BAGIAN 35 - HARUS MULAI DARI MANA?

141 26 21
                                    

"Maafin adek," Kula menghela napasnya pelan. Dia seperti bertanggung jawab, mewakilkan Gendis minta maaf. Walau bukan kewajibannya. Tapi, Kula merasa perlu untuk itu. Sikap Gendis, tidak dibenarkan. Karena kalimatnya, terdengar kasar.

"Bapak sama mamah pasti maafin adek kok," sambung bapak, yang pasti paham akan perasaan Kula. Apalagi mereka kembar, pasti punya ikatan batin yang lebih. "Biarin adek sendiri dulu. Adek butuh situasi yang tenang."

"Bukan hal mudah buat adek." Lanjut Kula, maniknya tertuju pada piring kosong dihadapannya. "Adek lagi berjuang, tapi kita seakan memiliki hidupnya. Nggak ngasih kesempatan adek buat nikmatin waktunya sendiri."

"Salah kita, terlalu cemas berlebihan." Panji menimpali.

"Pelajaran berharga untuk kita. Setelah ini, pastikan, adek happy dengan keadaannya saat ini. Kita hormati, hargai adek. Oke?" semua mengiyakan perkataan bapak, tanpa ada yang protes. "Intinya, biarkan adek sebagaimana adek inginin. Daripada kita mencoba mengubahnya, tapi malah menjadi buruk untuknya."

-WFTW-

'Cklek!'

Mamah bersyukur, karena kamar Gendis sudah tak dikunci lagi. Tapi si empunya kamar sudah bergelung dalam selimut. Mamah mendekat membawa nampan berisi makanan, yang dia taruh di nakas. Putrinya memang belum makan, dia bahkan sholat isya' sendirian di kamar.

"Adek, bangun sayang." Mamah mengusap kepala Gendis lembut. "Makan, trus diminum obatnya." Belum menyerah. Mamah terus mencoba membangunkan Gendis, tapi sepertinya nyenyak. Wajahnya terlihat lelah, memang. Mamah memutuskan menyudahi usaha membangunkan Gendis. Sebelum keluar, mamah menyempatkan mencium pipi Gendis yang menirus.

'Blam!'

"Gimana?" tanya bapak, yang sedari tadi memang menunggu di luar kamar. Mamah menggeleng.

"Adek tidur."

"Tenang aja, pasti adek bangun buat makan." Ungkap bapak, seraya menenangkan istrinya.

-WFTW-

Tadinya mau Gendis abaikan, tapi kalau tidak di makan, siapa juga yang akan menghabiskan? Nanti malah dibuang, tidak baik kan membuang rejeki? Akhirnya, Gendis menarik tubuhnya untuk duduk perlahan. Lalu memulai makan malamnya, pada pukul sebelas. Gendis terbangun, dan menemukan nampan berisi makanan di meja. Walau sudah dingin, dan merasa mual saat memakannya. Gendis paksa terus, kasian mamah, yang sudah repot-repot.

Setelahnya, Gendis membawa bekasnya ke wastafel dapur. Segera mencucinya sampai bersih. Tak dinyana, saat berbalik, Gendis menemukan Kula dibelakangnya. Pandangan mereka berserobok beberapa detik. Tapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulut masing-masing. Sebenarnya, dalam hati, mereka ingin sekali bicara. Tapi, bibirnya serasa terkunci. Akhirnya, Gendis memilih pergi dari sana. Kembali lagi ke kamar.

Situasi paling menyebalkan bagi Kula. Bukan sekali-dua kali, sih. Tapi tetap saja mengesalkan, saling diam tanpa kata. Ibarat kata, mau 'say hi' saja susahnya minta ampun. Dulu, seringnya berantem pasti hanya karena di suruh bersih-bersih. Terus eyel-eyelan, habis itu kena omel. Jadinya bersihin bareng, walau sambil ngedumel. Atau, rebutan remot teve. Dan hal-hal sepele lainnya. Tapi itulah yang membuat mereka semakin dekat.

Kali ini, rasanya beda. Kula jadi merasa bersalah. Tapi, Gendis juga tidak bilang dari awal. Kalau sudah begini, tinggal nunggu waktu saja.

"Maafin mas, dek. Maafin kita."

-WFTW-

Terhitung sudah tiga hari, sampai malam ini, Gendis masih berdiam diri dan menghindar. Tanpa ada hasrat bicara ataupun menyapa. Efek dari ini semua adalah, hubungan Gendis dan keluarga merenggang.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang