BAGIAN 21 - REZEKI

115 25 9
                                    

Gendis baru saja bangun pada jam sepuluh pagi. Masih di gedung bernuansa putih. Dan di ranjang yang sama. Tapi, dia sudah tidak gunain selang oksigen. Karena sudah tak separah kemarin.

Tak ada yang sadar Gendis sudah membuka matanya. Semua orang sedang bergurau di sekeliling Kula. Cemburu? Tidak. Gendis bahagia melihat mereka semua tersenyum. Dikelilingi anggota keluarga yang menurut Gendis sudah sempurna. Dia sangat bersyukur. Sampai akhirnya, bapak menyadarinya.

"Adek, kok nggak nyuara si?" bapak beringsut, mendekati ranjang Gendis, disusul mamah. "Masih ada yang sakit?"

"Nggak ada, bapak." Suara Gendis masih terdengar lirih. Tenggorokannya sakit, sedikit radang disana. Untuk menelan ludah saja sangat menyiksa. Tapi, terpaksa dia tetap harus makan, walaupun itu bubur yang encer. Demi kesembuhannya. Dia tidak boleh manja.

Bapak dan mamah langsung membantu Gendis, ketika gestur Gendis yang menunjukkan ingin duduk. "Adek, butuh apa?" lanjut sang mamah.

"Nggak butuh apa-apa mah." Mamah dan bapak tersenyum, melihat putrinya yang sudah membaik itu.

"Dek," atensi Gendis dan yang lain, tertuju pada Kula. Si sumber suara. "Cepet sembuh dong, nggak suka lihat adek tidur disitu." Kula menunjuk ranjang dengan dagunya. Pernyataan Kula yang diangguki semua orang. Yang memang kebetulan berada disana. Kula sudah muak dengan tempat yang dimana-mana bau obat itu.

"Maaf," Gendis membeo.

Mamah menggeleng, "adek kenapa minta maaf? Bukan salah adek." Mamah sungguh paham, bukan hanya mamah. Seluruh penghuni rumah pun tahu, gimana Gendis. Sistem imunnya lemah, makanya dia gampang sekali sakit. Beda dengan Kula. Padahal mereka dari rahim yang sama. Tapi, mereka sangat bersyukur, apapun kondisi Gendis. Dia akan selalu sembuh.

"Adek selalu bikin khawatir semua orang."

Lagi-lagi mamah menggeleng, "adek itu, malaikat mamah. Malaikat kita semua." Senyum Gendis merekah tatkala mendengar kalimat dari sang mamah. Seperti rayuan gombal memang, tapi tetap memberi efek positif dikala Gendis sedang merasa bersalah akan keadaannya.

Dimata keluarga, Gendis itu istimewa. Saat lahir dia tidak langsung menangis, berbeda dengan kakanya, Kula, yang menangis kencang. Dari kecil, dia tidak lepas dari yang namanya berobat. Tapi, Gendis tetap bertahan di situasi apapun.

-WFTW-

"Dek, mas mau keluar. Mau titip apa?" Lanang berdiri dari duduknya. Matanya sepet, dia mau nyari kopi.

"Titip salam," dahi Lanang mengkerut. Tanda kebingungan. "Mas." Lanang akhirnya kembali duduk, tapi bukan di sofa seperti tadi, melainkan di ranjang Gendis. Gendis memikirkan hal yang mengganjal hatinya. Tentang Annur.
"Menurut mas, mbak Annur itu kayak apa sih?"

Lanang yang ditanya tiba-tiba begitu, seketika gelagapan. Dia tidak bisa menyembunyikan salah tingkahnya. Beruntung, cuma ada mereka berdua, disiang menjelang sore ini. Bapak dan mamah sedang pulang. Panji dan Kula lagi keluar, nyari udara segar. Sumpek katanya. Tak salah, mau seluas apapun ruangannya, tetaplah sangat tidak nyaman berada disana.

"Apaan si dek?"

Gendis terkekeh, "jujur aja kali mas."

"An-"

"Assalamu'alaikum." Suara perempuan bernama Annur, memotong ucapan yang bahkan baru akan dimulai Lanang.

"Wa'alaikumsalam." Ternyata bukan cuma Annur, dia bersama Atta dan Fatimah. Lanang memang sudah tahu, bagaimana tidak, Gendis selalu cerita ini-itu sama semua orang rumah.

"Fatimah!" pekik Gendis yang kemudian meringis dan berdehem. Lupa bahwa tenggorokannya masih belum baik.

"Nggak papa kan?" tanya Fatimah dengan suara lembutnya.

"Iya, gue baik kok. Kangen." Gendis seketika merengkuh Fatimah, lama. Disaat bersamaan Kula dan Panji masuk seraya cekikikan. Ternyata mereka bersama mas Kaka.

"Oe!" sapa Kula, begitu tahu Atta disana.

"Lo kenapa nggak masuk? Dan kok lo pake-"

"Biasa, adek nularin gue."

Gendis mencebik dari kasur mendengar kalimat yang Kula lontarkan. Tapi iya juga sih. Mas Kaka berjalan menuju ruang kosong pemisah ranjang Gendis dan Kula, menemui Gendis. Setia dengan senyum manisnya itu dan menanyakan kabar Gendis.

Kula yang sudah mapan di kasur membeo, "bang, nggak bawain apa gitu?" Panji mendelik dan segera menjitak kepala Kula, hingga si empunya meringis, mengelus kepala malangnya. Akhirnya membuat seisi ruangan tertawa.

"Tenang aja, nih." mas Kaka menyodorkan kantong kresek. "Bagi sama adek." Muka Gendis mendadak merah, menjalar rasa panas di pipinya. Annur yang menyadari terkikik geli.

"Apaan ni bang?" tanya Kula lagi.

"Bronis bikinan bunda." Mendengar kata brownies, Panji langsung mengambilnya. Azka menggeleng karena kelakuan kakak-adik itu konyol. Lanang juga menggeleng, karena kelakuan adik-adiknya yang memalukan.

"Bagi juga sama gue." Untung Azka membawa banyak. Tahu sendiri gimana sohibnya itu penggemar bronis.

Sore itu, sore yang menyenangkan bagi Gendis. Matanya memandang Fatimah dan Annur, mereka sedang bergurau yang pada akhirnya membuat mereka terbahak, tak terkecuali Gendis. Disampingnya, sebelah kanan ada Kula dan Atta. Mereka sedang serius bicara masalah ekskul rohis dan panahan yang mereka ikuti. Ah, Gendis tidak paham, tinggalkan, tapi jangan lupakan tawa Atta yang aw, so beatiful.  Lupakan, calon makmumnya bahkan sedang dihadapannya. Dia tidak boleh, walau cuma membayangkan, dia harus move on. Dan di sofa, mamas-mamas gantengnya, Lanang dan Panji. Lanang lagi pakem baca novel religi, yang dibawa dari rumah. Sambil sesekali curi pandang sama Annur, Gendis tahu itu. Rencana keluar cari kopi, gagal atau sengaja Lanang gagalkan. Panji? Dia lagi main game sama Azka, tahu lah, game apa. Dia itu sangat suka main game, tapi masih tahu batas. Satu, eh dua lagi, mamah dan bapak, orang tua terhebat dan terbaiknya, yang masih di rumah, nanti malam mereka baru kesini.

Sebuah rezeki untuk Gendis. Rezeki bukan hanya bentuk materi. Tapi dikelilingi orang-orang baik juga rezeki. Gendis tak boleh lupa, akan nikmat yang sudah diberikan oleh Allah berkali-kali lipat banyaknya.

-WFTW-

"Boleh aku mengenalmu?"

Annur terpekur kala Lanang mengucapkan kalimat itu. Tadi, Annur dan yang lain sudah keluar, malahan sudah berada di parkiran, ternyata hape Annur ketinggalan di kasur Gendis, Kula yang ngasih tahu lewat pesan, yang dikirimkan ke Atta. Akhirnya Annur masuk lagi, tak disangka Annur bertemu Lanang di lorong yang menuju ke kamar rawat si kembar. Lanang membawa ponsel milik Annur.

Tak ada jawaban dari mulut Annur, lidahnya mendadak kelu.

"Dalam sebuah hubungan pernikahan."

-WFTW-

Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 23 Oktober 2018.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang