BAGIAN 17 - PAMIT

127 27 12
                                    

"Ssh," Gendis meringis tatkala cotton bud yang sudah di beri obat merah tak sengaja menyenggol lukanya. Mamah dengan telaten mengolesi bagian luar luka lecet yang ada di lutut Gendis, 'kado' yang dia dapat saat ngejar Nunu siang tadi.

"Nunu beneran mau pindah ke Kalimantan?" tanya Kula yang baru tahu bahwa Gendis dan Nunu habis perang dingin. Dia melahap kue putu ayu bikinan mamah. Rasa manis dan gurih berperang dilidah. Sembari ngunyah Kula memandangi melas adek kembarnya. Tubuhnya agak kurusan, matanya sayu.

"Iya, kata Nunu. Bapaknya mau nyoba peruntungan disana." Mamah mengusap bahu Gendis. Pasti putrinya itu sangat sedih, mau ditinggal pergi sahabat baiknya. Walaupun, mereka masih bisa berhubungan lewat ponsel canggihnya. Tapi, berbeda, jika bertemu langsung. Mereka sudah bersama dalam kurun waktu yang lama. Air mata yang sudah bergumul di pelupuk mata Gendis, mendesak minta keluar. Tapi berhasil Gendis tahan.

"Adek istirahat sana," perintah mamah yang dituruti cepat sama Gendis. Tubuhnya memang terasa remuk, padahal kerja berat saja tidak. Lututnya kaku buat dipakai jalan. Gendis terpaksa gunain piyama bercelana pendek. Biar lukanya tidak tergesek kain celana, karena perih.

-WFTW-

"Ta, besok minggu temenin mbak ya?"

"Kemana?"

"Ketemuan sama Gendis, mbak kangen."

"Iya,"

-WFTW-

"Lanang pulang hari ini,"

"Jam berapa?" mamah menimpali.

"Paling siangan." Mamah ber-oh ria. Dia beranjak menuju kotak obat. Mengambil vitamin yang baru saja mamah beli kemarin. Setelah itu, mamah menyuruh semua orang menengadahkan tangan kanan mereka. Dan membagi rata multivitamin yang mamah pegang.

"Diminum ya? Sekarang." Mamah memang diktator di rumah. Semua menurut, bapak, Panji, Kula dan Gendis serentak minum satu kapsul itu.

-WFTW-

"Gue mau pamit," Gendis tertegun, menatap Nunu di depannya. Mereka memilih taman sekolah sebagai tempat bicara. "Hari ahad ini, gue nyebrang. Jadi besok gue mesti udah berangkat, nginep dulu di penginapan, sebelum naik kapal." Gendis mendongak, menahan cairan asin yang hampir jatuh. Tapi gagal. "Sori,"

Gendis menggeleng cepat, "nggak, lo nggak perlu minta maaf. Lo udah jadi sahabat gue selama ini. Tapi gue nggak pernah kasih lo apa-apa. Cuma ngeluh dan ngeluh di depan lo. Gue ngrasa, gue bukan sahabat yang baik buat lo." Sakit, terasa berkali-kali lipat sekarang, saat tahu sahabatnya akan pergi. Tak ada bedanya juga dengan Nunu, yang ngrasain hal sama.

"Lo ngomong apaan si? Gue beruntung dapet sahabat macem lo, gue banyak belajar dari lo. Lo tuh nggak pernah nyerah sama apapun. Lo itu dampak terbesar buat gue, dampak yang sangat indah. Gue mau lo tetep kayak gini. Oke?" Nunu megang kedua pundak Gendis yang masih mewek. Senyum Nunu tetap mengembang sempurna. Menyembunyikan segala kekalutan di pikirannya.

"Nu, pokoknya, kita harus tetep kontekan ya? Jangan ngilang lo." Nunu mengangguk mantap. "Awas kalo ngilang, gue susul lo kesana." Perpisahan memang perlu, agar saat bertemu lagi, kenangan mereka yang baru akan jauh lebih indah.

Nunu terbahak, "iya, kalo nggak nyasar aja."

"Ih!" Nunu merentangkan tangannya lebar, mereka berpelukan layaknya teletubies. Tanpa sadar, sedari tadi Kula yang ditemani Atta memperhatikannya dari jauh.

"Lo itu hadiah dari Allah buat gue, Nu." Gendis menguraikan pelukan hangat mereka. "Kita itu cuma pisah raganya. Tapi batin kita terikat satu sama lain. Lo tetep ada disini." Gendis nunjuk dadanya, "kita selamanya."

"Gue pasti bakalan kangen banget sama lo." Mereka lagi-lagi pelukan seraya menangis. Ya, Nunu akhirnya menangis, tak dapat dipungkiri. Dia juga punya hati dan bukan terbuat dari baja yang kokoh.

-WFTW-

Sebelum pergi, Nunu video call-an dengan Gendis. Nunu sudah tak bersekolah. Beruntung Nunu berangkat pagi, jadi setelah subuh, mereka puas-puaskan mengobrol.

"Dah! Ati-ati. Muuah!" Nunu dan Gendis melambai-lambaikan tangan. Saling melempar senyum sebelum panggilan berakhir.

"Dek!"

"Iya," Lanang masuk kamar Gendis, masih pakai sarung. Cuma atasannya kaos oblong hitam polos. Kokonya udah di lepas.

"Dari nenek." Lanang mengulurkan kresek hitam. "Dipake ya? Nenek kangen tuh. Kapan-kapan suruh kesana," Lanang langsung ngeluyur pergi, setelah mengusak pelan pucuk rambut Gendis. Gendis antusias membukannya dan menemukan sesuatu. Sweater rajut warna abu-abu. Gendis segera beranjak dari kasur dan menjajal hasil dari rajutan nenek pastinya.

Sedikit besar ditubuh mungil Gendis. Tapi Gendis tetap suka. "Makasih nenek." Gendis berputar-putar di depan cermin. Menatap pantulannya itu. Senyumnya mengembang.

"Hey lo," Gendis mengacungkan jari telunjuknya ke cermin, yang berarti menunjuk dirinya sendiri. "Lo harus bahagia, mungkin sulit. Tapi, lo nggak perlu keburu-buru, kayak ngejar apa dan nggak usah terlalu pelan, kayak nungguin siapa. Lo bisa, oke?" hanya sekedar self talk, meski sederhana. Tapi self talk bisa mensugesti alam bawah sadar Gendis, sebagaimana ucapannya. Pengaruhnya besar pada diri sendiri. "Fighting!"

-WFTW-

Nulis apaan sih ya?
Anggap saja selingan.
Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 15 Oktober 2018.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang