7

113 15 2
                                    


"Aku harus kuat." batinnya.

Ane melarikan kakinya dengan perlahan ke suatu tempat yang benar-benar jauh dari keramaian. Perpustakaan. Itulah satu satunya tempat yang sunyi, karena memang mayoritas dari para siswa tidak suka membaca.

Gadis yang kini rambutnya ia urai karena basah, menggunakan tangannya untuk menyanggah kepala yang menurutnya terasa sakit sejak tadi. Ia memang sudah tidak berniat menangis, perlakuan seperti itu sudah sering ia dapatkan, bahkan tidak hanya dari satu orang.

Di sekolah ini, sekolah yang terunggul di kota, SMA Garuda Harapan Satyanegara, sekolah yang amat terkenal sebagai pencetak siswa didik terbaik, disini Anelya Teherika memilih menempuh pendidikan. Banyak dari siswa lain mengira bahwa Ane masuk lewat jalur khusus (siswa titipan anak pejabat/orang kaya) dan bukan lewat jalur beasiswa, meskipun Ane memang masuk menggunakan beasiswa atas prestasinya. Sekolah yang katanya istana ini, sangatlah berbeda dari apa yang dibicarakan masyarakat luar. Bahwa tetap saja, uang dan kekayaan yang berkuasa, walaupun Ane termasuk siswa yang kaya. Namun, ia sama sekali tidak berniat memamerkan harta yang ayahnya tidak ikhlas berikan padanya. Mungkin ikhlas, tapi ia saja yang tidak mencoba untuk mengerti orang tuanya itu.

Ane memang siswa yang pintar di kelasnya, mungkin itu salah satu sebab, mengapa banyak dari temannya tidak suka dengan Ane. Beda dengan teman laki lakinya, banyak dari mereka yang mencoba menarik perhatian Ane dan tentunya itu yang membuat banyak perempuan membenci gadis yang sebenarnya polos itu. Ane semakin tersingkir dimanapun tempatnya berada. Sahabatnya, Sista, juga kini membencinya karena mengira Ane yang menarik perhatian guru untuk mendapat nilai bagus.

"Hah! " hempasan nafas kasar keluar dari himpitan dadanya. Memang sedikit melegakan, tapi tidak cukup membaik. Masih sakit tentunya. Bagaimana tidak? Ia memang selalu dipermalukan karena hal-hal sepele. Dan apa yang ia lakukan hari ini? Mencoba melawan dengan mencekik leher lawan? Tidak. Itu hanya akan membuat orang mengira bahwa dirinya sudah gila.

Tiba-tiba seseorang datang mengejutkan lamunan gadis kurus berkulit putih bersih itu. Ane sontak terkejut, karena yang berdiri dihadapannya adalah orang benar benar tidak ia inginkan kehadirannya.

"Ngapain kamu!" cetusnya kesal sambil mencoba menghindar dari beberapa orang dihadapannya.

"Heyy..ayolah. Ini akan seru bukan?" ucap pria yang bernama Hinsen itu. Rambutnya berantakan, sangat cocok dengan mimik wajahnya yang bringas.

"Kalau kamu mendekat,akan kupukul!" seru Ane getir. Ia mengangkat tangannya menyerupai sebuah pukulan.
Tentu saja, tertawa adalah reaksi tiga orang pria di hadapannya, yang perlahan mendekat.

"Pergii!!" teriak Ane. Menarik sebuah kursi dihadapannya hendak menghantam tubuh tegap Hinsen dan dihentikan dengan gerakan cepat oleh sang ketua.

"Jangan bermain-main denganku, Ane. Dan juga jangan sia-siakan kecantikanmu itu dengan orang luar. Lebih baik terimalah aku untukkmu." seru Hinsen bernada sombong. Kemudian berhasil meraih tangan mungil Ane.

"Kamu itu murahan, Ne! Sudah berapa kali Bian menidurimu! Hahahaha, pakek sok suci lagi!" tambah Hinsen yang semakin membuat Ane kesal mendengarnya.

Tanpa berpikir panjang, Ane meludahi wajah berhidung mancung itu. Ane merasa lega dengan balasan yang baginya cukup setimpal dengan mulut kotor laki laki itu. Hinsen tertawa sinis sambil menghapus noda itu diwajahnya.

Tangan Hinsen melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Ane, yang langsung membuat perubahan warna karena tamparan yang cukup menyakitkan bagi Ane.

"Berani sekali lo sama gue ya?! Dia belum tau siapa gue,broo." kata Hinsen sambil melihat ekspresi kesakitan di wajah Ane.

"Iya bro. Mendingan lo tunjukin siapa diri lo yang sebenarnya sama cewek gatel ini." lanjut temannya lagi.

"Hinsen!! Kamu disini?!" suara seorang gadis dari arah belakang yang cukup mengagetkan. Hinsen menyadari kehadiran kekasihnya itu, mulai terlihat menunjukkan bakat beraktingnya.

"Kamu ngapain disini? Ngapain ada Ane disini? Dan kalian ngapain sih" tanya gadis berambut panjang itu bertubi tubi. Dia menatap sinis kearah Ane.
" Sayang! Ngapain disini! Kok malah bengong sihh!" tanya gadis itu lagi,menyadari bahwa lakinya sedang mencari alasan.

"Ini nih, Ane yang nyuruh aku kesini. Tadi dia nyuruh temenku buat aku kesini, katanya penting." jelas Hinsen, yang jelas sekali sedang mengarang membuat emosi Ane muncul kembali namun tidak mampu melawan.

"Trus ngapain Ane nyuruh kamu kesini!" seru gadis itu melirik sinis Ane yang sedang tertuduh.

"Yaa gitu. Aku aja heran, katanya nanti aku diajak main kerumahnya. Gak jelas banget, ya nggak bro?!" jelas Hinsen lagi dan meminta bantuan temannya untuk mendukung pernyataannya.

"Eh Ne! Bisa nggak? Lo jangan ngelakuinnya ke gue? Udah banyak kali yang tau lo itu cewek genit! Lo gak malu dihina-hina di depan umum sama anak yang lain?! Harga diri kali,Ne! Sekali lagi lo kayak gini, gue pasti bakal buat perhitungan sama lo!" tegas Merly pada Ane yang sedang menunduk tidak mampu membantah aksi Hinsen. Bagi dirinya percuma saja ia melawan, karena sejauh apapun ia menjelaskan tidak akan ada yang percaya dengan wanita perusak hubungan orang. Ya, itulah tuduhan palsu para siswa wanita kepada Ane.

Mereka meninggalkan Ane yang masih menunduk lemas di salah satu rak buku. Tatapannya kosong. Mungkin sedang menghitung berapa banyak wanita yang sudah salah menilai dirinya. Ane membanting tubuhnya ke kursi. Ia tidak habis pikir, kenapa semua wanita lebih memilih percaya dengan bajingan itu daripada percaya untuk sesamanya.
              #FlashbackOff

***

Tidur malam Ane terganggu karena suara bising di lorong rumah sakit. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian melangkah perlahan menuju sumber suara. Rupanya ada seseorang pasien yang sedang mengamuk. Ane kembali ketempat tidurnya. Ia meneguk air yang sengaja diletakkan seorang perawat di meja kamarnya. Ia teringat, sesuatu. Bahwa besok adalah hari natal. Hari dimana seluruh umatnya berkumpul dengan keluarga mereka. Tapi kini, ia sedang berada jauh dari keluarganya. Benar-benar menyedihkan.

"Aku bahkan lupa. Bagaimana rasanya kumpul bersama mereka." seru Ane dalam batinnya.
Ia menarik tubuhnya dan berbaring kembali di ranjang kamarnya itu. Walaupun ini rumah sakit jiwa, tapi Ane sedikit bersyukur karena ayahnya memesankan kamar khusus untuknya ke pihak RS. Setidaknya, Baran masih peduli dengan privasi putrinya itu.

"Aku harus tidur. Bagaimanapun juga aku harus merayakan natal disini. Bunda, aku pesan seorang Santa Claus dari surgamu. Aku ingin hadiah yang istimewa besok. Semoga kau tau, aku sedang membutuhkan seseorang." batin Ane menyelipkan doa dalam kerinduannya akan cinta.

Bersambung....

***

Hay reader yang setia🤗
Maaf ya harus nunggu update yang sedikit lama. Karena disini susah banget dapet sinyal buat saya publikasikan lanjutan ceritanya.
Semoga masih minat untuk baca✌
Kalau ada kekurangan atau saran dari temen-temen semua silakan tinggalkan sarannya di komentar ya♥
Maaf alur ceritanya belum kelihatan. Makanya harus terus ikuti👍
Untuk typo yang masih keselip dimana-mana, saya mohon dimaklumkanlah😅

Selamat menjalankan ibadah puasa untuk yang menjalankan🙏
Sampai jumpa🤗

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang