"Maafin Ane, bunda." katanya lemah dalam hati.
#FlashbackOff
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga kini Ane yang sudah dikenal gila oleh keluarganya sendiri. Mengingat sedikit ulasan menyedihkan itu membuat air mata Ane runtuh dari tempatnya dengan keras. Pikirannya kacau, hancur, marah, menjadi satu kesatuan.
"Aaaaaaaaaaaaaa!!" teriak Ane dengan keras, sembari memegang kepala dan menarik rambutnya yang bergelombang hingga menjadi berantakan. Ia berteriak berulang kali.
Kemudian seorang petugas datang dan berusaha menenangkan Ane, yang kini khyalannya tentang masa lalu telah kembali menjadi masanya yang sekarang.
"Tolong kendalikan dirimu, nyonya." seru seorang petugas sambil mencoba memegangi tangan Ane.
"Lepaskan akuu !! Aku tidak gila! Atau aku bunuh kalian,aaaaaaa!!" teriakan Ane semakin menjadi-jadi. Dia menarik-narik kerah baju dari seorang petugas. Dia terus berteriak,sebelum akhirnya seorang dokter menyuntikkan obat penenang di tangan putih mulus itu. Ane pun bereaksi atas obat itu, dan mulai terkulai lemas.
"Baik, ikat saja dulu satu tangannya. Aku khawatir saat ia bangun nanti, dia bisa saja mengamuk." perintah sang dokter kepada seorang petugas yang mulai menjalankan perintah tuannya. Lalu mereka meninggalkan Ane dalam ruangan besar berdinding putih bersih itu.
Ane terlelap, mungkin obatnya bereaksi sangat cepat. Namun perasaanya masih ia bawa dalam lelapnya. Mimpinya pun kembali membayang, akan kenangan itu lagi. Kenangan hitam pekat yang masih sangat ia ingat.
#FlashbackOn
Sore yang indah. Ane masih terlihat sedikit pendek ketika umurnya sempurna 10 tahun nanti malam. Ia menaiki sepedanya menelusuri jalanan di sebuah kota yang indah dan bersih. Ia tersenyum lebar menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuh yang terbalut dress kuning muda dan ditemani sweater merah muda sangat kontras dengan warna drees selututnya. Ane menambah sedikit kecepatan sepedanya.
"Ane ! " panggil seseorang dari belakang. Sontak Ane berbalik untuk menghadap si pemanggil namanya itu.
"Jio!" seru Ane, kemudian menggayuh sepeda untuk mendekat ke arah laki-laki yang seumuran dengannya. Dia tampak memegang sesuatu di tangannya yang sengaja disembunyikan oleh sang pemilik.
"Jio..kamu sedang apa di sini?" tanya Ane sambil turun dari sepeda dan mendongkraknya.
"Ane, kita kesana yukk!" ajak Jio laki-laki bermata coklat terang dengan warna rambut hitam sedikit panjang. Mungkin ia tidak sempat memangkas rambut tipisnya itu.
"Kesana?" tanya Ane sambil menunjuk taman di sekitar danau. Ia mencoba meyakinkan pernyataan Jio yang mengajaknya ke taman yang memiliki warna hijau mencolok.
"Ayo..taruh saja sepedamu disini." kata Jio kemudian menarik tangan Ane agar mempersingkat waktu menuju taman itu.
Sesampainya di sana, mereka duduk di atas rumput tepat berhadapan dengan danau yang menampilkan embun menghiasinya.
"Ane, sebelumnya, mm..Selamat Ulang Tahun ya." seru Jio memulai interaksi dengan senyum manis, menampilkan dua lesung pipinya. Lalu Jio mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya, sebuah bingkisan terbalut kertas warna biru muda kesukaan Ane.
"Ini untukmu. Waktu itu aku menjanjikannya padamu. Aku harap kamu suka. Aku menabung untuk membelikannya sebagai hadiah di hari spesial ini." tangan Jio meraih tangan Ane dan memberikan hadiah itu pada Ane. Keduanya tersenyum.
"Tapi..." Jio menghentikan kalimatnya.
"Tapi kenapa,?" tanya Ane dengan sedikit khawatir.
"Memang kau tidak akan suka mendengarnya. Tapi aku harus mengatakannya,kan? Aku akan pindah, Ane." jelas Jio tak menunduk.
"Pindah? Ini hari ulang tahunku,Jio. Kamu mau pindah kemana? Aku mau kamu datang nanti kerumah." nada bicara Ane berubah seperti menuntut.
"Aku pindah ke luar negeri. Papaku akan mengelola bisnis keluarga kami di Canada." jelas Jio kembali. Tapi sekarang menatap Ane, yang matanya sudah berkaca-kaca.
"Heii. Tapi jangan sedih,Ne. Kita masih bisa komunikasi,bukan? Kita akan sering telefon dan Video Call kan ?!" seru Jio tampak ingin menghibur teman baiknya itu.
"Kenapa kamu pindah? Kamu kesel karena kamu tidak pernah juara kelas gara-gara aku? Lagipula rumahmu disini kan besar,Yo. Atau kamu marah gara-gara kita gak jadi nonton bareng ?" tanya Ane bertubi-tubi yang menimbulkan senyum di bibir indah Jio.
"Nggak. Kamu kira aku gampangan kayak gitu apa?" kata Jio yang kemudian menghapus air mata Ane.
"Udah. Gak usah nangis. Cengeng. Aku bukan pacarmu. Jadi gak usah sedih,karena suatu saat mungkin sosokku akan terganti oleh orang yang mampu slalu berada bersamamu." Jio tersenyum melihat Ane.
"Kamu janji gak akan lupain aku kan?" tanya Ane sambil menghapus air matanya.
"Aku janji." mengaitkan kelingkingnya di kelingking mungil Ane.
Ane memandangi Jio sambil menggenggam erat kado Jio yang kini ditangannya.
Mereka mengakhiri pertemuan terakhir mereka dengan sebuah pelukan. Kemudian Jio dijemput oleh sopirnya. Sedangkan Ane pulang dengan sepedanya. Jujur saja, Ane sangat kehilangan teman baiknya itu. Jio adalah teman yang baik, rela berkorban, bijaksana, dan dia memang sedikit tampan. Jio sudah menjadi teman sebangkunya sejak sekolah dasar sampai sekarang. Namun, ia kehilangan teman yang mungkin satu satunya berkarakter seperti Jio di sekolahnya. Sisanya hanya teman yang memanfaatkan prestasinya. Dan hari ini, ia benar-benar ditinggalkan. Miris rasanya.
Ane menaruh sepedanya di garasi rumah. Ia mencuci kaki lalu memasuki rumahnya. Pukul enam lebih, tapi rumahnya tampak kosong. Mungkin semua orang mempersiapkan ulang tahunnya. Mungkin saja. Ane masuk ke kamarnya yang didominasi warna biru muda untuk membersihkan diri. Setelah itu ia pergi ke kamar kakeknya.
"Kakek. Hari ini ulang tahun Ane yang ke 10 , Ane udah gede aja ya nggak, kek? " seru Ane pada sang kakek yang melihatnya sambil tersenyum tipis. Meski tau kakeknya tidak akan bisa menjawab, Ane tetap berbicara pada kakek yang amat dicintainya itu.
"Ane tau kakek juga senang. Ane rindu sekali bersepeda dengan kakek. Sepi sekali kalau harus bersepeda sendiri. Tapi gapapa. Kakek pasti sembuh dan kita akan main bareng lagi, oke! " kata Ane dengan semangat. Sang kakek hanya menatap mata cucunya yang berkaca-kaca sama halnya dengan dirinya, namun bencinya ia tidak bisa mengatakan bahwa ia juga sangat merindukan cucunya itu.
Ane meninggalkan kamar kakeknya setelah memberinya makan. Sejak kecelakaan dua tahun lalu yang dialami kakeknya, kakek dyantara tidak mampu melakukan aktivitasnya setelah koma selama tiga bulan. Dia pun masih tidak bisa bicara dan berjalan sampai saat ini. Kecelakaan mobil itu juga yang merenggut waktu kakeknya dari Ane.
"Bunda? Bunda kenapa? " tanya Ane yang mendapati bundanya tengah membawa sesuatu di balik tubuhnya,tetapi wajahnya tampak habis menangis deras.
"Bunda gapapa, sayang. Bunda ada sesuatu untuk Ane." Arin memberikan sesuatu untuk anaknya. Ane meraihnya bahagia.
"Terimakasih bunda." memeluk bundanya. Arin tiba-tiba menangis di pelukan putrinya itu.
"Bunda, bunda kenapa,Bun? " tanya Ane kembali. Bundanya masih sesenggukan di pelukannya. Ia tau bundanya tidak akan menangis seperti ini jika tidak bertengkar dengan ayahnya. Tapi semenjak dua minggu pertengkaran itu mereka sama sekali jarang terlihat.
"Mau ikut bunda, sayang ? Ada kejutan lagi untukmu. Ikut ya.." ajak Arin sambil memegang erat tangan putrinya.
"Baik bunda. Ane ikut bunda." tangan Ane juga ikut mengeratkan diri dalam genggaman sang ibu. Ia percaya pada bundanya.
Bersambung....
******
Makasi ya udah baca sampai bagian ini.
Jangan lupa klik bintang pojok kiri bawah ya temen temen😊
Maaf dengan typo yang masih jalan jalan di ketikan saya.
Atau kalian yang mau ngasih masukan atau saran bisa berikan langsung pendapatnya.
Untuk waktunya, terimakasih ya temen temen😊🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDUNG | END ✔️
Teen Fiction"Dia tidak tau apa itu cinta. Untuk itu ia butuh seseorang untuk menjelaskannya. Bukan cinta yang hanya sekedar singgah dan pergi dengan memaksa." Aku ingin merasakan damainya hujan. Bukan Mendung yang datang tanpa kepastian. Aku ingin hangatnya men...
