Ane berteriak keras. Tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan oleh petugas rumah sakit padanya. Yang ia tau, luka itu masih saja sangat terasa.
Dokter Ingren yang sudah memulai jam kerjanya masuk ke kamar no. 271 tempat Ane berada. Ia mendengar teriakan keras Ane, dan memutuskan untuk dia sendiri yang menenangkan Ane. Ingren harus berani menghadapi pasiennya, bahwa sebetulnya dalam hati ia merasa Ane adalah seorang gadis yang sedang menderita.
"Tenangkan dirimu,Ane" serunya memegang tangan Ane berusaha menenangkan gadis yang membuat hatinya merasa iba.
"Tidak, jangan sentuh aku! Lepaskan! Kurang ajar! " tolak Ane mencoba melepaskan pegangan Ingren.
Melihat reaksi Ane, Ingren merasa ada sesuatu yang pernah terjadi pada Ane. Sikap gadis itu selalu berubah-ubah, mungkin ia mengalami trauma yang amat mengganggu akal sehatnya.
"Anelya Teherika! Tenanglah! Ini saya,teman kamu!" seru Ingren dengan tegas, ia tau bagaimana caranya menenangkan orang yang mengalami trauma seperti Ane.
Nafas Ane tersengal-sengal menahan dirinya untuk tetap tenang. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya ada seseorang yang memanggilnya dengan benar sejak kematian ibunya.Peluh mencucur dahi indahnya. Kelopak mata eloknya terkatup sempurna, merasakan setiap hembusan nafas yang berangsur normal. Perlahan matanya mulai terbuka, menampakan permata indah coklat hazel di mata yang masih terlihat kusut karena tangis. Tangannya bergerak menghapus bekas air matanya. Kemudian Ingren sedikit terkejut, karena setelah itu Ane tersenyum tipis padanya. Sungguh, bahkan siapapun melihat senyum itu dari seorang yang katanya gila, senyum itu sangat memperlihatkan bahwa Ane memang wanita yang sangat cantik. Terdapat lesung di pinggir lekukan bibirnya saat tersenyum, walaupun hanya tersenyum tipis.
"K-kau tersenyum?" tanya Ingren sedikit takut pada Ane. Ia takut itu hanya senyuman berbahaya seperti pasien lain yang pernah ditanganinya.
"Iya. Seseorang berkata padaku. Bahwa saat kau sudah menenangkan dirimu dari amarah, maka tersenyumlah. Karena itu akan membuatmu semakin merasakan bahwa Tuhan sangat menyayangimu." jelas Ane dengan matanya yang menatap lurus. Seperti terlintas dalam pikirnya seseorang yang mengatakan itu padanya dulu. Orang yang sangat ia cintai tapi tidak ada saat ia merasa terjatuh ke bumi.
"Siapa yang mengatakan itu padamu, Ane?" tanya Ingren lagi, sembari duduk di samping ranjang tempat Ane kini terduduk.
"Dia sahabatku." jawab Ane dan menundukkan wajahnya. Dia menyelipkan rambut bergelombangnya di belakang telinga miliknya.
"Sahabatmu? Di mana dia sekarang? " lanjut Ingren lagi.
"Dia jauh. Jauh dari sini. Bahkan butuh sebuah pesawat untuk mengunjunginya" jelas Ane masih menerawang jauh.
"Kamu mencintainya?" tanya Ingren dengan hati-hati. Sambil mengelus pelan tangan putih Ane.
Ane hanya membalas dengan senyum kecut. Ia lagi-lagi menundukkan kepalanya. Tapi dengan cepat ia kembali menegakkan dirinya. Ia tersenyum lagi pada Ingren. Namun matanya seperti menahan butiran kristal bening yang setiap saat ia tahan.
"Aku gak gila..." ucap Ane dengan lirih, mengeratkan pegangannya di tangan Ingren.
"Tolong, bawa aku pergi dari sini." tambahnya lagi, yang kini kristal bening itu mulai terjatuh."Aku tau,Ane." balas Ingren dengan nada kasihan.
"Tapi untuk sementara bertahanlah disini sampai kondisimu benar-benar pulih" lanjut Ingren dengan senyum pada gadis di hadapannya itu."Aku tidak percaya, ayahku sangat membenciku." kata Ane dengan datar. Tapi masih menyiratkan kesedihannya.
"Tidak, Ane. Mungkin ayahmu sangat mencintaimu, tapi mungkin ia tidak bisa mengungkapkan itu padamu. Kau harus beri pengertian pada ayahmu, Ane." jelas Ingren pada Ane yang kini sudah mulai menatapnya.
" Segala jenis pengertian telah aku gunakan untuk menyadarkannya bahwa aku juga butuh dirinya. Bahwa aku...aku adalah putrinya. Tapi, setelah aku kehilangan bunda sama sekali ia tidak menatapku walau hanya sebentar. Dipikirannya aku adalah seorang pembunuh dan sebuah beban berat yang dititipkan oleh istrinya yang telah tiada. Lalu untuk apa aku hidup? " ucap Ane panjang lebar tentang penghakiman ayahnya terhadap hidupnya.
"Tidak Ane. Setiap orang punya tujuan hidup mereka masing-masing. Dan aku percaya padamu, kau juga punya tujuan hidupmu." saran Ingren menatap lekat mata Ane yang mulai basah karena menangis.
" Itu yang dikatakan oleh bunda. Bahwa ia selalu percaya padaku. Tapi, bagaimana kalau aku sendiri yang tidak percaya pada hidupku?" tanya Ane dengan nada yang mulai terbawa emosi.
Ingren mengelus pundak Ane dengan lembut. Kemudian merangkul gadis itu dalam pelukannya. Ia rasa dengat itu Ane akan kembali tenang. Ia merasa sedih atas keadaan Ane yang sepantasnya, diusianya yang terbilang cukup labil dan masih sangat butuh kasih sayang dan pengertian.
"Ane kau tau, besok adalah hari natal. Dan setiap tahunnya ada beberapa orang yang membawa hadiah untuk diberikan kepada pasien yang sudah pulih, jadi besok, beberapa pasien diijinkan untuk berada di taman belakang rumah sakit." seru Ingren dengan senyum kepada Ane yang masih terdiam.
"Tenang saja. Kau akan pergi bersamaku. Lagipula kau sudah hampir seminggu disini, pasti sangat bosan dengan pemandangan yang begini-begini saja." tambah Ingren dan mengambil nampan yang berisi makanan dan obat-obatan untuk Ane.
"Sekarang, makanlah dulu ya. " tawar Ingren,yang sebenarnya pekerjaan itu bukanlah tugas seorang Dokter Psikiater. Tapi hatinyalah yang bergerak untuk melakukan hal itu pada Ane. Ia tak sabar untuk mengetahui lebih banyak masa kelam Ane yang selalu tergambar jelas dalam kondisi psikis Ane.
Ia ingin tau seberapa besar luka yang disembunyikan oleh gadis yang sebenarnya sempurna ini.
Ia ingin masuk juga dan memberikan Ane kesempatan untuk membagi lukanya."Sabarlah,Ingren. Sebentar lagi Ane akan mulai membaik." ucapnya dalam hati.
Bersambung...
Hay Readers🤗🤗
Maaf ada beberapa hal yang terpaksa harus diperbaiki✌
Karena jujur saya belum profesional, jadi mohon pengertiannya.
Saya sangat butuh saran dari kalian ya🙏
Jangan lupa "klik" bintang pojok kiri bawah ya guys💕
Sampai jumpa💕💕💕
![](https://img.wattpad.com/cover/147983788-288-k45671.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDUNG | END ✔️
Novela Juvenil"Dia tidak tau apa itu cinta. Untuk itu ia butuh seseorang untuk menjelaskannya. Bukan cinta yang hanya sekedar singgah dan pergi dengan memaksa." Aku ingin merasakan damainya hujan. Bukan Mendung yang datang tanpa kepastian. Aku ingin hangatnya men...