Semalam Matra nganterin gue ke rumah, dia bilang ada urusan di luar dan gak bisa nemenin gue di apartement. Dia bakal jemput gue kalau urusannya udah kelar. Tapi gue gak nanya apa urusan yang sedang dia kerjain dan gue juga gak nanya berapa lama dia bakal nyelesaiin urusannya.
Meski semalam dia seolah nembak gue, gue masih merasa gak ada hak untuk tau keseluruhan tentang apa yang dia lakuin. Gue belum liat jalan yang gamblang untuk masuk ke kehidupannya. Lagipula dia belum ngajak dan narik gue masuk, dan gue juga masih takut atas perasaan gue yang sebenarnya ke dia. Gue perlu waktu untuk menelusuri perasaan gue sendiri.
"Apa kalian memutuskan jadi sepasang suami istri sungguhan?" nyokap masuk dapur saat gue sedang buat kopi atas permintaan kak Barka.
"Mungkin"
Nyokap pakai celemek dan mulai mengolah makanan yang akan dia buat untuk makan siang. "Mama gak setuju"
"Setuju nggak setuju, bukan urusan mama. Yang mama pentingin cuma duit" suara ketus gue ngalir gitu aja.
Nyokap senyum kecil. "Umur kalian terlampau jauh. Mama yakin hubungan kalian akan seperti mama kelak...CE-RAI"
Gue banting sendok ke meja. Tapi sejurus kemudian, gue ketawa hambar. "Gampang, aku tinggal ikutin jejak mama, nyari cowok yang lebih tajir. Lagian yang ceraiin papa kan mama, padahal papa gak salah apapun waktu itu"
"Kamu masih kekanakan, belum ngerti apapun. Yang kamu simpulkan cuma ngeliat dari tampilan luar aja"
"Mama gonta ganti cowok tiap minggu, mama bilang aku gak ngerti apa-apa?" nyokap hela nafas. "Andai papa masih hidup, gak mungkin aku hidup bareng mama sekarang. NA-JIS!" tekan gue lalu pergi dari sana.
Gue masih bisa denger nyokap banting pisau, tapi gue hirauin karena terlanjur kesal.
Gue naik menuju kamar kak Barka, nganterin minumannya. Tapi, waktu mau ngetuk pintu, kak Gaga hadang gue dengan ekspresi yang gak bisa gue tebak.
"Lo keterlaluan" serangnya.
"What?"
Kak Gaga hela nafas. "Gue tau lo benci nyokap, tapi gak seharusnya lo ucapin kata kasar ke nyokap. Nyokap memang salah, tapi lo juga harus tau nyokap gak sepenuhnya salah" gue malingin muka. "Bokap juga gak sepenuhnya salah"
"Terus yang salah siapa? Nenek moyang lo? Bullshit"
"Dek..."
"Males gue denger ceramah lo. Minggir!" gue dorong dia sedikit dan buka pintu kamar kak Barka. Dan lagi-lagi gue salah timing. Dia lagi buka pakaian bersiap mandi.
"BABIIIIIIIII...."
Gue ngakak liat dia lari terbirit-birit ke kamar mandi sambil nutupin sebagian badannya.
"Gak doyan gue sama lo"
"TAIK LO, ANJING!"
Gue pun letakin minumannya di atas meja dan keluar dari sana. Gue masih berpapasan dengan kak Gaga yang bertingkah bingung pengen ngucapin sesuatu ke gue.
"Apa lo?" gue ngelirik dan lewatin dia sinis lalu masuk ke kamar gue. "Masa bodo"
*****
Sampai menjelang malam, gak ada interaksi apapun sama mereka, baik kak Gaga, bokap atau nyokap. Sedang kak Barka belum pulang. Makan malam kita senyap kayak di kuburan. Bahkan denting piring aja seolah takut buat bersuara.
Usai makan gue pergi ke taman belakang, ninggalin meja yang masih berantakan. Biasanya juga nyokap yang bakal bersihin sendiri.
Gue duduk di depan Beby. Hewan peliharaan gue itu lagi tidur. Gue usap kepalanya sambil mandang dia kosong. Andai Matra sehangat Beby, gue gak perlu ragu ikat dia selamanya sama gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Greatest Blessing
Roman d'amour[Completed] Dikelilingi cowok-cowok kampret bin absurd, bikin dunia gue ikutan jungkir balik. Dimana gue punya 2 kakak cowok, yang pertama namanya kak Barka yang udah jadi playboy bertahun-tahun dan hoby nya suka kawinin anak perawan orang dan kakak...