"Jika solusi tidak semudah yang dibayangkan. Kadang, satu-satunya jalan adalah pergi."
Matanya sepet, buku yang sangat manjur. Entah judulnya apa. Yang penting baca buku, guna membuatnya ngantuk. Tubuhnya capek, cuma tak bisa tidur. Lanang memutuskan baca buku setebal kamus Indonesia-Inggris itu. Ternyata efektif juga.
Cuma sekitar empat sampai lima jam Lanang tidur. Kepalanya pusing, dia putuskan buat tidur lagi sebentar setelah subuh.
Dering ringtone HP Lanang yang berada di atas nakas berhasil membangunkannya di jam tujuh pagi ini.
"Buruan ke bengkel seni!" Seru orang yang menelpon diseberang sana. Lanang menyibakkan selimutnya. Mengganti baju secepat kilat, tak lupa memakai jaket kulit kesayangan. Saking buru-burunya, dia sampai lupa kunci motor tidak dibawa bersamanya turun. Perasaannya tak enak, apalagi suara panik dari Lian, si penelpon. Dia selalu paling pagi datang ke Bengkel Seni.
"Dek! Ambilin kunci motor Mas, digantung dipager. Buruan!" Perintahnya sama Gendis yang sudah lengkap berseragam sedang menuruni tangga. Gendis langsung nurut sama permintaan Mas pertamanya itu.
"Astaghfirulloh! Macam kapal pecah." Melihat kamar Masnya yang bernuansa warna gunmetal dengan dekorasi minimalis pagi ini. Kasur yang biasanya rapi kini nampak acakadul, baju koko dan sarung ada dibawah ranjang, kursi juga terjungkal.
"Dek! Cepetan!" Gendispun melesat, mengambil kunci motor dan bergegas turun. Takut kena omel. Lanang nakutin kalo lagi marah.
"Lama amat.""Bukannya terima kasih ih." Gendis ngedumel sendiri saat Lanang pergi setelah ambil kunci pakai sewot.
"Mas! Nggak sarapan?!" Mamah berteriak saat tahu Lanang pergi begitu saja.
"Nggak Mah, ntar aja, Assalamu'alaikum!" Teriak Lanang dari ambang pintu sambil pakai helm. Ada rasa cemas menyelimuti hati Mamah, tak biasanya Lanang begitu.
-WFTW-
"Nji, pinjem ransel dong." Kula yang masuk kamar Panji tanpa ketuk pintu, tanpa salam. Untung si pemilik kamar tahu tabiat adeknya satu ini. Dan yang masuk cuma kepalanya doang.
"Buat apa?"
"Ya buat gue bawa nginep lah ntar malem." Jawab Kula seadanya, memang itu adanya. Kini pintunya sudah terbuka lebar, Kula sudah masuk bersama tubuhnya dan duduk di kursi belajar Panji. Melihat Panji yang sibuk memakai pomade, biar kekinian katanya.
"Emang adek dibolehin Mamah?" Yang dimaksud adalah Gendis.
"Iya, dibolehin."
"Lo kan juga punya tas, lo tu cuma nginep sehari semalem. Mau bawa apaan coba?"
"Buat bawa laptop ama kamera gue Nji, ah! Pelit lo." Kula mulai pemancingan emosi ala dia, ngeledek.
"Oke, harus ada timbal baliknya dong."
"Ahelah, pamrih amat lo. Bantuin adek sendiri juga. Amal jariyah Nji." Panji ingin menggigit Kula sekarang juga. "Kata Pak Ustadz ya, salah satu akhlak tertinggi di dalam agama Islam adalah ikhlas. Lawannya, pamrih. Kenapa Islam mengajarkan keikhlasan? Karena, Allah menghendaki umat Islam menjalani agamanya ‘tanpa pamrih’. Semua aktivitas hidupnya dilakukan lillahi ta’ala-karena Allah semata."
Ada untungnya juga Kula ikut rohis. Bisa mempelajari ilmu-ilmu islam, meperdalam ilmunya. Sekalian diamalkan. Merasa tertohok sepertinya. Panji beranjak mengambil tas ranselnya yang besar, cukuplah untuk menaruh keperluan Kula disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Find The Way ✔
Teen Fiction[SELESAI] Cerita tentang Gendis. Si gadis ceroboh dan petakilan. Dipenuhi masalah keluarga yang seperti tak ada habisnya bersama tiga Mamasnya. Kisah nano-nano yang mengelilingi dia. Tak lupa, kisah cinta dihidupnya. Atau mungkin takdir yang berbeda...