BAGIAN 22 - BISMILLAH

119 25 30
                                    

Setelah lima hari mendekam di rumah sakit. Akhirnya, Gendis bisa menghirup udara segar di rumah. Ralat, udara berbau sup buatan mamah di dapur, siang ini. Mamah sedang sibuk dengan talenan dan pisau. Gendis? Dia cuma melihat lewat kursi yang hanya dibatasi oleh meja bar.

"Cicipin dek," mamah meletakkan mangkuk kecil. Isinya cuma kuah sup ayam. Gendis memang masih batuk pilek, jadi memang sering-sering dibuatin sup sama mamah. Gendis menyesap langsung dari mangkuknya. "Enak?"

"Emm, kapan mamah masak nggak enak. Lagi dong mah," Gendis mengembalikan mangkuknya ke mamah. "Pake wadah yang gede mah, sama ayamnya sekalian." Gendis cuma menampakkan cengirannya.

"Pake rantang sekalian ya?" ledek mamah seraya tertawa.

"Ih, mamah!"

"Assalamu'alaikum!" suara Lanang mengalihkan fokus dua perempuan itu. Seraya menjawab salam, tangan mamah juga dicium sama Lanang. Tak ketinggalan Gendis juga salim sama masnya itu. Yang langsung ikut duduk di kursi kosong sebelah Gendis.

"Lancar?" tanya mamah, begitu Lanang sudah posisi wuenak di kursi. Nimbrung Gendis yang lagi makan sup. Ambil sendok di dekatnya dan melu-melu nyendokin wortel, kentang, tak ketinggalan sang primadona, yaitu ayam, yang sudah mamah potong-potong kecil, biar gampang makannya. Tak peduli berbagi dengan Gendis yang batuk pilek, walau ringan.

"Alhwamdulillwah."

"Ih, mas! Muncrat tauk. Telen dulu napa." Mamah ketawa sendiri ngelihat anak pertama dan terakhirnya. Segelas air putih yang awalnya punya Gendis juga di serobot sama Lanang. Dihabiskan tanpa sisa. Gendis cuma mendelik singkat. Tak peduli apa yang Lanang lakuin. Gendis mengambil itu gelas dan mengisinya lagi.

"Lancar mah, abis." Hari pertama Lanang ider tempe. Sewaktu Gendis di rumah sakit, Lanang sempatin bikin tempe di rumah. Butuh waktu satu sampai dua hari untuk fermentasi. Dibantu Panji bungkusin pakai daun, yang sudah dipesan Lanang dari bapak penjual daun di pasar. Lanang juga tak mungkin minta Kula buat bantuin, soalnya dia harus sekolah.

"Alhamdulillah." Saut sang mamah.

"Tapi, pipiku sakit." Adu Lanang, mukanya dibikin melas. Buat cari perhatian sama mamah. Kadang, mamasnya bisa semanja itu pada mamah. Gendis pun heran. Cowok begitu mau nglamar anak gadis? Gendis tak yakin. Eh, tapi, mungkin nanti, Lanang jadi dewasa setelah nikah.

"Kenapa?" tanya mamah dan Gendis barengan.

"Dicubitin sama emak-emak komplek." Lanang curhat, dengan muka yang semakin dibikin melas. Biar dielus sama mamah. Dan memang, pada akhirnya dielus deh sama mamah. "Kata mereka, aku ganteng. Dan aku emang ganteng. Ya kan mah?"

"Anak siapa dulu dong," Gendis memutar bola matanya jengah. Mamasnya benar-benar narsis. Mamah lagi, malah ikut-ikutan. Ah, sudahlah, biarkanlah. Yang penting mereka bahagia.

-WFTW-

Jatuh cinta, adalah sifat alamiah dan naluri yang ada pada diri manusia normal. Tidak ada salahnya dengan jatuh cinta. Lanang, sebagai laki-laki normal juga punya perasaan itu. Sebelum ini, dia pernah sekali tertarik pada wanita, saat kuliah dulu. Namun, memang belum berjodoh saja dengan dia. Tapi, setelah melihat Annur, menatapnya lamat saat itu, saat pertama kali melihatnya di pesantren. Hatinya yang dingin mulai menghangat kembali. Jantungnya terus berdegup kencang. Otaknya seperti konslet, dia terbayang akan perempuan itu.

Jika menurut umur, Lanang sudah sangat cocok untuk menikah. Ya, memang dia baru merintis usahanya. Finansialnya memang belum mumpuni. Tapi, in syaa Allah, cukup. Jangan ditanya bagaimana mentalnya, Lanang siap, sangat siap. Siapa tahu, dengan menikah, rezekinya bertambah. Sebenarnya, Lanang sudah akan memberitahukan perihal, dia suka Annur, pada mamah dan bapaknya. Namun, ada saja masalah. Jadilah sedikit tertunda. Mungkin, sudah saatnya Lanang membicarakan hal serius ini. Dia tidak ingin menundanya lagi. Lanang benar-benar serius dalam menjalin hubungan.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang