tadinya mau nyari kampus lain, tapi yang ada jurusan IT cuma ada di universitasnya dulu. Ada yang lain, cuma lebih jauh, harus ke luar kota. Panji juga tak bisa meninggalkan usahanya. Jadi lebih baik, kembali lagi, mumpung masih diberi kesempatan. Toh, masalah sudah clear. Pendidikannya perlu dilanjutkan lagi. "Bulan depan, kenapa?"

"Nggak papa,"

"Tenang aja, mas masih bisa anter jemput adek, kok." Tutur Panji, menjawab kegusaran hati Gendis. Iya, pastinya Panji makin sibuk, kan? "Adek kan prioritas."

"Iya, karena gue sakit." Batin Gendis. Dia tersenyum tipis mengingat hal itu.

-WFTW-

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang